Islam Pro LGBT, Adakah?

Kolom Santri61 Dilihat

Islam, sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, telah melahirkan beragam interpretasi dalam memahami teks keagamaan dari para pengkajinya. Di Indonesia, pluralitas Islam telah melahirkan berbagai aliran dan kelompok dengan pemahaman yang beragam terhadap ajaran agama baik secara radikal moderat maupun liberal. Tak ayal jika banyak terjadi kontroversi terkait adanya berbagai macam khilaf atau perbedaan daripada interpretasi tersebut.

Jaringan Islam Liberal (JIL) adalah salah satu organisasi Liberal yang melakukan penafsiran atas nash dengan pendekatan hermeneutika sebagai dasarnya. Terbentuk pada 08 Maret 2001 oleh sekelompok anak muda yang awalnya menamakan diri sebagai ”Islam Liberal”. Sesuai dengan namanya, kelompok ini  merumuskan ide-ide tentang Islam Liberal dan mempopulerkannya melalui melalui publikasi dan diskusi. Beberapa diantaranya melalui penerbitan karya berupa buku yang salah satunya ditulis oleh Ulil Abshar Abdalla atau yang kerap disapa Gus Ulil dengan judul ”Menjadi Muslim Liberal” serta melalui surat kabar seperti Jawa Pos yang terbit di Surabaya, Tempo di Jakarta dan Radio Kantor Berita 68 H, Utan Kayu Jakarta.[1]

Dengan membawa visi membangun masyarakat yang inklusif dan toleran, mereka menekankan bahwa Islam mengajarkan pentingnya rahmat, kasih sayang, dan toleransi terhadap sesama manusia. Kelompok tersebut juga telah memberikan banyak kontribusi dalam diskursus publik, terutama dalam isu-isu humanis dan gender.[2]  Salah satu isu yang menjadi sorotan JIL adalah pandangannya terhadap komunitas Lesbian Gay Biseksual & Transgender (LGBT). Dengan kata lain, JIL berusaha untuk menghadirkan wajah Islam yang lebih moderat dan humanis. Mengkaji  perspektif JIL merupakan bagian dari perdebatan yang lebih luas tentang interpretasi agama dan nilai-nilai sosial yang dapat membantu memahami isu-isu sosial seperti LGBT tidak dengan cara hitam putih.

Lesbian Gay Biseksual & Transgender (LGBT) sendiri dalam kitab al mausu’ al fiqhiyyah  dikenal dengan empat istilah fikih, yakni liwath (gay), sihaq (lesbi), takhannuts (lelaki menyerupai wanita) dan tarajjul (wanita menyerupai lelaki). Dalam syariat islam tindakan yang meyerupai kaum nabi Luth sodom tergolong sebagai faahisyah atau perbuatan keji serta dilaknati.

إنَّما يُعْرَفُ هذا الحديثُ عن ابن عَبَّاسٍ، عن النبيِّ ﷺ من هذا الوَجْهِ. ورَوَى محمدُ بن إسحاق (١) هذا الحديثَ عن عَمْرِو بن أبي عَمْرٍو، فقال: مَلْعُونٌ من عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، ولم يَذْكُرْ فيهِ القَتْلَ، وَذَكَرَ فيهِ: مَلْعُونٌ من أتَى بَهِيمةً. [3]

Di Indonesia yang merupakan negara beragama dengan penduduk mayoritas muslim tentu konstitusinya tidak mengakomodasi atau tidak memberikan porsi hak keadministrasian yang sama bagi Komunitas LGBT karena umumnya ajaran agama selaras dengan nilai nilai universal yang ada.[4] Seperti dalam KHI dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara tegas mengatur bahwa pernikahan hanya sah antara seorang pria dan seorang wanita. Pasangan sesama jenis tidak dapat melangsungkan pernikahan secara resmi dan mendapatkan pengakuan negara.

Hal ini dianggap oleh JIL sebagai pembatasan kebebasan individu dan pembatasan hak pembebasan dari struktur sosial-politik yang seolah olah menindas. Maka dari itu mereka berusaha untuk mendekonstruksi paradigma agama yang sudah mapan sebelumnya di kalangan umat islam dengan tidak menganggap LGBT sebagai penyimpangan atau penyakit, melainkan sebagai bagian normal dari keragaman preferensi seksual manusia yang merupakan bawaan bukan pilihan dan bukan penyakit yang harus disembuhkan.[5] Mereka menentang pendapat dan kebijakan apa pun yang mendiskreditkan kelompok LGBT serta memberikan dukungan dan advokasi untuk gerakan LGBT di Indonesia dengan memberikan permohonan bagi orang-orang LGBT melalui tulisan, media sosial dan juga dalam forum diskusi umum yang diadakan oleh kelompok tersebut.[6]

Siti Musdah Mulia pemimpin tokoh PUG (Pengarusutamaan Gender) yang juga merupakan partisan getol JIL mengatakan bahwasanya Allah hanya melihat ketaqwaan, bukan orientasi seksual manusia dengan didasarkan pada beberapa dalil Al-Qur’an seperti QS. Arrum:21, Az Zariat:49 dan Yasin:36. Kemudian dari hal tersebut disimpulkan bahwasanya pasangan tidak harus heteroseksual, mereka bisa gay atau lesbian. Karena Allah telah menciptakan orang-orang dengan orientasi seksual yang berbeda.[7] Beliau juga ikut serta memberikan argumen dalam menyetujui hubungan sesama jenis yang dimuat di Majalah Tabligh MTDK PP Muhammadiyah, Mei 2008;

“Menurut hemat saya, yang dilarang dalam teks-teks suci tersebut lebih tertuju kepada prilaku seksualnya, bukan pada orientasi seksualnya. Mengapa? Sebab, menjadi heteroseksual, homoseksual (gay dan lesbi) dan biseksual adalah kodrati, sesuatu yang “given” atau dalam bahasa fikih disebut sunnatullah. Sementara prilaku seksual bersifat konstruksi manusia. Jika hubungan sejenis atau homo, baik gay atau lesbi sungguh-sungguh menjamin kepada pencapaian-pencapaian tujuan dasar tadi maka hubungan demikian dapat diterima”.[8]

Karena sejak berdirinya organisasi ini banyak mengeluarkan pemikiran ekstrim dan dinilai berbahaya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa pada Munas yang ke-7 pada tanggal 25-29 Juli 2005 bahwa pluralisme, sekularisme dan liberalisme merupakan paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam keputusan tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan liberalisme adalah memahami nash-nash agama (Al Qur’an dan As-Sunnah) menggunakan akal pikiran yang bebas, dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.[9]

Setelah adanya fatwa tersebut organisai JIL mati suri pada tahun 2007 namun pemikirian mereka masih banyak ditemukan dalam banyak kajian akademisi. Karena secara umum, kegiatan kegiatan JIL ditujukan untuk turut memberikan kontribusi dalam meredakan maraknya fundamentalisme keagamaan di Indonesia mereka ingin mengurangi pengaruh paham keagamaan yang terlalu kaku, ekstrem, dan tidak toleran. Sekaligus membuka diskusi dan pemahaman publik terhadap pemahaman keagamaan yang pluralis dan demokratis dengan berusaha  mendorong masyarakat untuk memahami agama dengan cara yang lebih luas.[10]

[1] Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Perkembangan Islam Liberal di Indonesia, https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/berita/perkembangan-islam-liberal-di-indonesia

[2] Dwi Sukmanila, Menepis Argumen Pendukung Lgbt Dari Persfektif Hadis Nabawi,  Jurnal As-Salam, Vol.3(1), 2019, hal. 25.

[3] ص284 – كتاب سنن الترمذي ط الرسالة – باب ما جاء في حد اللوطي – المكتبة الشاملة https://shamela.ws/book/1363/1567#p2

[4] Menag Tolak LGBT Sebagai Gaya Hidup, https://kemenag.go.id/nasional/menag-tolak-lgbt-sebagai-gaya-hidup-bh47h3

[5] Abdusshomad Alwazir dkk, LGBT dalam Perspektif Islam, Sosial Kewarganegaraan dan Kemanusiaan, Vol. 12, Jurnal Intelektualita: Keislaman, Sosial, dan Sains, 2023, hal 61.

[6] Usman Munadi, Lesbian Gay Biseksual and Transeksual (LGBT) Polemic in Indonesia: A Study of the Opinion of the Indonesian Ulama Council and the Liberal Islam Network (JIL), Vol.40(2), Jurnal ISLÓMIYYÓT, 2018, hal. 126.

[7] Rahmawati dkk, The Existence of LGBT and the Role of the MUI in Responding to the LGBT Movement in South Sulawesi , Jurnal Al-Maiyyah , vol.16 hal.95

[8] Dwi Sukmanila, Menepis Argumen Pendukung Lgbt Dari Persfektif Hadis Nabawi,  Jurnal As-Salam, Vol.3(1), 2019, hal. 25.

[9] Fatwa MUI NO. 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme Dan Sekularisme Agama.

[10] Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Perkembangan Islam Liberal di Indonesia, https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/berita/perkembangan-islam-liberal-di-indonesia

Alina Azkiya Mustafida, Santri Semester 5

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *