Nama : ahmad samuri
VASEKTOMI MENJADI SYARAT PENERIMAAN BANSOS: TELAAH MAQHOSHIDUS SYARIAH.
PENDAHULUAN
Belakangan ini, publik dihebohkan oleh pernyataan Budi Mulyono, Kepala Dinas Sosial Kabupaten Kulon Progo, yang menyatakan bahwa salah satu syarat menerima bantuan sosial (bansos) adalah mengikuti program vasektomi atau kontrasepsi permanen. Pernyataan tersebut menuai pro dan kontra, terutama karena menyentuh aspek fundamental hak asasi manusia, yakni hak untuk menentukan sendiri pilihan reproduksi. Pemaksaan semacam ini, meskipun mungkin dimaksudkan untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk dan mengurangi beban ekonomi, justru menimbulkan pertanyaan etis, hukum, dan agama yang sangat serius.
Dalam konteks Islam, kebijakan seperti ini perlu ditinjau melalui pendekatan Maqāṣid al-Syarī‘ah yakni tujuan-tujuan utama dari syariat Islam yang bertujuan untuk menjaga lima hal mendasar: agama (dīn), jiwa (nafs), akal (‘aql), harta (māl), dan keturunan (nasl). Dengan kerangka ini, kita dapat mengevaluasi apakah kebijakan tersebut benar-benar menghadirkan kemaslahatan atau justru menciptakan kerusakan (mafsadah) yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
PEMBAHASAN
Metode kontrasepsi vasektomi ini bersifat permanen dan efektif mencegah kehamilan. Vasektomi merupakan metode operasi dengan jalan memotong vas deferens sehingga saat ejakulasi tidak terdapat spermatozoa dalam cairan sperma.[1]
Pengertian Vasektomi Vasektomi adalah metode kontrasepsi permanen untuk pria yang dilakukan dengan cara memotong atau mengikat saluran sperma (vas deferens), sehingga sperma tidak lagi keluar bersama air mani saat ejakulasi. Prosedur ini bertujuan untuk mencegah kehamilan dan umumnya dianggap sebagai langkah akhir dalam pengendalian kelahiran bagi pria yang tidak ingin memiliki anak lagi. Berikan daftar Pustaka.[1]
keputusan untuk melakukan vasektomi tidak hanya menyangkut pertimbangan medis, tetapi juga menyentuh aspek sosial, psikologis, dan etis. Di beberapa masyarakat, vasektomi masih dianggap tabu karena berkaitan dengan persepsi maskulinitas atau peran laki-laki sebagai penerus keturunan. Ada pula resistensi karena kekhawatiran kehilangan kejantanan, meskipun kekhawatiran ini tidak didukung oleh fakta medis.
Dari sisi agama, khususnya dalam Islam, kontrasepsi yang bersifat sementara cenderung dibolehkan dengan syarat tertentu. Namun, karena vasektomi bersifat permanen, sebagian besar ulama menganggapnya terlarang kecuali dalam keadaan darurat, seperti risiko tinggi terhadap keselamatan istri jika terjadi kehamilan. Pendekatan maqashid al-syari’ah melihat perlindungan jiwa (hifzh al-nafs) sebagai prioritas, sehingga vasektomi bisa dipertimbangkan jika ada bahaya serius bagi nyawa istri.
Dengan mengetahui pengertian maqâshid dan al-syarî’ah secara etimologi, maka dapat membantu kita menjelaskan pengertian Maqâshid al-Syarî‘ah secara terminologi, yaitu maksud atau tujuan-tujuan dishari’atkanya hukum dalam Islam, hal ini mengindikasikan bahwa Maqâshid al-Syarî‘ah erat kaitanya dengan hikmah dan ‘illat. [2]
Wahbah al-Zuhaili mengatakan bahwa maqâsid al-syarî’ah adalah nilai-nilai dan sasaran syara’ yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syarî’ah, yang ditetapkan oleh al-Syâri’. [1]
Dalam upaya pengendalian populasi dan penyaluran bantuan sosial (bansos), muncul kebijakan kontroversial di mana vasektomi dijadikan syarat penerimaan bansos. Kebijakan ini menimbulkan polemik, khususnya dalam perspektif hukum Islam. Salah satu pendekatan penting dalam menilai kebijakan tersebut adalah melalui Maqāṣid al-Syarī‘ah, yaitu tujuan-tujuan luhur dari syariat Islam. Dalam kerangka Maqāṣid al-Syarī‘ah, para ulama sepakat bahwa syariat Islam memiliki lima tujuan utama:
- Hifzh al-Dīn (menjaga agama)
- Hifzh al-Nafs (menjaga jiwa)
- Hifzh al-‘Aql (menjaga akal)
- Hifzh al-Nasl (menjaga keturunan)
- Hifzh al-Māl (menjaga harta)
- Hifzh al-Nasl (Menjaga Keturunan)
Tujuan ini berperan sentral dalam konteks vasektomi. Islam sangat menekankan pentingnya keberlangsungan keturunan. Pernikahan dan prokreasi merupakan bagian dari fitrah manusia. Kebijakan yang mematikan potensi keturunan secara permanen apalagi dengan paksaan jelas bertentangan dengan maqāṣid ini. Para ulama klasik maupun kontemporer umumnya mengharamkan sterilitas permanen kecuali karena alasan darurat yang sah, seperti bahaya medis bagi istri atau janin. Jika vasektomi diberlakukan secara administratif dan bukan karena indikasi medis, maka kebijakan itu tidak dapat diterima dalam perspektif maqāṣid.
- Hifzh al-Nafs dan al-‘Aql
Jika vasektomi dilakukan demi menjaga kesehatan jiwa dan akal, seperti menghindari stres berat karena keturunan yang terlalu banyak dan tidak mampu dirawat, maka bisa dipertimbangkan secara kasuistik. Tetapi tetap harus bersifat pilihan sadar dan sukarela, bukan karena tekanan ekonomi dari negara.
- Hifzh al-Māl
Beberapa argumen menyatakan bahwa vasektomi membantu menjaga kondisi ekonomi (māl). Namun dalam maqāṣid, menjaga harta tidak boleh mengalahkan menjaga keturunan. Islam mendorong pemberdayaan ekonomi dan pengelolaan kelahiran secara sadar (tanzīm al-nasl), bukan penghapusan potensi keturunan secara permanen.
Vasektomi sebagai syarat bansos secara nyata bukanlah pilihan sukarela, melainkan bentuk pemaksaan terselubung yang memanfaatkan posisi lemah masyarakat miskin. Negara secara tidak langsung menyatakan: Jika ingin hidup layak dan menerima bantuan, maka kamu harus menyerahkan hak berketurunan. Ini adalah bentuk pengorbanan hak biologis untuk kebutuhan ekonomi, yang dalam perspektif maqāṣid sangat bermasalah.
Menjadikan vasektomi sebagai syarat bansos: Bertentangan dengan prinsip dasar Maqāṣid al-Syarī‘ah, khususnya hifzh al-nasl, merupakan bentuk pemaksaan tidak langsung terhadap kelompok rentan, menyalahi prinsip keadilan sosial dan hak reproduktif,
Dan dalam etika syar’i, dapat dikategorikan sebagai tindakan zalim dan merusak kemaslahatan umat.
Kemaslahatan atau Mafsadah.
Kebijakan menjadikan vasektomi sebagai syarat penerimaan bantuan sosial tampak berupaya mengejar maslahat sosial dan ekonomi, seperti pengendalian penduduk dan pengurangan beban negara. Namun, jika ditelaah dalam perspektif Maqāṣid al-Syarī‘ah, kebijakan ini justru bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat, terutama dalam hal menjaga keturunan (hifzh al-nasl).
Vasektomi permanen yang dipaksakan secara struktural kepada masyarakat miskin merampas hak reproduktif mereka, mengabaikan keadilan sosial, serta menimbulkan mafsadah jangka panjang secara psikologis, sosial, dan etis. Maslahat yang diklaim pun bersifat spekulatif dan tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan. Dengan demikian, kebijakan ini lebih tepat dikategorikan sebagai mafsadah yang harus ditolak, karena bertentangan dengan maqṣad utama syariat dan prinsip dasar keadilan dalam Islam. Negara seharusnya mengambil pendekatan maslahat yang benar, yaitu pemberdayaan, edukasi, dan kebebasan dalam merencanakan keluarga bukan melalui paksaan atau syarat diskriminatif.
KESIMPULAN
Kebijakan yang menjadikan vasektomi sebagai syarat untuk memperoleh bantuan sosial tidak dapat dibenarkan dalam perspektif Maqāṣid al-Syarī‘ah. Meskipun tujuan kebijakan tersebut mungkin ingin mengejar maslahat seperti pengendalian penduduk dan pengurangan beban ekonomi, namun metode yang digunakan justru melanggar maqṣad yang lebih tinggi, yaitu hifzh al-nasl (menjaga keturunan), serta menimbulkan mafsadah serius baik secara etika, sosial, maupun spiritual.
Syariat Islam menempatkan hak untuk memiliki keturunan sebagai bagian dari kemuliaan manusia dan fitrah yang harus dijaga. Pemaksaan vasektomi, apalagi terhadap kelompok rentan dengan dalih syarat bansos, adalah bentuk tekanan struktural yang bertentangan dengan prinsip keadilan, kebebasan memilih, dan perlindungan terhadap hak dasar manusia. Oleh karena itu, kebijakan ini tidak hanya cacat secara maqāṣid, tetapi juga menyalahi nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang dijunjung tinggi dalam Islam.
Negara semestinya mengedepankan pendekatan yang lebih manusiawi dan maslahat sejati, seperti edukasi keluarga berencana, peningkatan kesejahteraan ekonomi, dan pemberdayaan masyarakat bukan melalui pemaksaan atau syarat yang merugikan hak reproduktif warga. Maka, vasektomi sebagai syarat bansos layak untuk ditolak secara hukum, etika, dan syariat.
[1] Ida Bagus Surya Manuaba, Memahami Reproduksi Kesehatan Wanita, Ed. EGC, vols., 2nd ed. (Jakarta: : EGC, 2009, 2009.
[2] Ahmad al-Raisuni, Nazhariyyât al-Maqâshid ‘Inda al-Syathibi, Dâr al-Amân, Rabat, 1991, hlm. 67. Lihat juga Umar bin Shâlih bin ‘Umar, Maqâshid Al-Syarî’ah ‘Inda al-Imâm al-Izz ibn ‘Abd al-Salâm, Dâr al-Nafa’z al-Nashr wa al-Tauzi’, Urdun, 2003, hlm. 98.