Pada dasarnya khitan terhadap perempuan merupakan suatu perkara yang dianjurkan dan disyariatkan oleh Rasulullah Saw. Terkait hukum taklifi yang mendasarinya, Ulama berbeda pendapat, Ada yang menghukumi wajib, sunnah, dan mubah, Perbedaan tersebut berdasar pijakan dalil dan metode istidlal yang mereka bangun, namun semua Ulama sepakat bahwa khitan terhadap perempuan merupakan suatu perkara yang disyariatkan dalam agama.
Dalil hadist yang kami jadikan pijakan yaitu hadis yang diriwayatkan oleh imam al-Thabrani dari al-Dhahak bin Qais dan juga hadis yang diriwayatkan dari Abdullah ibn Umar.
عن الضحاك بن قيس قال: كانت في المدينة امرأة تخفض النساء يقال لها ام عطية فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم، اخفضي ولا تنهكي فانه انضر للوجه وأخظى عند الزوج.
عن عبد الله ابن عمر مرفوعا بلفظه يا نساء الانصار اختضبن غمسا واختفضن ولا تنهكن وايا كن وكفران النعم.
Hadis tersebut mempunyai satu sisi kesamaan, yaitu sama-sama menggunakan kata amr (perintah). Dalam teori ushul fikih setiap kata yang menunjukkan makna amr berarti menuntut adanya suatu tindakan dengan ketentuan harus (wajib) untuk dilakukan, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan untuk tidak harus melakukan ketentuan tersebut, artinya bisa saja mengarah kepada hukum sunnah atau mubah (boleh).
Hal tersebut berdasar kaidah asal dari amr yaitu
الاصل في الامر للوجوب الا ما دل الدليل على غيره
“hukum dasar dalam perintah yaitu menunjukkan keharusan (wajib) kecuali terdapat dalil yang menunjukkan kepada selainnya”.
Lebih spesifik lagi, ada keterangan menarik dari Syaikh Zakaria al-Anshori dalam karya monumental beliau dalam bidang usul fikih, yaitu kitab“Ghoyatul Wushul”. Disitu disebutkan bahwa menurut pendapat ashah,shighat افعل pada hakikatnya menunjukkan wajib secara lughat, pendapat ini disampaikan oleh Imam Syafi’i dan jumhur. Menurut beliau shigat amr secara hakikat menunjukkan wajib saja, dan secara majaz baru menunjukkan makna yang lain.
Berpijak dari pendapat ini, mana kala shighat amr tercetus dari pembawa syariat dalam keadaan terlepas dari beberapa qorinah yang mengarahkan, maka menurut pendapat ashah, wajib untuk meyakini makna pada amr sekaligus mengamalkan kandungannya. Dari sinilah sepertinya pijakan dalil yang digunakan mengapa dalam kasus ini (khitan perempuan) Imam Syafi’i mengarahkan hukumnya kepada wajib.
Mengenai makna amr sendiri Ulama masih berselisih pendapat, ada yang secara hakikat mengarahkan kepada wajib, seperti Imam syafi’i, namun ada juga yang secara hakikat mengarahkan pada yang lain, seperti sunnah dan mubah. Berangkat dari hal tersebut, jika kita kembangkan maka shighat amr pada kedua hadis khitan perempuan yang telah disebutkan diatas bisa menunjukkan kemungkinan pada hukum yang bersifat wajib, sunnah ataupun mubah.
Adapun perincian hukumnya, secara panjang lebar telah dijelaskan dalam kitab “Syarh Shohih Muslim Lin-Nawawi.” Didalam kitab tersebut Imam Nawawi menyebutkan bahwa Imam Syafi’i dan mayoritas ashabnya berpendapat atas kewajiban khitan. Sunnah menurut Imam Malik dan mayoritas Ulama, sedang pendapat al-shahih yang dipilih dalam madzhab Syafi’i dan disetujui oleh mayoritas Ulama Syafi’iyyah menyatakan jika khitan bagi perempuan itu boleh dilakukan semasa kecil dan tidak wajib. Lebih lanjut beliau (Imam Nawawi) melanjutkan jika ada juga pendapat Ashhab (Syafi’i) yang menyatakan bahwa khitan itu wajib atas wali, yakni mengkhitan putri kecilnya sebelum usia baligh.
Dari berbagai pendapat diatas bisa diambil suatu kesimpulan, bahwa bagaimanapun perbedaan pendapat Ulama tentang hukum pelaksanaannya, namun mereka semua sepakat bahwa khitan bagi perempuan merupakan suatu hal yang disyariatkan dalam agama, sebab terdapat anjuran dan hikmah yang terkandung di dalamnya.
Oleh: M. Ulil Albab