Revitalisasi Maslahah dalam Penentuan Hukum Bayi Tabung dan Surrogacy

Kolom Santri322 Dilihat

Kemajuan teknologi reproduksi seperti bayi tabung (in vitro fertilization/IVF) dan surrogacy (ibu pengganti) telah membuka peluang baru bagi pasangan yang kesulitan mendapatkan keturunan. Dari sisi medis, teknologi ini jelas memberi harapan. Namun, dalam perspektif hukum Islam, muncul sederet pertanyaan bagaimana status nasab anak yang lahir? Bagaimana hak warisnya? Apakah prosesnya menjaga kehormatan rahim sesuai syariat? Isu-isu ini tidak sekadar persoalan teknis, tapi menyentuh prinsip-prinsip dasar dalam maqashid syariah. Tulisan ini mencoba melihat sejauh mana maslahah (kemaslahatan) dapat menjadi landasan ijtihad dalam menetapkan hukum terkait praktik bayi tabung dan surrogacy.

Konsep Maslahah dalam Hukum Islam

Maslahah secara sederhana berarti mengambil manfaat dan menghindari mudharat. Ulama ushul fiqh seperti al-Ghazali dan al-Syatibi membagi maslahah menjadi tiga tingkatan: daruriyyah (primer), hajiyyah (sekunder), dan tahsiniyyah (tersier). Ketiganya berhubungan erat dengan lima tujuan utama syariat menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam hukum Islam, maslahah bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, tetapi menjadi alat penting ketika tidak ada nash yang jelas. Dengan pendekatan ini, syariat dapat beradaptasi terhadap perkembangan zaman tanpa meninggalkan prinsip dasarnya.[1]

Bayi Tabung dan Surrogacy: Tinjauan Singkat

Bayi tabung dilakukan dengan mempertemukan sel sperma dan sel telur di luar rahim, lalu menanamkan embrio yang terbentuk ke dalam rahim seorang wanita biasanya istri yang sah. Tantangan muncul jika melibatkan donor sperma atau sel telur dari pihak ketiga, karena ini berpotensi mencampuradukkan nasab. Surrogacy pun demikian. Ada dua bentuk tradisional (ibu pengganti sekaligus penyumbang sel telur) dan gestasional (ibu pengganti hanya mengandung, tanpa hubungan genetik). Dalam kedua kasus, masalah yang muncul meliputi nasab, hak waris, keabsahan akad pernikahan, hingga potensi komersialisasi rahim.[2]

Penerapan Maslahah dalam Penentuan Hukum

Jika dilihat dari sisi manfaat, teknologi ini membantu pasangan yang secara medis sulit memiliki anak sejalan dengan tujuan syariat menjaga keturunan (hifz al-nasl). Namun, ada juga risiko kerancuan nasab, eksploitasi perempuan, hingga potensi konflik hak asuh. Oleh karena itu, prinsip maslahah menuntut pertimbangan yang seimbang antara manfaat dan mudharat. Fatwa MUI, misalnya, memperbolehkan bayi tabung selama menggunakan sperma dan sel telur dari pasangan sah, serta embrio ditanam di rahim sang istri.Surrogacy, terutama yang melibatkan pihak ketiga, umumnya dilarang karena dinilai bertentangan dengan perlindungan nasab dan kehormatan rahim. Pendekatan maslahah memungkinkan hukum Islam tetap relevan di tengah kemajuan teknologi, tanpa mengorbankan prinsip maqashid syariah.[3]

Kesimpulannya, maslahah memberi ruang bagi hukum Islam untuk merespons masalah-masalah baru seperti bayi tabung dan surrogacy dengan bijak. Prinsip ini menekankan bahwa kemajuan teknologi harus tetap berjalan seiring dengan perlindungan keturunan, nasab, dan kehormatan rahim. Untuk itu, dibutuhkan regulasi dan fatwa yang jelas agar praktiknya tidak keluar dari koridor syariat. Dengan pendekatan ini, hukum Islam bukan hanya menjaga nilai-nilai lama, tetapi juga hadir memberi solusi yang relevan bagi kebutuhan umat masa kini.

Daftar Pustaka

Alfina, F., Melkat, W., & Rahma, N. A. P. (2025, Mei). Rekonstruksi konsep maslahah dalam perspektif filsafat hukum Islam kontemporer. Jurnal Media Akademik, 3(5), xx.  https://doi.org/10.62821/3031-5220

Aksa, F. N., Herinawati, Tahmid, M., & Widia, S. M. (2025, April). Kajian normatif hukum Islam terhadap teknologi bayi tabung dan surrogacy berdasarkan Maqasid al-Syari‘ah. Palita: Journal of Social Religion Research, 10(1), 50–62.  https://doi.org/10.24256/pal.v10i1.6537

Muntaha. (n.d.). Surrogate mother dalam perspektif hukum pidana Indonesia (hlm. 77). Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara.

[1] Alfina Fadhila, Melkat Wulandari, dan Rahma Nufiza Amalia Putri, “Rekonstruksi Konsep Maslahah dalam Perspektif Filsafat Hukum Islam Kontemporer,” Jurnal Media Akademik, Vol. 3, No. 5 (Mei 2025): xx, https://doi.org/10.62821/3031-5220.

[2] Fauzah Nur Aksa, Herinawati, Muhammad Tahmid, dan Siska Mona Widia, “Kajian Normatif Hukum Islam terhadap Teknologi Bayi Tabung dan Surrogacy Berdasarkan Maqasid al-Syari‘ah,” Palita: Journal of Social Religion Research, Vol. 10, No. 1 (April 2025): 50–62, https://doi.org/10.24256/pal.v10i1.6537.

[3] Muntaha, “Surrogate Mother dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia”, Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, hlm. 77.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *