Akhir-akhir ini, legalitas penggunaan sound horeg menjadi salah satu perbincangan yang serius diantara kyai khsusunya di jawa Timur. KH Muhibbul Aman adalah salah satu ulama jawa timur yang menyatakan kontra atas penggunaan sound horeg dengan berbagai bukti emperis yang terjadi di Tengah-tengah Masyarakat. Hal itu beliau sampaikan saat menjadi Mushohhih dalam acara rutinan 1 Muharram bathsul Masail di Besuk.
Pada awalnya istilah Sound horeg muncul pada tahun 2014, saat itu terdapat sebuah pawail di kabupaten Malang yang menggunak sistem audio berukuran besar. Hasilnya sound tersebut mengashilkan suara yang sangat menggelegar. Sering berjalannya waktu, sound horeg mulai banyak digunakan di daerah jawa timur sebelum akhirnya menjadi bagian inti dari acara komunitas dan festival.
Sound horeg merupakan istilah yang mengacu pada sistem audio berukuran besar yang menghasilkan suara sangat keras dan bergetar. Seringkali digunakan dalam acara-acara seperti pernikahan, karnaval atau perayaan lainnya. Istilah “Horeg” sendiri berasal dari Bahasa jawa yang berarti bergerak atau bergetar. Jadi sound horeg secara harfiah berarti “suara yang membuat bergetar”.[1]
Beberapa ciri utama sound horeg yang membedakannya dengan sistem audio lainnya yaitu sound sistem yang digunakan sangat besar dan biasanya diangkut mengunakan truk besar, mengahasilkan suara dengan volume yang sangat tinggi, bahkan bisa mencapai 130 desibel atau lebih menurut beberapa sumber. Sistem audio ini, dirancang untuk memberikan pengalaman audio yang memukau untuk para pendengarnya. Ini disebabkan karena sound horeg bisa memproduksi suara yang keras, dengan tingkat desibel yang tinggi dan menggelegar. Biasanya para pengguna sound horeg menghiasinya dengan lampu warna-warni yang meriah, agar terlihat menarik ketika digunakan di malam hari.
Penggunaan sound horeg menimbulkan pro kontra ditengah-tengah Masyarakat, pihak yang menyetujui bahkan menikmati adanya sound horeg umumnya diisi oleh anak-anak yang masih relatif muda. bagi mereka sound horeg tidak lebih hanyalah ekspresi menikmati hiburan bermusik. Berbeda dengan Masyarakat yang sudah cukup tua, kebanyakaan mereka tidak suka dan mengeluh atas keberadaan sound horeg. Volume Suara dan getaran yang ditimbulkan oleh sound horeg dianggap melampui batas kewajaran sehingga dapat mengganggu telinga (indra pendengaran), jantung dan sistem pernafasannya, karena pada umumnya daya tubuh akan mulai melemah saat usia tua. Begitu juga dengan anak balita yang alat indranya masih sangat lemah pasti juga terganggu ketika mendengar kerasnya suara sound horeg
Syariat islam yang diwakili oleh disiplin fiqh akan senantiasa membersamai dan mengarahkan kehidupan Masyarakat. Bahkan fikih dianggap sebagai disiplin ilmu yang paling utama karena mencakup hampir seluruh pengetahuan agama, baik hukum-hukum yang bersifat horizontal (hablum mina an-nas) maupun vertikal (hablum mina allah). Secara subtnsial fiqh akan memandu semua aktivitas seorang hamba, dari ibadahnya, hubungan sosialnya (mua’amalah) kekeluargaan (manakahah), sampai urusan politik kenegaraan (siyasah). Melalui kreativitas intelektual muslim (fuqoha’), setiap problematika umat mendapatkan kepastian hukum yang dapat dipertanggung jawabkan.[2]
Kajian fikih sebagai sistem hukum yang berakar pada syariat Islam, memberikan kerangka berpikir yang komprehensif untuk mengevaluasi berbagai isu, termasuk isu lingkungan. Sehingga dalam hal ini, sangat penting untuk memahami pandangan fikih mengenai baku tingkat kebisingan, serta upaya melasanakan prinsip-prinsip Islam dalam mewujudkan pelestarian lingkungan dan kesehatan masyarakat, dengan pendekatan literatur fikih.
Kebisingan yang terus-menerus dapat memberikan dampak buruk bagi kesehatan tubuh manusia, baik fisik maupun psikologis. Paparan kebisingan yang berlebihan dapat menyebabkan stres, gangguan tidur, kesulitan konsentrasi, serta meningkatkan risiko kecelakaan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), masalah gangguan pendengaran semakin meningkat akibat polusi suara. Setiap 24 April diperingati sebagai Hari Sadar Bising Sedunia untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya kebisingan terhadap kesehatan.
Dalam literatur-literatur fikih disebutkan, dampak dari pengerasan suara akan menimbulkan hukum yang berbeda. Jika volume suara menimbulkan gangguan yang signifikan kepada orang lain (tasywis) meskipun pendengar yang merasa terganggu (mutasyawwis) adalah orang fasik yang sedang tidur, maka hukumnya haram. Ada tidaknya tasywis yang ditimbulkan dari voleume suara dikembalikan kepada keterangan mutasyawwis. [3]
Dalam kitabnya yang lain, Imam Ibnu Hajar satu suara dengan pendapatnya Imam Nawawi dalam kitab majmu’ yang menyatakan bahwa menaikkan volume suara didekat orang yang shalat dan orang tidur adalah makruh, tetapi ketika sampai mengakibatkan gangguan dengan intensitas yang tinggi (idza’) maka hukum yang lebih tepat adalah haram.[4] Dalam konteks lain, kesunahan mengeraskan kalimat talbiyah saat tawwaf, juga mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain, artinya dihukumi makruh jika menimbulkan tasywis dan jika intensitas gangguannya sangat tinggi diatas kewajaran (idza’ la yuhtamalu ‘adatan) maka hukumnya adalah haram.[5]
Dari sedikit contoh diatas, dapat difahami bahwa syariat islam (fikih) memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masalah penggunaan suara (baik sound distem maupun yang lain). fikih hadir dengan membawa spirit menjaga kenyamanan hidup bermasyarakat dengan berupaya menghindarkan mereka dari segala bentuk perilaku yang merugikan atau menyakiti (idza’) satu sama lain. Dan salah satu bentuk idza’ dapat terwujud dengan mengeraskan volume suara diatas kewajaran, seperti tren di zaman sekarang.
Dalam fikih, seseorang diperbolehkan menggunakan barang pribadi sesuai keinginannya dengan syarat harus memperhatikan kebiasaan (urf) yang berlaku di masyarakat sekitarnya. ketika penggunaan barang secara wajar dan berdampak negatif kepada orang lain, maka tidak wajib mengganti rugi, tetapi jika penggunaan diatas kewajaran dan menimbulkan kerusakan maka wajib memberikan ganti rugi.[6] Dengan demikian mengeraskan volume Sound Horeg ketika diatas kewajaran dan menimbulkan kerusakan baik fisik maupun materi, pihak yang menggunakan harus bertanggung jawab.
Negatif atau tidaknya dampak kerasnya volume sound horeg terhadap telinga harus melibatkan merujuk pada yang ahli dibidangnya. Dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan (THT), dr. Arne Laksmiasanti., Sp.THT-KL., mengatakan WHO telah merekomendasikan volume suara maksimal yang aman untuk telinga manusia adalah 85 desibel untuk durasi maksimal 8 jam. Arne menjelaskan, sound horeg dengan intensitas bising mencapai 135 desibel dapat menyebabkan gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearing loss/NIHL). Gangguan tersebut masuk ke dalam tipe saraf atau sensorineural. “Mengakibatkan kerusakan struktur serabut saraf telinga bagian dalam,” ujar Arne[7]
Penggunaan sound horeg sangat meresahkan masyarakat, banyak masyarakat terutama ibu-ibu menutupi telinganya rapat-rapat ketika rombongan sound horeg melewati perumahan mereka. Bahkan beredar video memperlihatkan salah satu genteng rumah warga di Kabupaten Pati ambruk akibat getaran dari karnaval sound horeg. Dengan demikian, keberadaan Sound Horeg ini cukup mengganggu telinga jika kedapatan masuk perkampungan.
Penutup
Penggunaan volume Sound Horeg yang melebihi batas kewajaran pendengaran telinga manusia sebagaimana telah ditetapkan oleh WHO yaitu 85 desibel, dan menimbulkan intensitas gangguan yang sangat tinggi atau diatas kewajaran (idza’ la yuhtamalu ‘adatan) kepada sebagian masyarakat maka hukumnya adalah haram. Keharaman tersebut mempertegaskan bahwa syari’at islam tidak akan membiarkan semua aktivitas yang menimbulkan idza’ terhadap orang lain, dan ketika idza’ terjadi karena besarnya volume suara (rof’us shout) maka volume suara tersebut harus dikecilkan sampai pada taraf kewajaran (adat). Dalam fikih, alasan ibadah apalagi sekedar hiburan tidak boleh mengorbankan kenyamanan orang lain baik kesehatan atau materi.
[1]Gramedia, mengenal asal usul sound horeg
[2] Agus Abdullah Ammar dkk, Wajah Baru fiqh Nusantara, hlm 126 th 2024
[3] Ibnu hajar al-haitami, minhajul qowim, hlm 255 maktabah syamilah
[4] Ibnu hajar al-haitami, al-fatawa al-fiqhiyah al-kubro, hlm 158 maktabah syamilah
[5] Al-qolyubi, hasyiyah qolyubi, juz 6 hlm 32 maktabah syamilah
[6] Muhammad Nawawi, Minhajut at-Thalibin, hlm 244
[7] https://www.ums.ac.id/berita/teropong-jagat/waspada-sound-horeg-merusak-pendengaran, diakses tgl 10 Juli 2025 20:47