Pada awal April 2025 ini, Presiden Prabowo menyampaikan rencana evakuasi sekitar 1.000 warga Gaza ke Indonesia terutama mereka yang terluka, kehilangan orang tua, anak-anak, dan kelompok rentan lainnya. Rencana yang progresif ini, dianggap problematik oleh sebagian kalangan, karena dapat bersifat kontraproduktif dengan cita-cita mendukung kemerdekaan bangsa Palestina sekaligus pelemahan politik luar negeri Indonesia di mata dunia.
Menaggapi isu negatif tersebut, Menlu Sugiono telah menegaskan sikap Pemerintah Indonesia dalam mendukung kemerdekaan bangsa Palestina sejak zaman Presiden Soekarno hingga Pemerintahan Presiden Prabowo tidak pernah berubah (Tempo, 22 Oktober 2024). Selain itu, merupakan amanat dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyerukan penghapusan segala bentuk penjajahan, hal ini menegaskan pula posisi luar negeri Indonesia.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto melawat ke lima negara di Timur Tengah, yaitu Uni Emirat Arab (UEA), Turki, Mesir, Qatar, dan Yordania, untuk meminta dukungan mereka terhadap rencana Indonesia mengevakuasi 1.000 warga Palestina di Gaza ke Indonesia. Prabowo menegaskan Indonesia akan menjalankan rencananya itu manakala mendapatkan ”lampu hijau” dari seluruh pihak
Mereka di sini hanya sementara sampai pulih kembali, dan pada saat pulih dan sehat kembali, kondisi Gaza sudah memungkinkan, mereka harus kembali ke daerah mereka berasal. Saya kira itu sikap Pemerintah Indonesia,” kata Prabowo saat jumpa pers di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, sebelum berangkat ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Rabu dini hari,
Rencana Presiden Prabowo tersebut setelah menimbang diplomasi dan kecaman atas pembunuhan terhadap warga gaza belum membuahkan kesepakatan yang harapkan. penderitaan warga gaza akibat konflik dengan israel masih berlanjut, hak untuk hidup aman dan damai hilang, karena sewaktu-waktu pembunuhan secara kejam menimpa mereka tanpa pandang bulu, wanita tua, anak-anak pun menjadi korban kekejaman zionis Israel. Hampir tidak ditemukan bangunan yang masih utuh yang dapat digunakan sebagai tempat tinggal yang layak. Bertempat tinggal di tenda-tenda sederhana pun masih sering menjadi sasaran pengemboman tentara israel. Jika tenda saja masih di bom, dimana lagi mereka akan bertempat tinggal.
Ditengah kondisi yang begitu menyedihkan, warga gaza dipersulit untuk mendapatkan bantuan logistik dari negara lain. Akses bantuan menuju Gaza ditutup total oleh Israel, hal tersebut menambah penderitaan warga Gaza dalam berjuang melawan krisis kelaparan, salah satu media memberitakan bahwa sebagian warga Gaza terpaksa memakan rumput dan pakan hewan, dikarenakan sulitnya mendapatkan makanan.
Disaat banyak negara mengecam tindakan Israel. Amerika Serikat memberikan rekomendasi agar warga Gaza mengungsi ke negara lain, tawaran ini tidak disetujui oleh negara-negera tetangga muslim palestina seperti Mesir dan yang lain. Pemmerintah Indonesia justru bersedia untuk menampung atau mengevakuasi sementara warga gaza sampai suasana kembali aman. Menlu Sugiono menyatakan, bahwa rencana evakuasi awal yaitu seribu warga Gaza ke Tanah Air dilakukan tanpa paksaan. Bila diminta, kata dia, pemerintah siap untuk mengevakuasi warga Gaza tersebut.
Kebijakan bapak Presiden yang akan direalisasikan ketika warga Gaza menyutujuinya bukan bermaksud untuk tunduk atau menyerah kepada musuh islam zionis israel dan sekutunya (amerika), yang dilarang oleh agama (maslahah mulghoh).[1] Imam Suyuthi menyatakan larangan tunduk kepada orang kafir ditujukan ketika umat islam mampu melawan kafir harbi tetapi memilih menyerahkan diri untuk diperbudak orang kafir yang tidak terdapat kemaslahatan.[2]Sedangkan dalam konteks ini, warga gaza tidak mampu mengimbangi serangan israel dan tidak akan menjadi budak orang kafir.
Kebijakan bapak Presiden yang menuai pro kontra dari beberapa kalangan, dapat dilihat dari aspek teori Maslahahyang kemudian dapat putuskan apakah kebijkannya memiliki keserasian dengan syari’at. Karena semua bentuk taklif yang diatur dalam yurispendensi islam (fiqh) tidak lain hanya untuk kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan secara sederhana dapat didevisinikan dengan segala upaya menarik kebaikan dan meninggalkan kerugian (mafsadah). Salah satu ulama yang menekuni dan mengkodifikasi teori maslahah secara sistematis adalah Syekh ‘Izzudin bin Abdis Salam dalam kitab Qowaidul Ahkam fii Masalihil anam
Dalam kitab tersebut, Syekh ‘Izzudin mensistemisasi teori maslahah ketika berhadapan dengan keadaan-keadaan yang dianggap problematis kemudian beliau memberikan solusi yang solutif yang tentunya dapat dikontekstualiasikan dalam menghadapi problematika di zaman modern ini. Berikut salah satu kutipan beliau mengenai keadaan yang cukup problematis
إذا اجتمعت المفاسد المحضة فإن أمكن درؤها درأنا، وإن تعذر درء الجميع درأنا الأفسد فالأفسد والأرذل فالأرذل، فإن تساوت فقد يتوقف وقد يتخير وقد يختلف في التساوي والتفاوت
“ketika dalam suatu kondisi terdapat beberapa kerugian (mafasid), ketika dapat dihindari semuanya maka harus dihindari semuanya. Tetapi jika tidak memungkinkan, maka harus menghindari kerugian yang lebih besar (al afsad-fal afsad) atau menghindari kerugian yang lebih hina (al-ardzal fal ardzal). Ketika bentuk kerugian sama besarnya, (tasaawi) maka diperbolehkan memilih kerugian yang akan diterjang”.[3]
Kontekstualisasi dari kaidah tersebut adalah kedzaliman yang dialami oleh warga gaza akibat serangan Israel yang kemudian menimbulkan krisis kelaparan, air bersih dan krisis yang lain harus segera dihentikan karena hal tersebut merupakan keburukan tertinggi (afsad) karena berimplikasi pada tambah banyaknya jumlah korban. Mengevakuasi warga gaza yang berkonsekwensi mereka tidak dapat menempati tempat tinggalnya sementara, merupakan bentuk kerugian yang derajatnya dibawah kerugian yang telah disebutkan (fal afsad).
Tetapi problem yang ditimbulkan akibat kebijakan tersebut adalah pemerintah Indonesia tampak memberikan ruang kepada orang kafir (israel dan Amerika) dalam menguasai tanah gaza. Seandainya kebijakan evakuasi dapat dipastikan kalau warga gaza akan kehilangan tempat tinggalnya, hal tersebut masih diperbolehkan. Syekh ‘Izzuddin dalam kitab Qowa’idul Ahkam menyatakan,
قد يجوز الإعانة على المعصية لا لكونها معصية بل لكونها وسيلة إلى تحصيل المصلحة الراجحة
“terkadang memperbolehkan tolong menolong dalam kemaksiatan, bukan karena hal tersebut adalah maksiat, tetapi karena hal tersebut merupakan perantara (wasilah) menuju kemaslahatan yang lebih besar (rajihah)”.
Salah satu contoh yang dipaparkan oleh syekh ‘izzudin adalah memberikan uang kepada orang kafir untuk menebus tawanan umat Islam yang berhasil ditawan oleh mereka. Secara garis besar, memberikan harta kepada mereka tentu tidak diperbolehkan, karena akan digunakan pada kemaksiatan, namun karena ada kemaslahatan yang lebih besar dari hal itu, berupa terbebasnya umat islam dari tawanan mereka, maka memberikan uang hukumnya diperbolehkan.[4]
Dalam permasalahan ini, Memberikan ruang terhadap orang kafir (israel dan sekutunya) untuk menguasai kota gaza adalah bentuk tindakan yang tidak diperbolehkan (maksiat), namun ketika hal tersebut menjadi satu-satunya cara untuk menyelamatkan kehidupan warga gaza maka dapat dibenarkan. bukan karena mendukung atau pro terhadap Israel tetapi karena langkah tersebut sebagai perantara (wasilah) menggapai maslahah yang lebih tinggi, yaitu hak hidup warga Gaza dengan aman. Dan menjaga keselamatan hidup (hifdu an-nafs) merupakan salah satu dari Maqosidus Syari’ah.
Jika menggapai kemaslahatan yang lebih tinggi seperti menjaga keselamatan hidup (hifdzun nafs) diperbolehkan melalui cara yang salah (maksiat), maka tentu tidak dipermasalahkan jika langkah atau wasilahnya tidak melanggar aturan syari’at. Sebagaimana diketahui kebijakan bapak Presiden bukan bermaksud untuk memberikan ruang kepada Israel dan sekutunya dalam menguasai Gaza karena segala jenis tindakan meguasai teritorial negara lain dilarang dalam hukum Internasional. Dengan demikian kebijakan Presiden layak diparesiasi dalam mencapai maslahah rajihah (keselamatan hidup warga gaza) tidak melalui cara yang dilarang syari’at.
Kesimpulan
Kebijakan presiden Prabowo yang bersedia untuk mengevakuasi warga gaza sesuai dengan teori maslahah syekh ‘Izzudin. Teori tersebut juga mengimplikasikan agar warga gaza bersedia dievakuasi sementara. Evakuasi ini dianggap sebagai wasilah menuju maslahah yang unggul (rajihah) berupa kehidupan yang aman bagi mereka, bukan karena ketundukan kepada orang kafir. Mafsadah berupa potensi tidak dapat kembali ke daerahnya masih berupa asumsi yang masih dapat diperjuangkan kepastian kembalinya warga gaza ke tempat tinggalnya. Yang mendesak untuk segera diwujudkan (maslahah rajihah) adalah warga Gaza segera berada dalam kehidupan yang aman dan damai.
[1] Abu sanad Muhammad, mausu’ah, hlm 51, maktabah syamilah
[2] Abdur ar-rahman as-suyuti, Asybah wa an-nadhair, hlm 652, maktabah syamilah
[3] Izzudin abdis as-salam, Qowaidul Ahkam, juz 1 hlm 79 maktabah syamilah
[4] Izzudin abdis as-salam, Qowaidul Ahkam, juz 1 hlm 75 maktabah syamilah






