Penerapan Amar Ma’ruf Nahi Munkar di Tengah Krisis Demokrasi

 

Merespons terkait aksi demonstrasi yang terjadi pada Kamis (22/8/2024). Aksi tersebut terjadi setelah pada Rabu (21/08/2024) sebelumnya, tulisan Peringatan Darurat yang disertai latar Burung Garuda dengan background biru elektrik tengah ramai dinaikkan pengguna media sosial. Peringatan Darurat ini merupakan sebuah panggilan untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga demokrasi serta keadilan di Indonesia. (1) Gerakan ini ditujukan kepada seluruh masyarakat untuk mengawal putusan (MK) dan jalannya Pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024. Yang ditengarai terjadi karena adanya kolaborasi antara DPR dan pemerintah yang menganulir Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang seharusnya bersifat final dan mengikat.

Dikutip dari laman BBCnews.co. (22/08). Tindakan DPR yang demikian, oleh para pakar dianggap sebagai “pembegalan atau pembangkangan” terhadap konstitusi. Seperti diketahui, delapan dari sembilan fraksi di DPR sepakat untuk hanya menerapkan sebagian putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat pencalonan kepala daerah pada rancangan perubahan UU Pilkada. Padahal, putusan MK yang dikeluarkan sehari sebelumnya disambut baik berbagai pengamat karena mengubah konstelasi politik menjelang Pilkada 2024 yang sebelumnya dinilai pakar tidak berimbang.(2)

Lalu bagaimana sebenarnya syariat Islam menanggapi “pembegalan dan pembangkangan” terhadap konstitusi yang dilakukan DPR tersebut?. Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, Indonesia seharusnya memiliki peluang emas dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Lantaran adanya hak dan kewajiban bagi rakyat untuk mengontrol, mengawasi, menasehati, dan mengkritisi pemimpin yang berkuasa. Dalam hal ini, Allah Swt, berfirman:

وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

Orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) makruf dan mencegah (berbuat) mungkar, menegakkan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(3)

Dalam Tafsīr al-Munīr, Syekh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan bahwa orang mukmin satu dan lainnya merupakan satu bagian. Mereka bagaikan satu bangunan yang saling menopang satu sama lain. Karena persaudaraan yang dijalin oleh sesama orang mukmin dilandasi dengan rasa cinta, kasih sayang, rasa tolong-menolong, serta simpati. Dalam hal ini mereka diperintahkan agar saling mengingatkan dan memberikan nasihat dalam upaya mengerjakan amar ma’ruf nahi munkar.(4)

Ajaran Islam ini, yakni tentang pentingnya saling memberi nasehat dan mengingatkan perlu dibudayakan di semua kalangan, baik dari yang kuat pada yang lemah dan sebaliknya, dari pejabat kepada rakyat maupun sebaliknya. Hal ini terjadi lantaran setiap manusia -kecuali nabi yang punya sifat ma’shum- senantiasa memiliki potensi salah dan khilaf. Tegaknya ajaran amar ma’ruf nahi munkar dan membudayanya sikap saling memberi nasehat dan mengingatkan memerlukan keberanian dan kesabaran di satu pihak dan kebesaran hati dan jiwa di pihak yang lain.(5)

Pada prinsipnya benar atau tidaknya kebijakan pemimpin atau penyelenggara pemerintahan bergantung pada dampak yang ditimbulkan pada rakyat. Jika kebijakan tersebut berdampak maslahat pada rakyat maka dianggap benar oleh syariat. Namun, sebaliknya jika kebijakan tersebut memberikan dampak mafsadat bagi rakyat, maka dianggap menyalahi syariat. Sebuah kebijakan harus membuahkan kemaslahatan karena seorang pemimpin bekerja tidak untuk dirinya, melainkan sebagai wakil dari rakyat yang dipimpinnya.(6) Hal ini selaras dengan kaidah fikih yang mengatakan:(7)

تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطُ بِالْمَصْلَحَةِ.

“Kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya dikaitkan dengan kemaslahatan”

Pada kaidah ini perlu digaris bawahi bahwa maslahat yang dikehendaki yakni maslahat yang paling besar.

Kemudian, pertanyaan yang timbul di benak masyarakat adalah bagaimana sikap yang harus diambil ketika pemerintah dianggap telah mengambil keputusan yang mafsadat dan memihak pada kepentingan sebagian orang? Dalam kitab Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhāri dijelaskan bahwa:(8)

فإن قال قائل: فإن الإنكار على الأمراء فى العلانية من السنة لما روى سفيان عن علقمة بن مرثد، عن طارق بن شهاب: (أن رجلًا سأل النبى ﷺ أى الجهاد أفضل؟ قال: كلمة حق عند سلطان جائر)

Jika ada yang berkata: Sesungguhnya mengingkari (kemungkaran) para pemimpin secara terang-terangan adalah bagian dari sunnah, karena telah diriwayatkan oleh Sufyan dari Alqamah bin Martsad, dari Thariq bin Syihab: (Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi ﷺ, “Jihad apa yang paling utama?” Nabi menjawab: “Mengucapkan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim”).

وقال آخرون: الواجبُ على من رأى منكرًا من ذى سلطان أن ينكره علانيةً وكيف أمكنه، روى ذلك عن عمر بن الخطاب وأبىّ بن كعب، واحتجوا بقوله ﷺ: (من رأى منكم منكرًا فليغيره بيده، فإن لم يستطيع فبلسانه، فإن لم يستطيع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان) وبقوله: (إذا هابت أمتى أن تقول للظالم: يا ظالم، فقد تودع منهم)

Sebagian yang lain berpendapat bahwa wajib bagi siapa pun yang melihat kemungkaran dari seorang penguasa untuk mengingkarinya secara terang-terangan dan dengan cara apapun yang bisa dilakukan. Hal ini diriwayatkan dari Umar bin Khattab dan Ubay bin Ka’ab. Mereka berdalil dengan sabda Nabi ﷺ: (Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman) dan dengan sabda beliau: (Jika umatku takut mengatakan kepada orang zalim: “Wahai zalim,” maka mereka telah ditinggalkan).

Dalam penjelasan kitab Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhāri di atas, sikap yang harus dilakukan seorang rakyat ketika ada penguasa yang zalim yakni dengan mengingatkan mereka.

Hal ini sesuai dengan perkataan KH. Afifuddin Muhajir, Wakil Rais Am PBNU, dalam salah satu tulisannya menyatakan bahwa “membangkang kepada pemerintah hukumnya haram, sedangkan menyampaikan kebenaran kepada pemerintah hukumnya fardhu kifayah”. Syeikh Abu Zakariyya al-Anshari dalam kitabnya Ghāyah al-Wuṣūl menjelaskan, bahwa:(9)

مسألة فرض الكفاية) المنقسم إليه وإلى فرض العين مطلق الفرض السابق حده (مهم يقصد) شرعا (جزما) من زيادتي (حصوله من غير نظر بالذات لفاعله) وإنما ينظر إليه بالتبع للفعل ضرورة أنه لا يحصل بدون فاعل

Masalah tentang farḍu kifayah, (farḍu) terbagi menjadi farḍu kifāyah dan farḍu `ain, adalah kewajiban yang dimaksudkan untuk dicapai secara syar`i secara pasti tanpa memperhatikan secara langsung siapa yang melakukannya. Namun, hal ini secara tidak langsung diperhatikan karena tidak akan terlaksana tanpa adanya pelaku.

Bahkan, Imam al-Haramain dan ulama lainnya berpendapat bahwa farḍu kifāyah lebih utama karena dengan dilaksanakannya oleh sebagian orang, seluruh mukalaf terbebas dari dosa yang timbul karena meninggalkannya.(10) Tentu yang beliau maksud “membangkang kepada pemerintah” adalah seperti memberontak dan sejenisnya. Sedangkan unjuk rasa termasuk menyampaikan kebenaran kepada pemerintah.

Dengan demikian, telah jelaslah landasan hukum yang mendasari aksi unjuk rasa atau demonstrasi yang telah banyak dilakukan berbagai kalangan termasuk mahasiswa sebagai upaya dalam jihad kepada negara, dalam hal ini dengan cara menyampaikan kebenaran kepada pemimpin. Namun, penting untuk diingat bahwa demonstrasi harus dilakukan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku untuk menghindari tindakann anarkis atau kekerasan.

[1] Komaruddin Bagja, Arti Peringatan Darurat Indonesia Garuda Biru yang Viral di Media Sosial,  21 Agustus 2024, Arti Peringatan Darurat Indonesia Garuda Biru yang Viral di Media Sosial  (inews.id) (Diakses pada 26 Agustus 2024)

[2] Halbert Caniago, Furqon Ulya Himawan, dkk. Mengapa Garuda Pancasila digunakan dalam ‘peringatan darurat Indonesia’ dan demonstrasi di DPR?.Demo hari ini: Mengapa Garuda Pancasila digunakan dalam ‘peringatan darurat Indonesia’ dan demonstrasi di DPR? – BBC News Indonesia (Diakses pada tanggal 27 Agustus 2024)

[3] QS. At-Taubah ayat 71.

[4] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsīr al- Munīr, (Damaskus: Dār al-Fikr, 2003), Vol. 5, 660-661.

[5] Afifuddin Muhajir, Fiqh Tata Negara., (Yogyakarta: IRCiSoD, 2017), 110.

[6] Ibid, 91.

[7]Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh Wa An-Nazhāir, (Beirut: Dār al-Kotob al-`Ilmiyah, 2015), 185

[8] Abu Hasa Ali bin Khalaf bin Abdul Malik bin Bathal, Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhāri, (Riyadh: Maktabah Ar-Rasyād, tt), Vol. 10, 50.

[9] Zakariyya Al-Anshori, Ghāyah al-Wuṣūl, (Kuwait: Dār al-Ḍiyā’, 2017), 182.

[10] Ibid, 183.

Aini Ulfiyah Farida, Santri semester lima

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *