Analisis Childfree Perspektif Maslahah Syaikh Muhammad Romdhan al- Būthi

Kolom Santri49 Dilihat

Pada pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, memberikan devinisi mengenai perkawinan yaitu bahwa pernikahan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri, dengan tujuanya membentuk keluarga yang bahagia dan abadi berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Berdasarkan pengertian dalam UU tersebut, pernikahan merupakan hubungan lahir dan batin antara suami dan istri, serta hubungan spiritual yang bertujuan untuk menciptakan keluarga yang bahagia dan langgeng, dengan landasan Ketuhanan. Dalam pernikahan terkandung perjanjian suci untuk membangun sebuah keluarga antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.[1]

Pernikahan dalam Islam adalah ibadah yang suci dan cara sah untuk memenuhi kebutuhan biologis, sesuai dengan perintah agama yang diatur oleh syariat. Manusia diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan, dan pernikahan menjadi ibadah bagi pasangan tersebut. Agama dan negara mengatur rukun dan syaratnya. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), pernikahan adalah akad yang kuat untuk menaati perintah Allah, dengan tujuan menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.[2] Dan idealnya keluarga itu merupakan yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak.

Kemudian kebanyakan dari pasangan suami istri setelah menikah, pasti menginginkan kehadiran sosok anak, karena sosok anaklah yang menjadi harapan serta penerus bagi mereka. Beberapa negara memiliki keyakinan dan budaya yang menganggap bahwa memiliki anak dapat membawa kebahagiaan, memenuhi hidup, dan meningkatkan kesejahteraan. Hal ini juga berlaku di Indonesia, yang dikenal dengan ungkapan “Banyak Anak Banyak Rezeki” atau “Setiap Anak ada Rezekinya”. Menurut Terence Hull, budaya ini berkembang di Indonesia, terutama di kalangan masyarakat pedesaan di Pulau Jawa.[3]

عن أنس رضي الله عنه قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يأمرنا بالباءة، وينهي عن التبتُّل نهيًا شديدًا، ويقول: ((تزوجوا الوَلُود الوَدُود؛ فإني مكاثرٌ بكم الأمم يوم القيامة))؛ رواه أحمد، وصحَّحه ابن حبان، وله شاهد عند أبي داود والنسائي وابن حبان أيضًا من حديث معقل بن يسار

Dari hadist diatas bahwasannya mengandung arti: “Nikahilah, perempuan yang penyanyang dan subur, sesungguhnya saya (nabi) akan membanggakan kalian pada umat-umat terdahulu di hari kiamat”

Namun, salah satu fenomena baru-baru terjadi yang belakangan ini lagi hangat-hangatnya dan dengan perkembangan zaman, pola pikir sebagian kecil pasangan suami istri lebih memilih untuk tidak memiliki anak. Hal ini juga ramai diperbincangkan dalam media sosial yaitu dengan istilah fenomena Childfree.

Dari pengertiannya sendiri Childfree yaitu keputusan pasangan suami istri untuk tidak memiliki anak, baik kandung maupun angkat. Childfree juga diartikan sebagai individu yang tidak memiliki anak saat ini dan tidak berniat untuk memiliki anak di masa depan.[4]

Mungkin ada beberapa alasan seorang pasangan memutuskan untuk mengembil tindakan childfree ini, berbagai alasan yang melatarbelakangi beberapa pasangan suami istri memutuskan hal itu, salah satunya; alasan biologis, seperti adanya gangguan atau kelainan pada DNA, genetik, dan faktor lainnya yang membuat seseorang memilih untuk tidak memiliki anak, atau alasan psikologis, di mana seseorang merasa tidak memiliki kemampuan mental untuk menjadi orangtua, dan khawatir anak mereka akan menjadi korban dari amarah orangtua. Atau bisa alasan keuangan, di mana seseorang mungkin merasa kesulitan finansial, terutama bagi mereka yang tumbuh di lingkungan yang kurang mampu. Keempat, alasan terkait lingkungan hidup. Meskipun kondisi keuangan, fisik, dan psikologis mereka tidak bermasalah, mereka merasa dunia semakin rusak, dan salah satu faktor yang memperburuk lingkungan adalah manusia.[5]

Dari hukumnya sendiri memang dalam Islam secara eksplisit tidak mengatakan bahwa hukumnya haram, karena memang tidak ada ayat Al-Qur’an dan hadis yang mewajibkan/menyatakan suami dan istri untuk memiliki anak, hanya saja terdapat anjuran yang mana agar mempunyai anak sebagai generasi penerus keturunan. Hal itu tertuang dalam Al-Qur’an dalam Q5 Al-Furqan [25] 74 dan QS Al-Kahf [18]: 46.

Analisis mengenai fenomena childfree menunjukkan bahwa tujuan Allah SWT dalam menetapkan hukum berkaitan dengan upaya menjaga lima hal penting, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Maslahah sendiri, jika dilihat dari segi bahasa, berarti segala sesuatu yang mengandung manfaat, sementara secara istilah, maslahah merujuk pada manfaat yang menjadi tujuan syari’ah bagi hamba-Nya. Dalam perspektif maslahah menurut Imam al-Buthi, penerapan childfree harus memenuhi batasan-batasan tertentu, yaitu:

Pertama, maslahah berkaitan dengan tujuan syari’ (Maqashid al-Syari’ah), untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam hal childfree dalam pernikahan, jika dilihat dari perspektif maslahah, keputusan tersebut lebih banyak mendatangkan mudarat, karena bertentangan dengan tujuan menjaga keturunan (hifz al-nasl) dalam syari.

Kedua, hukum childfree dalam Al-Qur’an tidak secara jelas dibolehkan atau dilarang, namun bisa diperbolehkan dalam kondisi tertentu, seperti untuk kepentingan masyarakat. Jika pasangan mampu memiliki anak namun memilih childfree, tindakan tersebut bisa dianggap haram karena bertentangan dengan tujuan pernikahan, yaitu membentuk keluarga sakinah dan meneruskan keturunan.

Ketiga, agar tidak bertentangan dengan hadis, childfree bertentangan dengan anjuran untuk memperbanyak keturunan, seperti yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Meskipun tidak wajib memiliki anak, menolak keturunan secara sengaja bisa dianggap makruh, kecuali jika dilakukan untuk menghindari kemudaratan yang lebih besar.[6]

Kesimpulannya terkait fenomena Childfree jika di analisis berdasarkan konsep maslahahnya Said Romdhan Al-buthi, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tindakan childfree yang dilakukan pasangan suami istri dalam perkawinan menunjukkan adanya pertentangan dengan tiga poin maslahah yang dikemukakan Al-buthi yakni Maqasyid Syariah, Al-Qur’an, dan Hadis. Karena tindakan tersebut bisa memungkinkan mengandung mafsadat dari pada maslahat. Tetapi jika alasan pasangan suami istri untuk mengambil tindakan childfree tersebut karena untuk menghindari kemudaratan yang jauh lebih besar, maka hal tersebut diperolehkan. Jadi, tindakan childfree dapat dihukumi boleh pada suatu keadaan dan haram pada keadaan lain.

[1] Soemiyati, “Hukum Perkawinan Islam Dan UU.Perkawinan UU No 1 Tahun 1974, Liberti, Yogyakarta, 1974”, hlm. 55.

[2] Ahmad Atabik dan Khoridatul Mudhiiah, “ PERNIKAHAN DAN HIKMAHNYA PERSPEKTIF HUKUM, ISLAM” YUDISIA, Vol. 5, No. 2, Desember 2014

[3] Hairunnisa Gilang Nurul, Pengaruh Kehadiran Anak dan Jumlah Anak Terhadap Kebahagiaan Orang Tua, Martabat :Jurnal Perempuan dan Anak,Vol 5, No 2, hal 128-129

[4] Irawan, Muhamad Andrie. CHILDFREE DALAM PERKAWINAN PERSPEKTIF TEORI MASLAHAH MURSALAH ASY-SYATIBI. BS thesis. Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2022. Hal, 6

[5] Ibid, hal.7

[6] Muhammad Sa’īd Ramaḍān Al-Būṭī, Dhawābiṭ al-Maṣlaḥaḥ fî as-Syarī’ah alIslāmiyah (Maktabah daarul wafa),

Nurul Ikhwani, Santri Semester 6

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *