Peran Teknologi dalam Membentuk Konsep Pernikahan: Studi Kasus Pernikahan Online

Kolom Santri361 Dilihat

Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah membawa masyarakat ke era globalisasi. Salah satu dampaknya adalah munculnya praktik akad nikah melalui media elektronik. Namun, pernikahan online ini seringkali dihadapkan pada berbagai tantangan, terutama terkait dengan kualitas koneksi internet.

Ditinjau dari pengertiannya, Nikah online adalah suatu bentuk pernikahan yang mana ijab kabulnya dilakukan  melalui keadaan  konektivitas  atau  kegiatan  yang  terhubung  dengan suatu jaringan atau sistem internet (via online), jadi antara mempelai lelaki dengan mempelai  perempuan,  wali  dan  saksi  itu  tidak  saling  bertemu  dan  berkumpul dalam  satu  tempat,  yang  ada  dan  ditampilkan  hanyalah  bentuk  visualisasi  dari kedua belah   pihak   melalui   bantuan   alat   elektronik   seperti teleconference, webcame atau yang lainnya yang masih berkaitan dengan internet.

Nikah   via   online   ini   sendiri   dapat   difasilitasi   dengan   menggunakan proyektor (alat  tembak)  ke  layar  besar  untuk  menampilkan  masing-masing  pihak dan   unsur-unsur   yang   ingin   melangsungkan   akad   nikah. Hal   ini   untuk membuktikan   dan   membuat   semua   orang   dapat   melihat   akad   sebagaimana bertemu,   berjumpa,   bertatap   muka   secara   langsung   dan   khususnya   agar sebagaimana  mestinya,  serta  disertakan  juga  alat  pengeras  suara  sehingga  semua orang  dapat  mendengar  secara jelas  sebagaimana  yang  dikehendaki  pada  nikah umumnya

Dengan demikian, pernikahan yang dilakukan melalui via online ini, telah memenuhi syarat-syarat dan rukunnya. Namun, perbedaan yang signifikan terletak pada interpretasi terkait ijab qabul, terutama dalam konteks satu majelis. Meskipun pernikahan via online melalui teleconference  dilaksanakan di dua tempat yang berbeda, tetapi tetap memiliki satu maksud yang sama.[1] Dalam era kontemporer, fenomena akad nikah melalui via online menciptakan tantangan baru, terutama karena tidak terdapat penjelasan yang tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw mengenai permasalahan nikah via online. Hal ini menyebabkan kompleksitas hukum dan pemahaman terkait validitas proses pernikahan tersebut dalam kerangka ajaran Islam.

Di Indonesia, ditemukan prosesi akad nikah dengan jarak jauh. Yaitu Pada tanggal 25 Januari 2006, harian Jawa Pos memuat berita berjudul “Akad Nikah Lewat Video Konferensi: Mempelai wanita di Bandung, pria di Amerika”. Peristiwa yang tergolong tak lazim ini terjadi pada tanggal 11 Januari 2006 antara Rita Sri Mutiari Dewi di Bandung dengan Wiriadi Sutrisno  di California. Prosesi akad nikah dihadiri oleh kakak kandung Rita yang sekaligus menjadi wali nikahnya, serta Ny. Wiryawan, ibu Rita, kepala Penghulu Kecamatan Andir, Kota Bandung, Sohidin Efendi, S.Ag. dan beberapa orang lainnya termasuk saksi. Akad nikah dilangsungkan melalui video konferensi menggunakan voice over internet protocol (VoIP).[2]

Ketika kita ingin menyelidiki apakah akad nikah melalui via online itu sah atau tidak, hal pertama yang harus kita pahami adalah syarat-syarat sahnya akad nikah itu sendiri. Salah satu syarat yang paling banyak diperdebatkan para ulama adalah tentang persyaratan bahwa ijab dan kabul harus diucapkan dalam satu pertemuan atau majelis yang sama, yang disebut dengan istilah ittihad al-majlis. Para ulama memiliki dua pandangan yang berbeda mengenai arti dan penerapan syarat ini.

Pendapat pertama menyatakan bahwa ijab dan kabul harus diucapkan secara langsung dan berurutan dalam satu acara akad nikah. Jika ijab dan kabul dilakukan terpisah waktu, meskipun di tempat yang sama, maka pernikahan dianggap tidak sah menurut hukum Islam. Dari penjelasan tersebut, menekankan pentingnya adanya keterhubungan atau kontinuitas waktu antara ijab dan kabul dalam satu rangkaian acara akad nikah. Bukan hanya sekedar berada di tempat yang sama, tetapi juga harus dilakukan tanpa jeda atau gangguan yang memisahkan kedua pernyataan tersebut. Menurut pandangan ini, jika ada jeda waktu atau aktivitas lain di antara ijab dan kabul, meskipun dalam satu tempat, maka akad nikah dianggap tidak sah secara hukum Islam. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Sayyid Sabiq, seorang ulama terkemuka, yang menyatakan bahwa syarat satu majelis dalam akad nikah adalah tidak boleh ada pemutusan antara ijab dan kabul.

Pendapat kedua mengatakan bahwa keabsahan kesaksian dalam akad nikah adalah sebuah keyakinan yang harus diperoleh oleh para saksi ketika mereka menyaksikan pelaksanaan akad nikah. Meskipun identitas pembicara dalam akad nikah dapat diketahui melalui suara saja, tetapi bobot kekuatan kesaksian tersebut tidak akan mencapai tingkat keyakinan yang memadai jika saksi tidak melihat ekspresi fisik pelaksanaan akad nikah dengan mata mereka sendiri. Pendapat ini dianut oleh Ulama yang sejalan dengan Imam Syafi’i dan mereka menguatkan argumennya dengan merujuk pada tidak diterimanya kesaksian orang buta dalam aspek pernikahan. kesaksian orang buta dianggap setara dengan kesaksian seseorang yang berada dalam kegelapan total sehingga tidak dapat memastikan dengan pasti bahwa ijab dan qabul benar-benar diucapkan oleh kedua pihak yang melakukan akad.[3]

Abdurrahman al-Jaziri menegaskan pentingnya tatap muka dalam akad nikah. Pernikahan melalui via online berisiko tidak sah karena gangguan jaringan dapat memutus proses ijab dan kabul. Oleh karena itu, ketidakstabilan jaringan menjadi kendala utama dalam pelaksanaan akad nikah online dan dapat membatalkan pernikahan.[4]

Pelaksanaan akad nikah melalui via online pada dasarnya memiliki kesamaan dengan akad nikah konvensional pada umumnya, perbedaan mendasar terletak pada posisi dan tempat yang berbeda saat ijab dan qabul dilaksanakan. Dalam konteks ini, meskipun esensi proses pernikahan tetap terjaga, namun terdapat dinamika unik karena kedua belah pihak tidak berada pada satu tempat secara fisik, melainkan terhubung melalui media telekomunikasi. Dengan media telepon yang di dalamnya tersedia berbagai aplikasi pendukung seperti misalnya whatsapp ataupun fitur bawaan perangkat telepon sendiri dan lain-lain tidak hanya memungkinkan para pihak untuk mendengar suara seperti percakapan yang terjadi di telepon. Perkembangan teknologi memungkinkan kita menyaksikan akad nikah secara virtual. Ini menjadi solusi saat mempelai pria dan wali perempuan tidak bisa bertemu langsung. Misalnya, jika mempelai pria tidak mau diwakilkan, akad nikah online bisa menjadi pilihan. Ini menunjukkan bahwa hukum Islam bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.

[1] dkk Fauzia Sidiqa Ahmad, “Praktik Nikah Via Zoom Di Masa Pandemi Perspektif Hukum Islam,” Jurnal Kalosara 1, no. 2 (2021): 187–88.

[2] Akhmad Fadly Syahputera, “Pandangan Ulama Kabupaten Bantul Terhadap Akad Nikah Via Telekonferensi,” Skripsi pada Jurusan Al-Ahwal Asy-syakhshiyyah Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008, hlm. 1-2.

[3] Sadiani, Nikah Via Tlepon: Menggagas Pembaharuan Hukum Perkawinan Di Indonesia, h. 24.

[4] Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, h. 4

Asa Wafda Tazkiya, Santri Semester 5

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *