Relasi Konsep Ijbar Dalam Psikologis Perempuan

Kolom Santri369 Dilihat

Para fuqahā’ meyakini bahwa semua ajaran syariat Islam yang terkandung dalam ilmu fikih berorientasi mewujudkan kemaslahatan di semua aspek, tidak hanya kemaslahatan fisik tetapi juga masalah psikis atau mental. Imam ‘Izzuddīn bin ‘Abdissalām dengan tegas menyatakan bahwa semua syariat pasti membawa maslahat, adakalanya mencegah maḍarat atau menarik manfaat. Tetapi terdapat konsep fikih yang terlihat kontradiktif atau terdapat problem dengan tujuan syariat tersebut, yaitu fikih melegitimasi pemaksaan dari wali/ayah terhadap anak gadisnya untuk menikah yang dikenal dengan konsep ijbār. Dalam ilmu psikologi, pemaksaan kepada orang lain dianggap sebagai wujud kekerasan terhadap psikis seseorang bahkan dapat menimbulkan dampak negatif yang cukup signifikan, mulai dari rasa marah, cemas, depresi, hingga gangguan pascatrauma (PTSD).

Untuk mengurai kesalahpahaman tersebut, pemahaman mengenai psikis perempuan menjadi sangat penting, agar tujuan syariat untuk menciptakan kemaslahatan di segala aspek termasuk aspek psikis dapat dipahami dengan baik dan sebagai bukti bahwa ajaran syariat dapat bersinergi dengan ilmu lain seperti ilmu psikologi. Dalam hal ini, penulis akan menguak keserasian konsep ijbār dengan psikis perempuan.

Dalam konsep Islam, sebenarnya ijbār tidak sesempit hanya bermakna pemaksaan pernikahan belaka, melainkan ijbārsangat erat kaitannya dengan unsur kasih sayang, tidak sebagaimana yang diasumsikan banyak orang. Secara etimologis, ijbār berasal dari kata ajbara yang semakna dengan arti lafaz jabara yaitu pemaksaan. Namun, jika lafaz ijbārdisandingkan pada seorang wali yang secara bahasa memiliki arti kekasih, teman, dan penolong, maka ijbār memiliki konotasi positif karena tindakan tersebut didasari rasa kasih sayang. Sehingga diksi ijbār yang disandarkan kepada wali tidak lagi memiliki arti konotasi yang negatif, melainkan lebih mengarah kepada arti bimbingan dan nasihat dalam hal pernikahan.

Ijbār merupakan hak kekuasaan secara paksa yang dimiliki oleh wali perempuan (ayah atau kakek) untuk menikahkan anak gadisnya walaupun tanpa persetujuan putrinya. Legitimasi yang diberikan oleh syariat kepada ayah (wali mujbir) untuk menikahkan anak gadisnya kepada calon suaminya tidak secara mutlak tanpa batasan, tetapi harus memenuhi beberapa syarat. Jika terdapat salah satu syarat yang tidak terpenuhi, ijbār yang dilakukan oleh pihak wali tidak sah.

  1. Tidak ada perselisihan nyata antara perempuan dengan ayah.

  2. Calon suami haruslah setara (kufū’) dengannya.

  3. Calon suami mampu memberikan mahar kepadanya.

  4. Tidak ada perselisihan antara perempuan dengan calon suaminya.

  5. Calon suami tidak berpotensi membahayakan kondisi perempuan.

Setelah syarat-syarat ijbār terpenuhi, syariat menganjurkan kepada pihak wali untuk berdialog terlebih dahulu dengan anak gadisnya, meminta pendapatnya mengenai calon suami yang dipilih oleh walinya. Anjuran ini terinspirasi dari sabda Baginda Rasulullah:

                  الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا، وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ، وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا
“Perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya, sedangkan perempuan gadis diminta perizinannya, dan izinnya adalah diamnya.”

Anjuran meminta izin terhadap anak gadis dalam persoalan pernikahannya menjadi bukti nyata bahwa syariat tidak bermaksud mendiskriminasi psikis perempuan sebagaimana asumsi sebagian orang yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Syariat Islam tidak hanya mengapresiasi langkah pihak wali dalam menentukan calon suami bagi anak gadisnya, tetapi syariat juga memperhatikan atau mempertimbangkan persetujuan dari anak gadisnya.

Seorang feminis Muslim, Murtadha Muthahhari, menyatakan bahwa konsep ijbār tidak berkaitan dengan masalah lemahnya intelektual perempuan, melainkan berkaitan dengan aspek psikologis dari laki-laki dan perempuan. Ia menyatakan bahwa laki-laki adalah hamba hawa nafsunya yang menyebabkan kejiwaan laki-laki cenderung ganas, dan perempuan cenderung lebih mudah merespons atas loyalitas seorang laki-laki. Para pakar psikologi juga menyatakan perempuan sering kali mudah tergoda atas suara indah, janji manis, dan kasih sayang dari kaum pria. Di sinilah urgensi konsep ijbār. Niat mulia dari seorang perempuan untuk mengarungi bahtera rumah tangga dengan seorang laki-laki dinilai butuh bimbingan dan arahan dari sosok ayah atau kakeknya, yang dinilai lebih mengetahui perasaan laki-laki kepadanya serta berpengalaman dalam berumah tangga dan memiliki kualifikasi untuk mengarahkan putrinya menuju kebahagiaan dalam berumah tangga atas dasar kasih sayangnya.

Konklusi
Fikih memberikan peraturan yang arif dan sejalan dengan nilai-nilai psikologis perempuan, dengan memberikan hak kepada seorang ayah untuk menentukan calon suami yang terbaik menurutnya untuk anak gadisnya (ijbār) dan anjuran meminta pertimbangan anak gadisnya terhadap pilihan dari ayahnya. Sehingga proses dialog antara ayah dan anaknya inilah yang dimaksud dalam konsep ijbār, bukan sekadar pemaksaan semata. Dengan ini, jelaslah bahwa fikih tidak bermaksud mencederai psikis perempuan bahkan berusaha mengarahkannya ke arah yang positif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *