Rekonstruksi Hukum Khitan Perempuan dalam Islam: Pendekatan Dekonstruktif Jacques Derrida

Kolom Santri71 Dilihat

Dalam tinjauan fiqh, perdebatan mengenai hukum khitan perempuan terjadi dalam dimensi teks dan konteks. Para ulama ahli fiqh bahkan ada yang sampai mewajibkan khitan bagi perempuan. Sementara di sisi lain, banyak ahli medis dan ulama kontemporer yang mengharamkannya, dengan alasan bahwa praktik ini menyakiti, merugikan dan tidak memberikan manfaat bagi perempuan. Terlebih, beberapa ulama berpendapat bahwa khitan perempuan ini dapat membahayakan bagi perempuan. Dengan adanya perbedaan ini, hukum khitan perempuan ini perlu ditelaah lebih lanjut.

Dalam hal ini, penulis tertarik menggunakan teori dekonstruksi yang dikembangkan oleh Jacques Derrida. Derrida menawarkan konsep dekonstruksi sebagai upaya untuk membongkar asumsi-asumsi tersembunyi dalam teks dan praktik sosial yang dianggap stabil. Melalui teori tersebut, dapat ditelaah bagaimana sebenarnya khitan perempuan terbentuk dan direpresentasikan dalam wacana dan hukum.

Jacques Derrida (1930–2004) adalah seorang filsuf Prancis, yang dianggap sebagai tokoh penting post-strukturalis-posmodernis. Derrida lahir pada 15 Juli 1930 di Aljazair dan pada tahun 1949 ia pindah ke Prancis, di mana ia tinggal sampai akhir hayatnya. Derrida sendiri dibesarkan dalam pemikiran filsafat pada era 1950-an sampai 1970-an. Yang dimeriahkan oleh pergeseran pemikiran modernitas ke postmodernitas, dan dari strukturalisme-ke post strukturalisme.[1]

Dekonstruksi merupakan strategi pembongkaran teks yang digunakan untuk ‘merusak’ struktur teks, tetapi pengertian ‘merusak’ ini bukan untuk menghancurkan struktur teks. Melainkan merekonstruksi kembali teks melalui cara yang tidak konvensional, sehingga muncul makna lain yang tersembunyi atau disembunyikan oleh teks. Dekonstruksi dapat juga diartikan sebagai strategi penelusuran teks yang mencari bagian-bagian yang terlihat tidak berarti, tetapi sebenarnya sangat penting dalam melengkapi struktur konvensional. Namun, konsekuensi dari pembacaan dekonstruktif ini adalah diragukannya kebenaran mutlak yang dihasilkan oleh teks, sehingga selalu ada kebenaran lain yang tersembunyi dibalik teks.[2]

Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan tahapan-tahapan sebagai berikut:[3](1) mengidentifikasi hirarki oposisi biner yang ada di dalam teks. (2) membongkar oposisi biner yang telah ditemukan. (3) menghasilkan gagasan baru yang tidak lagi sama dengan oposisi yang telah ada.

Dekonstruksi Hukum Khitan Perempuan dalam Islam

Dekonstruksi Khitan Perempuan

+

Larangan khitan perempuan menurut ulama madzhab

Perintah khitan perempuan menurut ulama madzhab

Di dalam oposisi biner, yang berada di sisi kanan pada umumnya dipandang sebagai superior, sedangkan yang berada di sisi kiri dipandang sebagai inferior.

Mengenai hukum khitan perempuan, ulama madzhab berbeda pendapat, yaitu:

  • Hanafi dan Maliki (makrumah/kemuliaan dan disunahkan tidak berlebihan)
  • Syafi’i dan Hambali (wajib)
  • Sebagian Hambali (makrumah/kemuliaan)

Kelompok pertama dikemukakan oleh ulama Syafi’i dan Hambali. Dasar hukum yang dijadikan landasan adalah QS. An-Nahl Ayat 123

ثُمَّ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًا ۗوَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

Kemudian, Kami wahyukan kepadamu (Nabi Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim sebagai (sosok) yang hanif dan tidak termasuk orang-orang musyrik.”

Kalimat amr  اتَّبِعْ dalam ayat tersebut, ditafsirkan dengan makna ḥaqīqāt amr yaitu perintah yang wajib. Pengarahan makna tersebut dikarenakan tidak adanya dalil lain yang menunjukkan bahwa ayat tersebut dapat dimaknai sunnah seperti siwakan dan lainnya.[4] Adapun kalimat اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفا diartikan sebagai sesuatu yang tidak diwahyukan pada masa Nabi Muhammad saw., namun hal tersebut diwahyukan di masa Nabi Ibrahim As. maka ikutilah hal tersebut.[5] Diantara bentuk wahyu tersebut adalah pensyariatan tentang adanya khitan.[6] Dikuatkan dengan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari tentang khitannya nabi Ibrahim:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ بَعْدَ ثَمَانِينَ سَنَةً، وَاخْتَتَنَ بِالْقَدُومِ

Rasulullah Saw. bersabda Nabi Ibrahim berkhitan setelah ia berumur delapan puluh tahun dengan Qudūm.[7]

Selain itu, ada juga landasan hukum lain yang telah masyhur dijadikan hujah atas dalil khitan yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:

حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ وَحَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى. قَالَا: أخبرنا ابن وهب. أخبرني يونس عن ابن شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، عَنْ أَبِي هريرة، عن رسول الله ﷺ؛ أَنَّهُ قَالَ : «الْفِطْرَةُ خَمْسٌ: الِاخْتِتَانُ، وَالِاسْتِحْدَادُ، وقص الشارب، وتقليم الأظفار، ونتف الإبط»

Dari Abu Hurairah RA dari Rasulullah Saw. beliau bersabda “Fitrah itu ada lima, yaitu khitan, mencukur rambut di sekitar kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan mencukur bulu kumis.”[8]

Dari hadis di atas terjadi pro kontra tentang pemaknaan kalimat الْفِطْرَةُ, tetapi Imam Nawawi berpendapat bahwasanya kalimat tersebut lebih tepat dimaknai sunnah. Sunnah di sini bukan berarti lawan kata dari wajib, melainkan sunnah yang berarti kebiasaan. Adapun penyebutan khitan di sini bermakna wajib.[9] Dari sisi lain, ulama yang mewajibkan khitan ini beristidlal bahwa qulfah (bagian yang dikhitan dari laki-laki) mengandung najis, bilamana hal tersebut tidak dibersihkan akan berpengaruh kepada keabsahan shalat (sebab seseorang yang sholat membawa najis).[10]

Kelompok kedua, yakni kelompok yang mengatakan bahwa khitan baik bagi laki-laki atau perempuan dihukumi sunnah. Diantara ulama yang berpendapat sunnah yaitu ulama hanafiyah dan malikiyah. Mereka beristidlal berdasarkan hadis yang telah disebutkan sebelumnya (tentang fitrah) dan juga hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, yaitu:

أن صلى الله عليه وسلم قال: «الختان سنة للرجال، مكرمة للنساء

Bahwasanya Nabi Saw. bersabda, “Khitan itu sunnah bagi para laki-laki dan kemuliaan bagi para perempuan.”[11]

Mengenai keterangan hadis yang pertama tentang fitrah, telah disebutkan bahwa fitrah itu berarti sunnah (kebiasaan), oleh karena itu karena khitan termasuk bagian dari kebiasaan, maka hukumnya disunahkan, bukan wajib.[12]Sedangkan, menurut keterangan hadis yang kedua, mengindikasikan bahwa khitan merupakan sunnah (kebiasaan) bagi laki-laki dan kemuliaan bagi perempuan. Secara zhāhir, hal ini menunjukkan bahwa keduanya bukanlah sesuatu yang wajib.

Adapun sebagian mazhab ḥanābilah berpendapat dalam kitab Al-Mughni, bahwasanya khitan wajib bagi laki-laki dan merupakan kemuliaan bagi perempuan (bukan merupakan kewajiban baginya). Hal ini dinilai berdasarkan zhāhir hadis yang menunjukkan bahwa ṣīghat yang digunakan pada laki-laki lebih kuat (sunnah) daripada ṣīghat yang digunakan pada perempuan (makrumah/kemuliaan).[13]

Oposisi Biner

Dalil kelompok wajib yakni menggunakan QS. An-Nahl ayat 123 dengan mengarahkan kalimat amr dengan makna wajib untuk mengikuti segala tuntunan agama yang diajarkan nabi Ibrahim termasuk khitan. Dan diberikan hadits penjelas tentang khitan nabi Ibrahim dan hadis tentang perintah khitan dari Nabi saw. kepada orang yang masuk Islam.

 

+

Dalil kelompok wajib yakni menggunakan QS. An-Nahl ayat 123 terlalu umum untuk dijadikan dalil. Bahkan, dalam beberapa tafsir dikemukakan bahwa kalimat millah dalam ayat tersebut tertuju pada keyakinan tauhid yang diajarkan oleh nabi Ibrahim sebagaimana diungkapkan Syekh Qardhawi.[14]

Kemudian ṣīghat amr pada hadits penjelas ditujukan untuk mudzakkar mukhotob.[15]Hal ini dikuatkan dengan belum ada riwayat yang mengatakan bahwa nabi Saw. mengkhitan putri-putrinya. Hanya ada riwayat tentang beliau yang mengkhitan cucunya.[16]

Kelompok kedua, menggunakan dalil hadits mengenai fitrah (sama seperti kelompok pertama) dan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad mengenai khitan merupakan sunnah bagi laki-laki dan makrumah (kemuliaan) bagi perempuan. Karena dalam hadis tersebut dikemukakan bahwa khitan merupakan fitrah dan sunnah (kebiasaan), maka mereka berpendapat bahwa khitan ini disunnahkan. Sebab, secara zhāhir tidak ada indikasi yang menunjukkan kewajibannya. Celah dari pendapat kelompok kedua yakni, kedua hadis tersebut bukan merupakan hadis ahkām. Sehingga tidak ada indikasi perintah diantara kedua hadis tersebut.[17] Bahkan, akan timbul pertanyaan baru, apakah tiga diksi kalimat yang berbeda, yakni fitrah, sunnah, dan makrumah dapat berfungsi sebagai hukum?

Dalam oposisi biner, kelompok pertama dan kedua  memiliki argumen dan hujjah yang kuat sehingga menempati superior. Namun, ketika dikaji ulang posisi tersebut berbalik menjadi inferior, karena landasan hukum kelompok pertama dan kedua dinilai lemah. Adapun hadis-hadis yang secara ṣarīḥ membahas tentang khitan perempuan, tidak menyebutkan hukumnya secara spesifik, serta hadis yang digunakan termasuk kategori dla’īf. Imam Nawawi dalam kitab Al-Aẓkār berpendapat bahwa hadis yang mempunyai kualitas dla’īf tidak dapat diamalkan sebagai hukum. Hanya dapat diamalkan dalam rangka faḍāil, targhīb, dan tarhīb.[18] Oleh karena itu, landasan hukum kelompok pertama dan kedua tidak dapat berlaku sebagai suatu hukum.

Selanjutnya, perbedaan pendapat diatas dilihat dari kemungkinan adanya tradisi dan budaya yang mempengaruhi kebijakan ulama dalam pengambilan ijtihad. Jika dilihat lebih dalam predikat “makrumah/kemuliaan” dalam khitan perempuan disebut-sebut sebagai salah satu alasan hal ini menjadi kesunahan bagi perempuan, namun disisi lain predikat ini bisa dipahami sebagai wujud dukungan para ulama terhadap praktik khitan perempuan. Pandangan ini tidak terlepas dari konstruksi sosial yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinatif terhadap laki-laki, di mana perempuan dipersiapkan sebagai calon istri yang harus menjaga keperawanan sebelum memasuki pernikahan. Dalam konteks ini, terdapat keyakinan bahwa perempuan sebaiknya tidak memiliki organ yang mudah terangsang guna mencegah potensi rusaknya keperawanan.[19]

Dalam kehidupan rumah tangga, perempuan diharapkan untuk senantiasa siap dalam memenuhi kebutuhan seksual suaminya tanpa diberikan ruang untuk menuntut kepuasan seksualnya sendiri secara optimal. Selain itu, kesiapan psikologis perempuan dalam menerima praktik poligami juga dianggap sebagai suatu keharusan, termasuk dalam mengelola dorongan seksual agar tidak menjadi agresif.[20]

Sebagai bagian dari sistem budaya yang menopang konstruksi peran gender tersebut, berbagai aspek sosial dan budaya diarahkan untuk membentuk perempuan agar sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Salah satu bentuk intervensi budaya yang mendukung tujuan ini adalah praktik khitan perempuan, yang diyakini dapat menekan hasrat seksual perempuan dan mengarah pada sikap pasif dalam relasi seksual. Dengan demikian, perempuan yang menjalani khitan dianggap memperoleh makrumah atau kemuliaan dalam perspektif komunitas dan tradisi yang berlaku.[21]

Kendati demikian beraneka macam predikat atas perempuan mulai dari makrumah (kemuliaan), wajib, dan sunnah tersebut, lebih tepat disebut sebagai hasil dari tradisi dan budaya yang sewaktu-waktu dapat berubah dan memiliki tenggat, bukan dari perintah Allah dan Rasulullah.

[1] Norris, Christopher. Membongkat Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. (Jogyakarta: BUKU BIJAK, Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT), 2021). Hal. vi.

[2] Ibid, hal. xii-xiv

[3] Ibid, hal. xii

[4] Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf An-Nawawi, Al-Majmū’ Syarḥ Al-Muhaẓẓab, (Kairo: Mathba’ah At-Tadlammun Al-Akhwi, 1928), Vol. 1, 298-299.

[5] Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bijirmi, Ḥāsyiyah Bijīrimī ‘Ala Syarḥ Al-Manhaj, (tk: Mathba’ah Al-Halabi, 1950), Vol. 4, 243.

[6] Zakariya bin Muhammad Al-Anshari, Fatḥ Al-Wahhāb Bi Syarḥ Manhaj Aṭ-Ṭullāb, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1994), Vol. 2, 206.

[7] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Ṣaḥīḥ Al-Bukhāri, (Damaskus: Dar Ibn Katsir, 1993), Vol. 5, 2320.

[8] Abu Husain Muslim bin Hajaj, Ṣaḥīḥ Muslīm, (tk: Dar Ath-Thaba’ah Al-‘Amirah, 1945), Vol.1, 153.

[9] Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf An-Nawawi, Ṣaḥīḥ Muslīm Bi Syarḥ An-Nawawi, (Beirut: Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi, 1972), Vol. 3, 147-148.

[10] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-‘Asqalani, Fatḥ Al-Bārī Bi Syarḥ Ṣaḥīḥ Al-Bukhāri, (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1960), Vol. 10, 341.

[11] Ahmad bin Hanbal, Musnad Aḥmad, (tk: Muassasah Ar-Risalah, 2001), Vol. 34, 319.

[12] Ikmāl Al-Kalām Al-Mu’allim Fī Syarḥ Muslim, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah), Vol. 2, 35.

[13] Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni Li Ibn Qudāmah, (Kairo: Maktabah Al-Qahirah,1969), Vol. 1, 64.

[14] Yusuf Al-Qardhawi, Al-Ḥukm Asy-Syar’i Fī Khitān Al-Ināts, https://www.al-qaradawi.net/node/4306.

[15] Ali Jum’ah, Al-Fatāwā Al-Islamiyyah Min Dār Al-Iftā’Al-Miṣriyyah, Vol. 39, 78-83.

[16] Ali Jum’ah, Al-Fatāwā Al-Islamiyyah Min Dār Al-Iftā’Al-Miṣriyyah, Vol. 39, 83.

[17] Syauqi Ibrahim Allam, Ḥukm Khitān Al-Ināts Fī Asy-Syarī’ah Al-Islāmiyah, https://www.dar-alifta.org/ar/fatawa/16487/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D8%AE%D8%AA%D8%A7%D9%86-%D8%A7%D9%84%D8%A7%D9%86%D8%A7%D8%AB-%D9%81%D9%8A-%D8%A7%D9%84%D8%B4%D8%B1%D9%8A%D8%B9%D8%A9-%D8%A7%D9%84%D8%A7%D8%B3%D9%84%D8%A7%D9%85%D9%8A%D8%A9#

[18] Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf An-Nawawi, Al-Aẓkār An-Nawawiyyah, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1990), 47.

[19] Muhammad Husein, FIQH Perempuan Refleksi Kiai atas Tafsir Wacana Agama dan Gender (IRCiSoD, 2019), hal. 118-120.

[20] Ibid.

[21]Ibid.

Aini Ulfiyah Farida, Santri Semester 6

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *