Pendahuluan
Dalam diskursus madzhab syafi’i secara jelas ‘urf tidak dijadikan sandaran utama dalam merumuskan suatu hukum. Akan tetapi realitanya banyak teks-teks fiqh syafii’i yang menjadikan ‘urf sebagai tolak ukur suatu hukum. Contoh ukuran lama tidaknya memutus bacaan fatihah di dalam shalat, yang jelas tidak ada nash sharih yang menjelaskan hal itu. Maka dari itu penting sekiranya kita mengetahui ‘urf mulai dari pengertiannya, jenis-jenisnya, dan kehujahannya sebagai dalil hukum Islam.
Pengertian ‘Urf dan Perbedaannya Dengan Adat
Secara etimolgi ‘urf adalah segala sesuatu yang baik dan diketahui oleh jiwa dan membuat jiwa tenang.[1] Sedangkan menurut Abdul Wahab Khalaf ‘urf adalah segala sesuatu yang dikenal dan dijalankan oleh masyarakat, baik itu berupa perkataan, perbuatan atau meninggalkan sesuatu.[2] Pernyataan yang serupa dipaparkan oleh Abu al-Barakat an-Nasafi dalam kitabnya Kasyfu adz-Dzunun yang mengatakan bahwasanya secara istilah ‘urf segala sesuatu yang terpatri dalam jiwa dari sisi akal dan watak manusia menerimanya.
Di atas sudah dipaparkan beberapa pendapat ulama mengenai definisi ‘urf, sekiranya ada satu istilah yang mungkin bagi sebagian orang menganggap hal ini adalah berbeda, yaitu adat. Secara etimologi adat adalah segala sesuatu yang terus dilakukan oleh seseorang sehingga ketika melakukannya tanpa memikirkannya lagi.[3] Abdul Wahab Khalaf memberikan definisi yang sama antara adat dengan ‘urf, yaitu segala sesuatu yang dikenal dan dijalankan oleh masyarakat, baik itu berupa perkataan, perbuatan atau meninggalkan sesuatu.[4]
ما تعارفه الناس وساروا عليه، من قول، أو فعل، أو ترك ويسمى العادة
Dari statment Abdul Wahab Khalaf ini dapat di tarik benang merah sebenarnya ‘urf dan adat merupakan dua kata yang bermakna sama (mutaradif). Akan tetapi ada ulama yang membedakan antara keduanya:
- Cakupan ‘urf adalah sesuatu yang berkaitan dengan perkataan, sedangkan adat perbuatan.
- Adat lebih umum daripada ‘urf dan ‘urf merupakan bagian dari adat.
Dari tiga pendapat di atas pendapat pertamalah yang dianggap unggul, yaitu ‘urf dan adat mempunyai makna yang sama.[5]
Pembagian ‘Urf
Sulaiman Abdul Wahab asy-Syahat Badawi dalam tulisannya menjelaskan bahwasanya setidaknya para ulama membagi ‘urf menjadi empat bagian, yang dilihat dari beberapa sisi:
‘Urf yang di pandang dari sebabnya
Urf ini dibagi lagi menjadi dua yaitu:
1). Urf Qauli
‘Urf Qauli adalah kebiasaan masyarakat yang menggunakan suatu lafadz untuk menjelaskan makna tertentu dan tidak sesuai dengan makna bahasa.
أَنَّ الْعُرْفَ الْقَوْلِيَّ أَنْ تَكُونَ عَادَةُ أَهْلِ الْعُرْفِ يَسْتَعْمِلُونَ اللَّفْظَ فِي مَعْنًى مُعَيَّنٍ وَلَمْ يَكُنْ
Urf Qauli terbagi menjadi dua yaitu:
a). Mufradat, seperti pemaknaan dabbah sebagai hewan pengangkut barang, yang mana secara bahasa dabbah merupakan sesuatu yang merambat di tanah.
b). Murakab.[6]
2). Urf Amali
‘Urf amali adalah suatu perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan sebagian manusia untuk melakukan perbuatan itu, baik itu dalam hal-hal keseharian atau muamalah. Contoh pada konsep muathah dalam jual beli, segala sesuatu yang dianggap remeh oleh kebiasaan masyarakat sekitar maka sesuatu itu bisa menggunakan muathah.[7]
‘Urf yang di pandang dari orang yang mencetuskannya
‘Urf ini dibagi menjadi tiga yaitu:
1). ‘Urf Am
Sulaiman Abdul Wahab Asy-Syahat Badawi dalam tulisannya yang mengutip dari Ibnu ‘Abidin mendefinisikan Urf am dengan segala sesuatu yang lumrah terjadi atau dikenal di tengah penduduk negara entah itu qadim (terjadi pada periode ijtihad) atau hadist (terjadi pada periode taqlid). Contoh penggunaan kata talak untuk memutus status perkawinan.
2). Urf Khas
Definisi dari ‘urf khas hampir sama dengan ‘urf am, yang membedakan adalah ‘urf khas hanya digunakan oleh sebagian penduduk negara tidak secara keseluruhan. Contoh kata dabbah bagi ahli iraq dimaknai sebagai kuda.
3). Urf Syar’i
‘Urf syar’i adalah lafadz atau kata yang dikehendaki oleh syara’ dengan pemaknaan tertentu. Contoh pemaknaan kata shalat sebagai ibadah yang diawali dengan takbir dan diakhiri oleh salam dengan tata cara tertentu, padahal arti awal dari shalat sendiri adalah doa. Selain shalat banyak lagi contohnya, sebutlah puasa dan haji yang mana kedua kata tadi bergeser pemaknaannya dari bahasa kepada makna yang dikehendaki oleh syara’.
‘Urf yang di pandang dari makna bahasa
‘Urf ini dibagi menjadi dua yaitu:
1). Sesuatu yang ditetapkan bagi pemaknaan bahasa
Yaitu sesuatu yang sesuai antara makna bahasa dan pemaknaannya. Contohnya adalah kata warad (mawar) mempunyai makna asli sesuatu yang mempunyai bau wangi, begitu juga dengan pemaknaan secara adat.
2). Sesuatu yang diputuskan atas makna bahasa
Yaitu sesuatu yang berubah makna bahasanya dengan di khususkan atau di batasi atau di batalkan. Contoh kata banafsaj (violet) yang secara bahasa mempunyai arti sesuatu yang mempunyai bau wangi, akan tetapi secara adat dimaknai sebagai minyak.
‘Urf yang di pandang dari segi sah atau fasid (rusak)
1). ‘Urf Shahih
Abdul Wahab Khalaf memberikan definisi ‘urf shaih sebagai segala sesuatu yang dikenal atau dilaksanakan secara terus menerus oleh masyarakat dengan tidak bertolak belakang dengan dalil syariat, tidak menghalalkan yang diharamkan, dan tidak mengharamkan yang dihalalkan.[8] Contohnya tahlilan, memperingati kematian dengan tuju hari dan sebagainya, dan akad istisna’,
2). ‘Urf Fasid
‘Urf fasid adalah segala sesuatu yang dikenal atau dilaksanakan secara terus menerus oleh masyarakat akan tetapi bertolak belakang dengan dalil syariat atau menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal.[9] Contoh di Papua ada tradisi memotong jari sebagai ungkapan sedih bagi yang di tinggal mati oleh anggota keluarganya.
Kehujahan ‘Urf
Para imam bersepakat bahwasanya ‘urf shahih bisa diamalkan dan dijadikan sebagai dalil syar’i. Perdebatannya adalah ketika ‘urf di posisikan sebagai dalil yang berdiri sendiri (mustaqil). Dalam hal ini madzhab Syafi’i tidak menjadikan ‘urf sebagai dalil tersendiri kecuali dengan adanya indikasi dari syari’ untuk memperhitungkannya. Mereka berdalih ‘urf tidak diperhitungkan kecuali ada dalil yang melegalkannya, dan bahwasanya ‘urf merupakan dalil syari’ yang dikembalikan pada dalil-dalil yang shahih. [10] Lebih lanjut Syekh Wahbah dalam kitab yang sama menjelaskan syarat-syarat ‘urf untuk bisa diamalkan yaitu tidak dilakukan atau dikenal oleh sebagian kecil masyarakat, dan tidak berlawanan dengan nash dan ijma’. Dengan kata lain menginduk pada pembagian ‘urf antara shahih dan fasid, ‘urf shahih bisa diamalkan, sedangkan ‘urf fasid tidak bisa diamalkan dengan alasan yang sudah disebutkan.
Kesimpulan
‘Urf merupakan suatu tindakan atau kebiasaan suatu masyarakat yang dikenal dan sudah terbiasa melakukannya, sehingga untuk melakukannya tidak perlu lagi untuk berpikir. Antara ‘Urf dan adat keduanya mempunyai makna yang sama, akan tetapi ada ulama yang membedakan dua hal tersebut. Secara sistematis ‘urf bisa dikategorikan menjadi beberapa jenis yang dilihat dari sisi pertimbangannya. ‘Urf shahih secara pasti bisa dijalankan dan dijadikan dalil karena kesesuaiannya dengan dalil syariat, sedangkan ‘urf fasid berlawanan dengan ‘urf shahih. Madzhab syafi’i memandang ‘urf tidak bisa dijadikan acuan yang sifatnya mandiri bagi penetapan suatu hukum kecuali dengan adanya dalil-dalil syariat. Wallahu a’lam minni bis shawab
[1] Perkumpulan dari beberapa orang, Al–Maus’ah al-Fiqhiyah al-Kuaitiyah, juz 30, hal 53.
[2] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-FIqh, tt, 1986, juz 1, hal 89.
[3] Ma’ajim al-Arab
[4] Ilmu Ushul al-Fiqh, hal 89.
[5] Sulaiman Abdul Wahab asy-Syahat Badawi, Al-‘Urf Inda al-Ushuliyin wa Atsaruhu fi al-Furu’ al-Fiqhiyah, tt, 2021.
[6] Al-Qarafi, Anwarul Buruq fi Anwaril Furuq, Beirut: ‘Alamul Kutub, Juz 1, hal 171.
[7] Zainuddin al-Malibari, Fathul Muin, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, hal 107.
[8] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-FIqh, tt, 1986, juz 1, hal 89.
[9] Ibid.
[10] Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz, Beirut, Darul Khair, hal 268.