Teknologi Komunikasi Dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Sosial Santri

Kolom Santri620 Dilihat

Pendahuluan

Perkembangan teknologi komunikasi di era modern ini tidak bisa dipungkiri telah menyentuh berbagai lapisan masyarakat, termasuk kalangan santri. Beberapa lembaga Pesantren sudah melegalkan penggunaan teknologi komunikasi sebagai alat bantu, baik dalam segi komunikasi antar santri maupun santri dengan wali santri atau sebagai alat komunikasi antar lembaga terutama organisasi santri dalam segi administrasi.

Pembahasan

Jika dulu santri lebih banyak berinteraksi secara langsung melalui kegiatan halaqah[1], musyawarah, ataupun diskusi-diskusi di serambi pesantren ditemani dengan segelas kopi, kini sebagian aktivitas tersebut mulai berpindah ke ruang-ruang digital. Kehadiran media sosial, dan aplikasi pesan instan membawa sedikit perubahan dalam pola komunikasi santri.

Sedikit lebih teknologi komunikasi mempermudah kehidupan para santri. Dulu, untuk sekadar bertanya soal kitab kuning atau diskusi tentang pelajaran, para santri harus bertemu langsung, menunggu waktu luang, atau menunggu jadwal musyawarah. Sekarang, cukup lewat grup WhatsApp, berbagai informasi bisa dibagikan secara cepat dan efisien. Bahkan, banyak santri yang mulai memanfaatkan media sosial sebagai media dakwah digital, menyebarkan kutipan-kutipan dawuh masyayikh[2], ceramah pendek, hingga video kajian. Ini membuktikan bahwa teknologi komunikasi bisa menjadi alat bantu yang sangat efektif dalam mendukung aktivitas santri terutama dalam bidang dakwah.

Namun, di balik manfaat yang besar, teknologi komunikasi juga membawa tantangan tersendiri. Beberapa santri mulai kecanduan bermain media sosial hingga lupa waktu mengaji. Ada pula yang lebih sibuk menatap layar ketika kegiatan halaqoh berlangsung. Kondisi ini membuat interaksi sosial secara langsung antar santri mulai berkurang. Kebiasaan diskusi panjang tentang fikih pun perlahan tergeser oleh obrolan ringan di ruang-ruang virtual. Tak jarang, perbedaan pendapat yang biasanya bisa diselesaikan dengan musyawarah, justru memicu salah paham karena komunikasi tulisan di media digital yang sering kali tanpa ekspresi.

Teknologi komunikasi ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi membawa kemudahan dan peluang besar, di sisi lain menyimpan potensi gangguan terhadap nilai-nilai kebersamaan dan kekhusyukan lingkungan pesantren. Oleh karena itu, yang paling penting bukanlah membatasi teknologi, melainkan bagaimana santri mampu menggunakan teknologi komunikasi secara bijak.

Kesimpulan

Dari tulisan di atas bisa kita simpulkan bahwa teknologi komunikasi bukan musuh bagi santri, melainkan alat bantu yang harus dikelola dengan bijak. Santri tetap harus menjaga budaya musyawarah, diskusi tatap muka, dan adab dalam berinteraksi, baik di dunia nyata maupun di ruang digital. Dengan begitu, kehidupan sosial santri bisa tetap harmonis tanpa mengabaikan manfaat besar yang dibawa oleh perkembangan teknologi komunikasi.

[1] Halaqah di kalangan Pesantren adalah istilah yang digunakan untuk menyebut tradisi diskusi, perdebatan, dan pembahasan topik-topik tertentu di kalangan pesantren, meskipun pesertanya bukan antara guru dan murid; dan tidak melulu berbentuk lingkaran.

Sumber: https://www.nu.or.id/nasional/halaqah-EGGFq

[2] Masyayikh secara bahasa adalah bentuk jamak dari syekh yang artinya seorang guru. Masyayikh di sini mengacu pada para guru atau kiai di Pesantren yang memiliki keilmuan yang luas dan dihormati karena ilmunya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *