Aborsi bagi Korban Pemerkosaan dalam Pandangan Fiqh

Kolom Santri63 Dilihat

Pada tanggal 26 Juli 2024 Pemerintah telah mengesahkan PP Nomor 28 Tahun 2024 yang merupakan turunan dari UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Salah satu pembahasan didalamnya tentang pembolehan atas tindakan aborsi bagi korban pemerkosaan yang berada pada pasal 116 yang berbunyi:

Setiap Orang dilarang melakukan aborsi, kecuali atas indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sesuai dengan ketentuan dalam kitab undang- undang hukum pidana.[1]

Namun PP tersebut menjadi kontroversi bagi masyarakat. Salah satu kontroversi yang ada yakni terkait Hak Asasi Manusia sebagai alasan yang mendasar bagi yang pro maupun kontra. Yang pro terkait aborsi memandang hak penuh untuk meneruskan kehamilannya atau menghentikannya atas tubuhnya bagi korban pemerkosaan. Namun, yang kontra dengan aborsi memandang dari hak hidup bagi sang bayi. Karena dalam UU Hak Asasi Manusia Pasal 53 (1) No. 39 Tahun 1999 disebutkan bahwa ”Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.”[2]

Didalam kitab-kitab fiqh klasik para ulama menghukumi aborsi dalam kondisi normal, bukan pada masalah aborsi yang dilakukan oleh korban pemerkosaan. Menurut pendapatnya mazhab Hanafiyah memperbolehkan pengguran janin sebelum 120 hari. Karena sebelum 120 hari tersebut ruh belum ditiupkan ke janin dan belum dapat dikatakan sebagai manusia.  Menurut mazhab Malikiyah dari pendapat yang paling mu’tamad dikalangan malikiyah ialah haram meskipun sebelum 40 hari. Mazhab Syafi’iyyah juga berpendapat bahwa boleh melakukan aborsi sebelum 40 hari, dan makruh bila dilakukan ketika kandungan berusia 40, 42 atau 45 hari. Dan apabila melebihi itu, haram melakukan aborsi tersebut. [3]

Di dalam bukunya fiqh Perempuan (Refleksi Kiai atas Tafsir Wacana Agama dan Gender), Kia Husein Muhammad mengambil kutipan tentang pembolehan aborsi untuk korban pemerkosaan dari majalan Al-Buhuts al-Fiqhiyah al-Mu’ashiroh terbitan dari Riyadh, Saudi arabiyah, Nomor XVII, tahun ke V, dalam rubrik Masail fi al-Fiqh pada halaman 204 dan 205.

Di dalam majalah tersebut dijelaskan bahwa aborsi diperbolehkan bagi perempuan yang yakin kandungannya sudah berusia 120 hari sesuai dengan keterangan dokter. Namun, perempuan tersebut harus tetap membayar kafarat. Pengguguran kandungan bagi korban perkosaan disini dianggap sebagai keadaan yang darurat. Karena pada umumnya korban akan mengalami gangguan pada kejiwaan yang dapat meninggalkan penderitaan fisik ataupun mentalnya. Selain itu, darurat lain juga terjadi setelah lahirnya sang anak yang memerlukan biaya untuk merawat dan mendidiknya. Dan pada umumnya, wanita tersebut belum bisa menerima atas kehadiran sang anak yang dilahirkan secara tidak sah. Namun, apabila wanita tersebut menerima atas kehamilannya dan tidak menimbulkan dampak yang buruk bagi jiwa maupun tubuhnya, maka dia wajib tidak melakukan aborsi dan wajib pula mendidiknya agar menjadi anak sholih.

Dari keterangan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa aborsi bagi korban pemerkosaan diperbolehkan jika memang benar-benar dalam kondisi yang dilematis atau darurat. Atau dalam bahasa fiqh biasa menyebutnya dengan al-akhdz bi akhaff al-dhararayn, mengambil pilihan yang buruk dari pada yang lebih buruk. Atau dalam kaidah fiqh idza ta’aradha al-mafsadatan ru’iya a’zhamuhuma dhararan (jika terdapat dua dhorurat keburukan), maka yang harus dijaga (dilindungi) adalah yang paling buruk.[4]

[1] Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024

[2] AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Law Vol. 03, No.01, Juni 2013

[3] Wahbah zuhaili, al-Fiqh wa Adillatuh, (aplikasi turost), Jus 4, hal. 2647-2648

[4] Muhammad Husain, Fiqh Perempuan (Refleksi atas Tafsir Wacana Agama dan Gender), IRCiSoD Tahun 2021

Siti Mu’awanah, Santri Semester 5

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *