Seminar Nasional “Implementasi Tafsir Maqoshidi Dalam Merespon Problematika Umat di Era Digital” Bersama Dr. KH. Abdul Ghofur Maimoen, MA.
Oleh: Imma Nur Diana
“ketika ada dua kubu aliran Dhohiriyah dan Bathiniyah yang saling bertentangan, bagaimana Tafsir Maqashidi mengklaim jalan tengah yang ia tawarkan dan bagaimana caranya agar maqashid yang dimunculkan tersebut tidak liar?”
Ma’had aly Pesantren Maslakul Huda fi Ushul al-Fiqh mengadakan acara Seminar Nasional dengan tema “Implementasi Tafsir Maqashidi dalam Merespon Problematika Umat di Era Digital” dengan narasumber Dr. KH. Abdul Ghofur Maimoen, MA. Acara tersebut dilaksanakan hari Sabtu, (22/01) pada pukul 08.00 WIB di Aula Mubtadi’at lt.II yang dihadiri oleh segenap santri dan civitas akademika Ma’had Aly Pesantren Maslakul Huda, tamu undangan dari Ma’had Aly se-Indonesia, dan tamu undangan dari perguruan tinggi sekitar. Dalam pelaksanaannya tidak hanya luring tapi juga daring via streaming youtube Pesantren Maslakul Huda.
Acara Seminar Nasional tersebut dimulai dengan pembukaan oleh MC, dilanjutkan pembacaan kalam Ilahi, menyanyikan Indonesia Raya dan Mars Syubbanul Wathan, sambutan pengasuh Pesantren Maslakul Huda, dilanjutkan dengan acara inti, tanya jawab dan ditutup dengan doa yang dipimpin langsung oleh narasumber.
Dalam sambutan yang disampaikan oleh pengasuh, KH. Abdul Ghoffar Rozin, M.Ed., atau yang akrab disapa Gus Rozin, bahwa mayoritas santri pada saat ini adalah santri milenial dan generasi zero. Oleh karena itu, karakteristik yang dimilikinya berbeda. Tentang bagaimana mereka memandang masalah dan mencari penyelesaiannya pun juga berbeda. Kemudian, relevansinya ketika para santri menghadapi problematika sosial yang berkembang, apa hubungannya dengan teks-teks yang selama ini mereka pelajari dan menjadi tantangan mereka untuk mengimplimentasikan apa yang telah dipelajari selama ini.
“Forum ini adalah forum yang sangat penting, saya berharap forum ini dikaji dengan baik. Karena ini adalah titik balik kita, ketika kita harus bergaul dengan dunia digital. Ketika ruang ini berhasil dilipat dengan perkembangan digital, saya kira perlu menyongsong peradaban baru itu dengan kesiapan-kesiapan yang sifatnya ushul. Manfaatkan dan simak sebaik-baiknya.” Tutur Gus Rozin sebelum mengakhiri sambutannya. Selanjutnya, adalah acara inti yang di moderatori oleh KH.Umar Farouq,S.I.Kom., salah satu muhadlir Ma’had Aly Pesantren Maslakul Huda.
Maqashid as-syari’ah atau tujuan dari pemberlakuan agama Islam menjadi kajian dalam fiqh ushul al-fiqh. Kita mengenal pada masa klasik, Imam Al-Juwaini yang merupakan guru dari Imam Ghazali. Beliau merilis 3 tingkatan maslahah; dhoruriyat (primer), hajaniyat (sekunder), tahsiniyat (tersier). Kemudian era berikutnya, Imam Ghazali memunculkan maslahah dalam dhoruriyat al-khoms; hifdzu an-nafs, hifdzu al-mal, hifdzu an-nasl, hifdzu al-aql, dan hifdzu ad-din yang kemudian dilegalisasikan oleh Imam Syatibi dalam kitab al-Muwafaqat. Di era kontemporer sekarang ini, ada Imam Thohir Ibnu Asyur sang pemilik Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir . Ada juga Imam Roisyuni. Dari Indonesia muncul Tafsir Maqashidi oleh Prof. Dr. Abdul Mustaqim. Beliau menulis Tafsir Maqashidi dalam versi bahasa Indonesia dan bahasa Arab yakni, Tafsir Maqashidi fi Dhau’i al-Qur’ani wa as-Sunnati an-Nabawiyah.
Di Indonesia Tafsir Maqashidi memang masih langka, karena ia bermula dari maqashid as-syari’ah yang memuat wacana fiqh ushul al-fiqh. Jadi, jika diintegrasikan ke dalam ilmu tafsir hal ini tentu membutuhkan perinci-perinci baru. Berikutnya, harus kita bedakan antara maqashid as-syari’ah dengan maqashid al-qur’an. Dalam konteks maqashid as-syari’ah akan sangat terbatas karena lebih dimaknai pada ahkam-ahkam saja, sedangkan kandungan yang ada dalam maqashid al-qur’an mencakup banyak hal. Dari sini dapat diambil pemahaman, bahwa dalam terminologi fiqh ushul al-fiqh kandungan yang ada pada maqashid al-qur’an lebih banyak daripada maqashid as-syari’ah.
Dr. KH. Abdul Ghofur Maimoen, M.A. yang akrab disapa Gus Ghofur, membuka materi pada Seminar Nasional tersebut dengan memperkenalkan sosok inspiratif, ialah gurunya ketika Gus Ghofur menimba ilmu di Bumi Kinanah, Prof. Dr. Ibrahim Abdurrahman Khalifah, sang pakar ahli tafsir dan sering dijuluki Syaikh al-Mufasirin (gurunya para mufassir). Gus Ghofur memberikan pandangan bahwa sebenarnya tafsir tidak selalu berkaitan dengan fikih, bahkan ketika tafsir itu berkaitan dengan maqashid juga tidak selalu berkaitan dengan fikih. Akan tetapi, hal itu juga penting untuk dikaji. Beliau menggambarkan dalam At-Tafsir at-Tahlili Lishurotinnisa’. Dalam tafsir an-nisa’ substansinya ada pada nama surah itu sendiri ialah an-nisa’ (perempuan), yang mana tafsir maqashidi nya ingin mengangkat derajat orang-orang lemah.
Ketika berbicara tentang maqashidi berarti berbicara mengenai ayat-ayat al-qur’an itu sendiri. Misalkan dalam Surat An-Nisa’ : 4 ialah,
{ وَءَاتُوا۟ ٱلنِّسَاۤءَ صَدُقَـٰتِهِنَّ نِحۡلَةࣰۚ فَإِن طِبۡنَ لَكُمۡ عَن شَیۡءࣲ مِّنۡهُ نَفۡسࣰا فَكُلُوهُ هَنِیۤـࣰٔا مَّرِیۤـࣰٔا }
Dalam ayat tersebut terkadang dijelaskan bahwa istri dibeli suaminya menggunakan mahar, padahal sebenarnya pemberian mahar tersebut dimaknai sebagai pemberian yang didasarkan atas cinta dan tanpa pamrih. Dalam contoh kasus yang lain, hubungan orang muslim dengan non muslim untuk perang atau damai? Dengan teori tafsir maqashidi, ketika kita menghendaki perang, ya, maqashid-nya perang.
Dalam menyikapi permasalahan-permasalahan kontemporer, elemen terpenting di dalamnya ialah maqashid. Sebagaimana yang dikatakan Imam Syatibi, “Maqashid adalah ruhnya amal”.
Tujuan pertama dari al-Qur’an yang dapat kita rekam ialah adanya khilafah. Kedua, ibadatullah (segala sesuatu yang disukai Allah dan kita niatkan karena-Nya). Terakhir, sebagaimana dalam Surat Hud ayat 16 ialah:
{ وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمۡ صَـٰلِحࣰاۚ قَالَ یَـٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَـٰهٍ غَیۡرُهُۥۖ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلۡأَرۡضِ وَٱسۡتَعۡمَرَكُمۡ فِیهَا فَٱسۡتَغۡفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوۤا۟ إِلَیۡهِۚ إِنَّ رَبِّی قَرِیبࣱ مُّجِیبࣱ }
itu berarti tugas kita adalah imaratul ardh.
Sebelum mengakhiri materi Seminar, Gus Ghofur memberikan pesan singkat tapi bermakna,
“Kalau berijtihad jangan sampai mengabaikan maqashid”.
Sehingga, ketika kita berbicara apa saja dalam al-Qur’an pasti terdapat konteks tauhid, keadilan, disertai dengan kisah-kisahnya. Bagian dari Al-Qur’an itu sedemikian sempurna. Sehingga, jangankan satu al-Qur’an, satu ayat, satu surat, satu lafadz, satu jumlah dan satu huruf pun memiliki maqashidi sendiri. Itu berarti bahwa maqashid al-qur’an mencakup kulli dan juz’i. Kemudian maqashid as-syar’iah hanya mengambil inti-inti dari Al-Qur’an pada aspek syariah saja.
Dari beberapa pertanyaan yang terlontar, ada satu pertanyaan menarik yang relevan dengan realita, yaitu ketika ada dua kubu aliran Dhohiriyah dan Bathiniyah yang saling bertentangan, bagaimana Tafsir Maqashidi mengklaim jalan tengah yang ia tawarkan dan bagaimana caranya agar maqashid yang dimunculkan tersebut tidak liar?
“Kita itu hanya mendapatkan ajaran yang terus disampaikan, bahwa yang namanya wasathiyah atau moderat itu dalam bahasa yang enak
بين ضيق النص و سعة المقاصد
Maqashid jika dibiarkan memang akan sangat luas. Teks jika tidak diluaskan juga sangat-sangat sempit. Memang jalan tengah ini, selalu menjadi perdebatan. Misalnya, orang seringkali tidak bisa moderat secara 100%. Begitupun NU masih harus diingatkan dalam banyak hal agar kembali menjadi moderat. Karena moderat itu sangat susah sekali. Saya senang membaca kitabnya Qardhawi, karena beliau sangat moderat. Akan tetapi, ada beberapa yang perlu diketahui ketika Qardhawi sudah berbicara mengenai konsep kenegaraan sangat dipengaruhi oleh konsep ikhwan sehingga mudah sekali untuk tidak moderat.“ Jelas Gus Ghofur menanggapi pertanyaan dari santri Ma’had Aly Al-Hikamussalafiyah, Cirebon.
Menurut pendapat narasumber, madzab Dhohiriyah masih perlu dipertanyakan, apakah pemikirannya benar? Karena meskipun pemikirannya sering tekstualis dan tanpa ribet, sebenarnya juga mempunyai pemikiran-pemikiran yang menyenangkan. Beliau Gus Ghofur bahkan sangat menikmati gaya pemikirannya Dhohiriyah, Ibnu Hazm di dalam fikihnya, “al-muhim al-wujud” yang beliau contohkan dalam permasalahan perempuan tidak boleh pergi ke masjid akan tetapi diperbolehkan pergi ke pasar dan permasalahan darah haid perempuan.
“Jadi kadang-kadang apa yang kita persepsikan bisa menimbulkan sa’ah , terkadang juga apa yang kita simpulkan menimbulkan ad-dhiq. Makanya, بين ضيق الناس و سعة المقاصد harus terus diolah dan jangan berhenti serta jangan berbangga diri mengatakan bahwa ‘aku ini sudah maqashidi’ jangan-jangan kamu terlalu bangga dengan maqashidi sehingga tidak mengenal nas.” Imbuh beliau diselingi dengan guyonan.
Pada intinya, untuk mengontrol liberalisasi harus didialogkan terus menerus guna mengoreksi tekstualis.
Sebelum acara ditutup, dilaksanakan penyerahan cinderamata kepada Gus Ghofur oleh Gus Rozin dan penyerahan kenang-kenangan kepada 3 penanya terbaik berupa kitab Anwar al-Bashoir karya Kiai Sahal.