Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah membawa masyarakat ke era globalisasi. Salah satu dampaknya adalah munculnya praktik akad nikah melalui media elektronik. Namun, pernikahan online ini seringkali dihadapkan pada berbagai tantangan, terutama terkait dengan kualitas koneksi internet.
Ditinjau dari pengertiannya, Nikah online adalah suatu bentuk pernikahan yang mana ijab kabulnya dilakukan melalui keadaan konektivitas atau kegiatan yang terhubung dengan suatu jaringan atau sistem internet (via online), jadi antara mempelai lelaki dengan mempelai perempuan, wali dan saksi itu tidak saling bertemu dan berkumpul dalam satu tempat, yang ada dan ditampilkan hanyalah bentuk visualisasi dari kedua belah pihak melalui bantuan alat elektronik seperti teleconference, webcame atau yang lainnya yang masih berkaitan dengan internet.
Nikah via online ini sendiri dapat difasilitasi dengan menggunakan proyektor (alat tembak) ke layar besar untuk menampilkan masing-masing pihak dan unsur-unsur yang ingin melangsungkan akad nikah. Hal ini untuk membuktikan dan membuat semua orang dapat melihat akad sebagaimana bertemu, berjumpa, bertatap muka secara langsung dan khususnya agar sebagaimana mestinya, serta disertakan juga alat pengeras suara sehingga semua orang dapat mendengar secara jelas sebagaimana yang dikehendaki pada nikah umumnya
Dengan demikian, pernikahan yang dilakukan melalui via online ini, telah memenuhi syarat-syarat dan rukunnya. Namun, perbedaan yang signifikan terletak pada interpretasi terkait ijab qabul, terutama dalam konteks satu majelis. Meskipun pernikahan via online melalui teleconference dilaksanakan di dua tempat yang berbeda, tetapi tetap memiliki satu maksud yang sama.[1] Dalam era kontemporer, fenomena akad nikah melalui via online menciptakan tantangan baru, terutama karena tidak terdapat penjelasan yang tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw mengenai permasalahan nikah via online. Hal ini menyebabkan kompleksitas hukum dan pemahaman terkait validitas proses pernikahan tersebut dalam kerangka ajaran Islam.
Di Indonesia, ditemukan prosesi akad nikah dengan jarak jauh. Yaitu Pada tanggal 25 Januari 2006, harian Jawa Pos memuat berita berjudul “Akad Nikah Lewat Video Konferensi: Mempelai wanita di Bandung, pria di Amerika”. Peristiwa yang tergolong tak lazim ini terjadi pada tanggal 11 Januari 2006 antara Rita Sri Mutiari Dewi di Bandung dengan Wiriadi Sutrisno di California. Prosesi akad nikah dihadiri oleh kakak kandung Rita yang sekaligus menjadi wali nikahnya, serta Ny. Wiryawan, ibu Rita, kepala Penghulu Kecamatan Andir, Kota Bandung, Sohidin Efendi, S.Ag. dan beberapa orang lainnya termasuk saksi. Akad nikah dilangsungkan melalui video konferensi menggunakan voice over internet protocol (VoIP).[2]
Ketika kita ingin menyelidiki apakah akad nikah melalui via online itu sah atau tidak, hal pertama yang harus kita pahami adalah syarat-syarat sahnya akad nikah itu sendiri. Salah satu syarat yang paling banyak diperdebatkan para ulama adalah tentang persyaratan bahwa ijab dan kabul harus diucapkan dalam satu pertemuan atau majelis yang sama, yang disebut dengan istilah ittihad al-majlis. Para ulama memiliki dua pandangan yang berbeda mengenai arti dan penerapan syarat ini.
Pendapat pertama menyatakan bahwa ijab dan kabul harus diucapkan secara langsung dan berurutan dalam satu acara akad nikah. Jika ijab dan kabul dilakukan terpisah waktu, meskipun di tempat yang sama, maka pernikahan dianggap tidak sah menurut hukum Islam. Dari penjelasan tersebut, menekankan pentingnya adanya keterhubungan atau kontinuitas waktu antara ijab dan kabul dalam satu rangkaian acara akad nikah. Bukan hanya sekedar berada di tempat yang sama, tetapi juga harus dilakukan tanpa jeda atau gangguan yang memisahkan kedua pernyataan tersebut. Menurut pandangan ini, jika ada jeda waktu atau aktivitas lain di antara ijab dan kabul, meskipun dalam satu tempat, maka akad nikah dianggap tidak sah secara hukum Islam. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Sayyid Sabiq, seorang ulama terkemuka, yang menyatakan bahwa syarat satu majelis dalam akad nikah adalah tidak boleh ada pemutusan antara ijab dan kabul.
Pendapat kedua mengatakan bahwa keabsahan kesaksian dalam akad nikah adalah sebuah keyakinan yang harus diperoleh oleh para saksi ketika mereka menyaksikan pelaksanaan akad nikah. Meskipun identitas pembicara dalam akad nikah dapat diketahui melalui suara saja, tetapi bobot kekuatan kesaksian tersebut tidak akan mencapai tingkat keyakinan yang memadai jika saksi tidak melihat ekspresi fisik pelaksanaan akad nikah dengan mata mereka sendiri. Pendapat ini dianut oleh Ulama yang sejalan dengan Imam Syafi’i dan mereka menguatkan argumennya dengan merujuk pada tidak diterimanya kesaksian orang buta dalam aspek pernikahan. kesaksian orang buta dianggap setara dengan kesaksian seseorang yang berada dalam kegelapan total sehingga tidak dapat memastikan dengan pasti bahwa ijab dan qabul benar-benar diucapkan oleh kedua pihak yang melakukan akad.[3]
Abdurrahman al-Jaziri menegaskan pentingnya tatap muka dalam akad nikah. Pernikahan melalui via online berisiko tidak sah karena gangguan jaringan dapat memutus proses ijab dan kabul. Oleh karena itu, ketidakstabilan jaringan menjadi kendala utama dalam pelaksanaan akad nikah online dan dapat membatalkan pernikahan.[4]
Pelaksanaan akad nikah melalui via online pada dasarnya memiliki kesamaan dengan akad nikah konvensional pada umumnya, perbedaan mendasar terletak pada posisi dan tempat yang berbeda saat ijab dan qabul dilaksanakan. Dalam konteks ini, meskipun esensi proses pernikahan tetap terjaga, namun terdapat dinamika unik karena kedua belah pihak tidak berada pada satu tempat secara fisik, melainkan terhubung melalui media telekomunikasi. Dengan media telepon yang di dalamnya tersedia berbagai aplikasi pendukung seperti misalnya whatsapp ataupun fitur bawaan perangkat telepon sendiri dan lain-lain tidak hanya memungkinkan para pihak untuk mendengar suara seperti percakapan yang terjadi di telepon. Perkembangan teknologi memungkinkan kita menyaksikan akad nikah secara virtual. Ini menjadi solusi saat mempelai pria dan wali perempuan tidak bisa bertemu langsung. Misalnya, jika mempelai pria tidak mau diwakilkan, akad nikah online bisa menjadi pilihan. Ini menunjukkan bahwa hukum Islam bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
[1] dkk Fauzia Sidiqa Ahmad, “Praktik Nikah Via Zoom Di Masa Pandemi Perspektif Hukum Islam,” Jurnal Kalosara 1, no. 2 (2021): 187–88.
[2] Akhmad Fadly Syahputera, “Pandangan Ulama Kabupaten Bantul Terhadap Akad Nikah Via Telekonferensi,” Skripsi pada Jurusan Al-Ahwal Asy-syakhshiyyah Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008, hlm. 1-2.
[3] Sadiani, Nikah Via Tlepon: Menggagas Pembaharuan Hukum Perkawinan Di Indonesia, h. 24.
[4] Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, h. 4
Asa Wafda Tazkiya, Santri Semester 5