Sering sekali kita mendengar istilah pepatah mengatakan “TIME IS MONEY”, pepatah ini sudah tidak asing lagi di telinga kita, khususnya di tengah masyarakat zaman sekarang.Kemudian tanpa kita disadari bersama, bahwa pepatah ini mengandung banyak misteri di dalamnya. Berbicara tentang waktu, mungkin yang pertama kali terbersit dalam benak fikiran kita adalah jam, kalender, WIB, WIT, pagi, siang, sore, malam dan lain sebagainya. Padahal semua itu hanyalah sebuah penanda. Lantas apakah waktu itu? di mana hal ini berarti kita harus bisa memanfaatkan waktu sebaik mungkin karena waktu sama halnya di ibaratkan sebagai pedang yang tajam.[1]
Waktu atau disebut juga dengan durasi, fase, masa adalah problem yang tidak pernah usai. Tak terhitung para ilmuan yang berlomba-lomba untuk menyingkapi misterinya. Namun, tetap saja waktu adalah sesuatu yang sangat sulit untuk diurai, sesuatu yang tidak ada ujungnya, sesuatu yang banyak dari kita belum bisa menggunakan nya dengan sebaik-baiknya.[2]
Terlepas dari defenisi itu, muncul lagi sebuah misteri, yaitu kapan Allah menciptakan waktu atau yang dikenal dengan durasi? Jika ingin menelusuri perihal yang bersifat metafisik, tentu akal manusia tidak mampu untuk menafsiri, karena hanya Allah yang mengetahui.
Namun, Plato dan Aristoteles memiliki gagasan tersendiri terkait definisi waktu. Menurut plato, waktu diciptakan bersamaan dengan dunia secara abadi. Konsep tentang hari ini. besok, dan kemarin ada karena perputaran matahari. Alam pun berputar, dan lahirlah yang Namanya. durasi, tetapi pendapat Plato ini dibantah oleh muridnya, Aristoteles mengatakan bahwa waktu mendahului alam semesta. Logikanya adalah ketika alam semesta diciptakan, maka berarti ada suatu “fase”, fase ketika ia tidak ada kemudian menjadi ada. Dengan adanya fase ini berarti waktu sudah ada sebelum semesta.[3]
Dengan adanya perbedaan pendapat yang berkisar antara kebenaran mengenai adanya waktu sebelum alam atau waktu tercipta. Menurut plato, waktu diciptakan bersamaan dengan dunia secara abadi.karena berputarnya alam merupakan perdebatan metafisik. Sehingga yang di menangkan adalah argumen yang lebih pandai dan menarik.
Allah tidak menjelaskan secara detail mengenai perihat waktu ini. Namun, di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menyingung terkait itu:.
- Pertama, ajal. Ajai adalah batas akhir. Sebagaimana yang di sebutkan didalam QS. Al-A’raf 7:34[4]
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ ۖ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
Artinya: ( Dan setiap ummat memiliki ajall batas waktu. Apabila ajal mereka tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaatpun ). Segala sesuatu, apapun itu, baik kesenangan, kesedihan, termasuk manusia pasti memilik batas akhir.
- Kedua, ad-dahr. Ad-dahr adalah durasi. Segala hal pasti memiliki durasi, Jadi tidak ada
sesuatupun didunia ini yang abadi, hal ini tercantum dalam 05. Ad-dahr ayat 1[5].
- Ketiga, waqt. Istilah ini biasanya membicarakan tentang peluang dan kesempatan.
Didalam QS. An-nisa 4:103 disebutkan : إن الصلاة كانت على المُؤْمِنِين كتابا موقوتا[6]
Artinya: ( Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya atas orang-orang mukmin ). Ayat diatas menggunakan istilah waktu dikarenakan ketika waktu itu sudah lewat maka hilang pula kesempatan untuk menunaikan kewajiban shalat, sebab waktu adalah pedang, ketika di sia-siakan. tak mungkin lagi bisa di kembalikan.
- Keempat, al-ashr. didalam kitab tafsir jalalain dijelaskan al-ashr adalah masa, zaman, atau
waktu menjelang terbenamnya matahari. Lebih mudahnya al-ashr adalah waktu yang ditentukan untuk menunaikan shalat ashr. Setidaknya ada beberapa hal yang dikaitkan oleh Allah dengan waktu didalam titah- Nya yang terdapat didalam surah Al- Ashr.[7]
Diantaranya: masa adalah sesuatu yang dijadikan sebagai pengingat bagi manusia agar tidak terjerumus dalam kerugian.
Masa adalah sesuatu yang dijadikan motivasi untuk bertaubat karena masa itu sangat terbatas. Masa adalah sesuatu yang menjadi media bagi pemiliknya untuk keluar dari kerugian dan kehancuran jika digunakan untuk beramal sholeh dan saling menasehati didalam kebenaran dan kesabaran.Akhiran, dimensi waktu merupakan hal besar yang tidak dapat dipahami secara menyeluruh, hanya saja kita sebagai manusia agar terhindar dari segala bentuk kerugian dan penyesalan, seyogyanya. menyadari kehadiran dan memanfaatkannya seefektif dan seefisien mungkin, karena waktu pada detik ini tidak akan pernah terulang lagi. Hari ini adalah hari ini, hati esok adalah hari esok.
Ada salah satu nasihat Rasulullah SAW dari hadits yang mungkin terdengar familiar di kalangan masyarakat muslim. Nasihat yang dimaksud adalah pengingat untuk memanfaatkan lima perkara sebelum datangnya lima keadaan yakni dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah saw bersabda;
اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَصِحتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
Artinya: “Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara, waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, waktu sehatmu sebelum waktu sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, dan hidupmu sebelum datang matimu.”[8]
Maka dari itu Artinya kita harus manfaatkan masa muda untuk belajar, beribadah, dan beramal shaleh. Jangan sia-siakan waktu muda dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Dan Ketika sehat, perbanyaklah ibadah dan amal. Jangan menunda-nunda amal baik hingga sakit melanda. Manfaatkan harta yang Allah berikan untuk bersedekah, membantu orang lain, dan untuk berinvestasi di akhirat. Kemudian Gunakan waktu luang untuk memperbanyak ibadah, membaca Al-Qur’an, dan menuntut ilmu. Serta Manfaatkan setiap detik kehidupan untuk berbuat kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah.
[1] https://sg.docworkspace.com/d/sIMrsttarAcPHuLQG
[2] ibid
[3] https://seputarsastra.wordpress.com/2019/03/15/waktu-menurut-para-filsuf-dan-ilmuwan-plato-aristoteles-augustinus-heidegger-ibnu-rusyd-newton-dll/
[4] QS. Al-A’raf 7:34
[5] QS. Ad-dahr 1
[6] QS. An-nisa 4:103
[7] تفسير الجلالين: تعرف العصر
[8] (HR. Al Hakim dalam al-Mustadroknya 4: 341)
Nurul ikhwani, Santri Semester 5