APAKAH SABUN DAPAT MENGGANTIKAN TANAH DALAM PROSES PENYUCIAN NAJIS MUGHALADHAH?

Kolom Santri263 Dilihat

Setiap yang dihukumi najis (mutanajis) maka masing-masing mempunyai tata cara penyuciannya sendiri. Najis ringan dengan diciprati air, najis sedang dengan dialiri air, dan najis berat dengan tujuh kali basuhan dengan salah satunya menggunakan tanah seperti apa yang telah dijelaskan di atas. Termasuk najis berat (mughaladhah) adalah najisnya anjing dan babi, walaupun kenajisannya babi di qiyaskan dengan anjing. Yaitu jilatan atau basah basahanya dari kedua hewan tersebut.

Sudah hal yang masyhur di kita bahwasannya ketentuan di dalam madzhab Syafi’i ketika sesuatu terkena najis mughaladhah, maka sesuatu itu harus disucikan dengan cara membasuhnya tujuh kali dengan salah satu di antaranya menggunakan tanah.

تَزُولُ النَّجَاسَةُ الْمُعَلَّظَةُ بِغَسْلِ مَا تَنَجَّسَ بِهَا سَبْعَ غَسَلَاتٍ إِحْدَاهُنَّ بِتُرَابٍ  مُجْزِيءٍ فِي التيمم[1]

 Hal itu berdasarkan hadist nabi

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ «إذَا شَرِبَ الْكَلْبُ فِي إنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا» وَلِمُسْلِمٍ «أُولَاهُنَّبِالتُّرَابِ» وَلَهُ فِي حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ: قَالَ: إذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي الْإِنَاءِ فَاغْسِلُوهُ سَبْعًا وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَةَ بِالتُّرَابِ[2]

            Dalam merumuskan atau menyimpulkan suatu hukum, seorang mujtahid harus mengambil dalil dari Al-Qur’an, Hadist. Perumusan atau penyimpulan akan penyucian jilatan anjing (dalam hal ini babi di qiyaskan dengannya) adalah Hadist yang telah disebutkan di atas. Dalam hadist tersebut terdapat perintah untuk membasuh wadah yang telah dijilat anjing dengan salah satu diantarannya menggunakan tanah. Kata tanah pada hadist di atas disebutkan secara gamblang, dengan berimplikasi pada kekhususan tanah sebagai media penyucian najisnya anjing dan tidak bisa digantikan oleh selain tanah. Akan tetapi seiring berkembangnya zaman, media untuk membersihkan sesuatu terus mengalami kemajuan. Katakan sabutn misalnya, yang secara jelas lebih bisa membersihkan ketimbang tanah.

Lalu apakah penyucian najis mughaladhah hanya bisa dilakukan dengan perantara tanah?  Atau bisa menggunakan selainnya, seperti sabun misalnya?

Dalam hal ini ulama berbeda pendapat ada yang mengatakan harus menggunakan tanah, dan ada yang berpendapat bisa menggunakan selain tanah. Alasan dari ulama yang mengatakan harus menggunakan tanah adalah kata tanah pada hadist tersebut bersifat ta’abudi seperti halnya debu pada tayamum tidak bisa digantikan oleh selain debu. Sedangkan ulama yang berpendapat tanah bisa di gantikan dengan selain tanah adalah dengan alasan maksud dari penyebutan tanah pada hadist tersebut tujuannya yaitu membersihkan. Dan membersihkan tidak harus menggunakan tanah, bisa dengan selainnya. Bahkan sabun lebih bisa membersihkan ketimbang tanah. Maka dari itu sabun atau yang lain yang notabenenya bisa membersihkan maka boleh digunakan sebagai alat penyucian najis. Hal demikian termaktub dalam salah satu kitab karangan Imam Rauyani yang berjudul Bahrul Madzhab:

وهذا كما قال المأمور في غسل الولوغ بالتراب، فإن غسله بغير التراب كالأشنان، أو النخالة، أو الصابون، هل يجوز؟ فيه قولان، أحدهما: يجوز ويقوم ذلك مقام التراب، وهو اختيار المزني؛ لأن المقصود منه التطهير عن النجاسة، والصابون هو أبلغ في التطهير من التراب، ولأنه إزالة نجاسة بجامد فلا يتعين ذلك الجامد كالاستنجاء والدباغ. والثاني: لا يجوز لأنه طهارة أمر فيها بالتراب (٢٠٢ أ/١) تعبدًا فلا يقوم غيره مقامه كالتيمم[3]

Kesimpulan, menyucikan najisnya anjing (mughaladhah) yaitu dengan membasuhnya tujuh kali dengan salah satu diantaranya menggunakan media tanah. Hal itu berdasarkan hadsit riwayat Bukhari dan Muslim yang tertuang dalam kitab Ihkamul Ahkam. Akan tetapi pada tanah sebagai media pensucian najis mughaladhah terdapat perbedaan pendapat. Sebagian ulama berpendapat harus menggunakan tanah karena penyebutan tanah pada hadist tersebut bersifat ta’abudi, sebagian lagi berpendapat boleh dengan selain tanah yang penting bisa membersihkan, karena maksud dari tanah pada hadist tersebut bertujuan untuk membersihkan. Waallahu ‘alam minni bishawab.

 

[1] Ahmad bin Umar as-Syathiri, al-Yaqut an-Nafis, (Lebanon, Dar Minhaj), hal 97.

[2] Ibnu Daqiq al-I’d, Ihkamul Ahkam, turath juz 1 hal 74.

[3] Ar-Rauyani, Bahrul Madzhab, turath, juz 1 hal 247.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *