Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari banyak pulau dan juga memiliki banyak tradisi, budaya dan adat istiadat. Salah satu pulau yang terkenal dengan banyaknya tradisi, budaya dan adat istiadat adalah pulau Jawa. Bagi masyarakat Jawa yang masih tinggal di daerah asalnya masih memegang teguh ilmu kebudayaan Jawa ( Kejawen ), Salah satu tradisinya adalah perhitungan weton dalam acara pernikahan. Tradisi perhitungan weton ini masih banyak dilakukan masyarakat Jawa, meskipun tidak semua masyarakat mengikuti kebudayaan ini, serta mempercayai hitungan hari lahir dan pemilihan hari yang baik.
Perhitungan jawa berawal dari cerita rakyat atau dongeng yaitu tentang Aji Sakayang berkembang dimasyarakat, yang dipergunakan nenek moyang untuk mempermudah dimulainya perhitungan tarikh caka. Kata Aji Saka sudah menunjukan konogram atau sengjala, seorang raja memiliki nilai angka satu (1), maka Aji Saka juga berarti 1 Caka. Menurut sejarah penaggalan yang berada di Jawa ditandai dengan tahun pertama sebagai sejarah, maka perhitungan weton itu sesuai dengan penanggalan Jawa dalam satu tahun atau satu caka.
Budaya perhitungan weton ini merupakah salah satu ilmu yang berkembang dimasyarakat yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi. Ilmu tentang perhitungan weton ini pada dasarnya memiliki tiga wujud pertama dalam kebudayaan, tentang ide, gagasan, nilai, norma, lalu wujud yang kedua pola dari tindakan masyarakat, dan yang ketiga adalah hasil karya manusia dalam wujud benda.
Banyak masyarakat Jawa yang meyakini bahwasannya hitungan weton itu harus dilakukan karena kalau tidak dilakukan kedepannya akan menemui banyak problem ketika wetonnya tidak cocok dan menyebabkan hal yang kurang baik terhadap hubungan dan keberlangsungan hidup kedua mempelai, Selain itu bagi masyarakat jawa, tradisi perhitungan weton sebelum menikah sebagai bagian dari “ nguri-nguri budoyo “. akan tetapi berjalannya waktu perhitungan weton ini banyak menemui pro kontra, banyak juga pasangan yang gagal menikah lantaran wetonnya tidak cocok. Ada juga yang menikah tanpa menghitung wetonnya, lalu ketika dalam berjalannya kehidupan rumah tangga tersebut mengalami ketidak harmonisan, banyak yang mengatakan itu sebab wetonnya tidak cocok. Banyak juga masyarakat yang tidak menggunakan hitungan weton ketika acara pernikahan seperti para kyai dan juga kalangan pesantren, karena mereka meyakini bahwasannya semua weton dan hari itu baik.
Melihat masalah tersebut mari kita bahas bagaimana perspektif hukum islam dalam permasalahan hitungan weton khususnya dalam pernikahan, yang memposisikan kita sebagai masyarakat Jawa yang harus melestarikan budaya dan adat istiadat jawa dan juga kita sebagai orang islam.
Pembahasan
Islam adalah agama yang damai, tidak ada paksaan dalam agama islam
لا اكراه في الدين
“ tidak ada paksaan dalam beragama “.( QS. AL-Baqarah:256 )
Sejak awal tersebarnya islam di Indonesia khususnya dijawa yang dilakukan oleh wali songo tidak menghilangkan maupun mengganti kebudayaan dan tradisi yang diyakini di daerah tersebut, meskipun ajaran atau budaya itu jauh dari ajaran agama islam, akan tetapi wali songo memasukkan nilai-nilai islam kedalam tradisi budaya tersebut.
Dalam islam, dasar utama memilih pasangan hidup adalah agama dan akhlaq , bukan hitungan weton atau ramalan nasib. Rasulullah SAW bersabda:
تنكح المرأة لاربع: لمالها و لحسبها ولجمالها ولدينها, فاظفر بذات الدين تربت يداك
“ wanita dinikahi karena 4 hal: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka pilihlah yang memiliki agama, niscaya kamu beruntung”. ( HR. Bukhari & Muslim )
Dari hadist ini, jelas bahwa islam lebih menekankan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan dalam memilih pasangan, bukan faktor weton atau ramalan yang bersifat spekulatif.
Tetapi banyak orang islam yang berpendapat mengenai konsep weton pernikahan dalam pandangan islam ini. Tentu saja sebagian ada yang membolehkan dan sebagian ada yang melarang keras konsep ini karena dianggapnya hal ini akan menciderai syariat dalam Islam seperti yang dikatakan dalam kitab ghoyah talkhisi al-murod :
غاية تلخيص المراد (٢٠٦) – مسئلة: إذا سأل رل آخر هل ليلة كذا أو يوم كذا يصلح للعقد أو النقلة فلا يحتاج إلى جواب لأن الشارع نهى عن اعتقاد ذلك وزجر عنه زجرا بليغا فلا عبرة بمن يفعله وذكر ابن الفركاح عن الشافعيّ أنه إن كان المنجم يقول ويعتقد أنه لا يؤثر إلا الله ولكن أجرى الله العادة بأنه يقع كذا عند كذا والمؤثر هو الله عز وجل فهذا عندي لا بأس به وحيث جاء الذم يحمل على من يعتقد تأثير النجوم وغيرها من المخلوقات وأفتى الزملكاني بتحريم مطلقا وأفتى ابن الصلاح بتحريم الضرب بالرمل
” Apabila seseorang bertanya pada orang lain, apakah malam ini baik untuk di gunakan akad nikah atau pindah rumah maka pertanyaan seperti tidak perlu dijawab, karena Nabi Sang Pembawa Syariat melarang meyakini hal semacam itu dan mencegahnya dengan pencegahan yang sempurna maka tidak ada pertimbangan lagi bagi orang yang masih suka mengerjakannya. Imam Ibnu Farkah menuturkan dengan menyadur pendapat Imam syafi’i : ‘Bila ahli nujum tersebut meyakini bahwa yang menjadikan segala sesuatu hanya Allah hanya saja Allah menjadikan sebab akibat dalam setiap kebiasaan maka keyakinan semacam ini tidak apa-apa. Keyakinan yang bermasalah dan tercela adalah apabila seseorang berkeyakinan bahwa bintang-bintang dan makhluk lain adalah yang mempengaruhi akan terjadinya sesuatu itu sendiri (bukan Allah)”.
Penetapan hukum weton dengan menggunakan urfs sebenarnya mengembalikan hukum sesuatu pada hukum asalnya. Hal ini sesuai dengan sebuah kaidah yang berbunyi:
الأصل في الأشياء الاباحة حتي يدل الدليل على التحريم
“ Pada dasarnya hukum segala sesuatu adalah boleh, hingga ada dalil yang mengharamkannya.”
Apabila pernikahan terjadi berdasarkan hitungan weton, pernikahan tersebut tetap sah selama rukun dan syarat dalam ketentuan hukum Islam terpenuhi dan tidak menciderai hukum islam tersebut. Apapun hukumnya, jika dilihat dari sudut pandang sosial, hitung weton untuk perkawinan bisa dipahami sebagai keinginan orang tua untuk memilihkan pasangan hidup terbaik bagi anak. Tidak bisa di pungkiri dalam kehidupan sosial sebagai masyarakat jawa sebagian ada yang masih menggunakan konsep weton sebagai doa khusus bagi mempelai. Tetapi banyak juga yang sudah tidak mempedulikan konsep ini karena terdorong oleh konsep islam yang melarang adat jawa menyentuh dan mengubah syariat.
Sebenarnya yang dibawa orang jawa dalam konsep weton ini adalah harapan bagi mempelai dikemudian hari ketika sudah sah berkeluarga sebagai pasangan hidup. Ketika kebetulan saja dari prediksi itu mengarah kehal yang negative itu juga harapannya agar tidak di lanjutkan agar tidak terjadi hal yang tidak di inginkan. Pada intinya boleh menggunakan konsep weton dalam pernikahan tetapi jangan sampai menciderai syariat Islam tersebut. Juga di perbolehkan tidak menggunakan konsep weton dalam pernikahan melainkan murni menggunakan syariat Islam sebagai dasar melakukan pernikahan.
Ketika dari pihak memang yakin menggunakan wetonya lebih baik digunakan. Akan tetapi ketika yakin nanti tidak membawa konsep weton dalam pernikahan lebih baik juga tidak membawa nya ke dalam pernikahan. Karena terkadang keragu-raguan itulah yang membuat apa yang tidak kita harapkan itu malah melanda kita. Karena secara tidak sadar jika kita ragu terhadap sesuatu maka hal itu selalu terngiang didalam fikiran kita juga secara tidak sadar hal itulah yang mengundang kita secara perlahan kearah tersebut.
Allah SWT sudah menjelaskan bagaimana nasib seseorang yang sudah dicatatkan di buku masing-masing, tentang jodoh, mati, rejeki. Dan perlu dilihat Allah telah beriman dalam surat Ar-Ra’d ayat 11
له مُعَقِّبٰتٌ مِّنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهٖ يَحْفَظُوْنَهٗ مِنْ اَمْرِ اللّٰهِۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ وَاِذَآ اَرَادَ اللّٰهُ بِقَوْمٍ سُوْۤءًا فَلَا مَرَدَّ لَهٗۚ وَمَا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّالٍ ١١
“ Baginya (manusia) ada (malaikat-malaikat) yang menyertainya secara bergiliran dari depan dan belakangnya yang menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka. Apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, tidak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia”. (QS. Ar-ra’d:11)
Islam menyampaikan beberapa dasar kehidupan didalam alQur‟an dan Sunnah. Islam memperhatikan proses-proses penting yang berhubungan dengan siklus kehidupan, sebagai Langkah peralihan dalam segi meningkatkan penyempurnaan agama. Bagi masyarakat islam dijawa, siklus kehidupan manusia yang ditandai dengan kelahiran, pernikahan dan kematian adalah siklus perjalanan hidup manusia baik secara rohani maupun jasmani. Maka dari itu masyarakat muslim jawa mengakulturasikan antara dasar ajaran islam dengan ajaran leluhur jawa dalam melakukan ritual terkait dengan siklus kehidupan manusia di atas.
Islam menjadi kuat ketika ia telah mentradisi dan membudaya di tengah kehidupan masyarakat, dimana kultur ajarannya sudah include dalam tradisi masyarakat setempat. Dalam hal ini Islam bukan sekedar “pepesan kosong” yang tidak memiliki isi dalam sanubari budaya masyarakat. Islam hadir sebagai rahmatanlil„alamin (rahmat semesta) dan masyarakat merasakan berkah dan jaminan kesejahteraan (batiniah) dengan Islam yang “menyapa”s etiap detik kehidupan mereka, yang diantaranya diwujudkan dalam apresiasi Islam atas berbagai ritual dalam siklus kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, tradisi dan budaya dalam Islam kemudian menyatu dengan kultur ajaran Islam. Masyarakat tidak perlu berfikir bahwa itu merupakan kejadian yang diakibatkan karena tidak dilakukannya perhitungan weton.
Rasulullah SAW juga mengajarkan untuk memilih hari-hari baik contohnya dalam tholabul ilmi pada hari senin, hal ini tertulis dalam kitab Faidul Qadir, Kanzul Ummal, Akhbar Asbahan:
قال النبي صلى الله عليه وسلم : اطلبوا العلم يوم الاثنين ، فإنه ميسر لصاحبه
Artinya: Rasulullah bersabda, carilah ilmu di hari Senin, sebab para pencari ilmu akan dipermudah.
dan juga di anjurkan memulai tholabul ilmi pada hari rabu sebagaimana disampaikan dalam kitab ta’lim muta’allim
ما من شيئ بدئ يوم الأربعاء إلا وقد تم
Artinya: Tiada segala sesuatu yang dimulai pada hari Rabu, kecuali akan menjadi sempurna. (Ta’limul Muta’allim)
keduanya bila dipahami, maka hari Senin adalah hari baik untuk menuntut ilmu, sedangkan hari Rabu adalah hari baik untuk memulai segala aktivitas. Dari sini memunculkan pemahaman bahwa hari Rabu lebih mencakup segala aktivitas seperti memilih hari untuk memulai bekerja, memulai berdagang, memulai berkebun, memulai buka toko, memulai membangun rumah, memulai pengajian dan lainnya termasuk menuntut ilmu. Sedangkan hari Senin lebih khusus (mu’ayyan) kepada menuntut ilmu.
Kesimpulan
dari sedikit uraian di atas dapat disimpulkan bahwasannya perhitungan weton jika memang untuk melestarikan adat, “nguri-nguri budoyo”. Bukan diyakini sebagai penentu baik buruknya kehidupan kedepannya, karena baik buruk nya kehidupan itu berasal dari Allah SWT dan sudah di taqdirkan oleh Allah SWT. sebagaimana penjelasan imam syafi’i yang di nukil yekh Burhanuddin bin Firkah berikut:
إِن كَانَ المنجم يَقُول ويعتقد أَن لَا يُؤثر إِلَّا الله لَكِن أجْرى الله تَعَالَى الْعَادة بِأَنَّهُ يَقع كَذَا عِنْد كَذَا والمؤثر هُوَ الله فَهَذَا عندى لَا بَأْس بِهِ وَحَيْثُ جَاءَ الذَّم ينبغى أَن يحمل على من يعْتَقد تَأْثِير النُّجُوم وَغَيرهَا من الْمَخْلُوقَات انْتهى
“Apabila ahli nujum itu berkata dan meyakini bahwasanya tidak ada yang dapat memberi pengaruh [baik-buruk] selain Allah, hanya saja Allah menjadikan kebiasaan bahwa terjadi hal tertentu di waktu tertentu sedangkan yang dapat memberi pengaruh hanyalah Allah semata, maka ini menurutku tak mengapa. Celaan yang ada terhadap hal ini seyogyanya dibawakan dalam konteks apabila diyakini bahwa bintang-bintang itu atau makhluk lainnya bisa memberikan pengaruh [baik-buruk].” (Tajuddin as-Subki, Thabaqât as-Syâfi’iyah al-Kubrâ, juz II, halaman 102)
Hanya saja, harus diakui bahwa praktek semacam ini beresiko pada ketergelinciran dalam hal aqidah. Para ahli nujum, yang biasanya merumuskan perhitungan seperti ini, banyak yang tidak paham soal aqidah sehingga para ulama senantiasa memperingatkan agar tidak mendatangi atau mempercayai mereka. Syekh Taqiyuddin al-Hishni menjelaskan:
المنجم في عرف الناس كهؤلاء الذين يضربون بالرمل فإنهم فسقة ومنهم من يكون سيىء الاعتقاد وهو زنديق كافر وقد صح عن رسول الله صلى الله عليه و سلم أنه قال من أتى عرافا لم تقبل له صلاة أربعين يوما
“Para ahli nujum dalam kebiasaan yang ada di masyarakat, seperti orang-orang yang mengundi nasib dengan kerikil, adalah orang-orang fasik. Sebagian mereka ada yang aqidahnya buruk, dia yang demkian adalah zindiq dan kafir. Padahal telah sahih dari Nabi Muhammad ﷺ bahwa beliau bersabda: Siapa yang mendatangi tukang ramal, maka tak diterima shalatnya selama empat puluh hari.” (Taqiyuddin al-Hishni , Kifâyat al-Akhyâr, halaman 138)