FILSAFAT KRITISISME TRANSENDENTAL DALAM MENANGGAPI PERKEMBANGAN TEKNOLOGI AI (KECERDASAN BUATAN)

Kolom Santri658 Dilihat

PENDAHULUAN

Perkembangan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah memasuki fase transformatif dalam kehidupan manusia modern. Tak hanya mengubah struktur industri dan relasi kerja, AI juga mulai meredefinisi makna kecerdasan itu sendiri. Di tengah optimisme terhadap efisiensi dan pertumbuhan yang ditawarkan AI, muncul pula kekhawatiran: apakah manusia akan tergantikan oleh sistem yang mereka ciptakan sendiri? Pernyataan seperti manusia tidak akan tergantikan AI, tetapi manusia yang menggunakan AI akan menggantikan yang tidak menggambarkan perubahan paradigma kerja dan nilai kompetensi di era digital. Namun, di balik kemajuan teknologi, filsafat perlu mengambil peran sebagai penjaga batas dan pemberi makna. Pendekatan Kritisisme Transendental yang dirumuskan oleh Immanuel Kant memberi kita lensa untuk memahami bukan hanya apa itu AI, tetapi bagaimana mungkin AI bisa dimengerti dalam batas-batas rasio manusia.

Kant dalam Critique of Pure Reason menegaskan bahwa akal manusia memiliki batas: pengetahuan hanya mungkin jika pengalaman (empiris) diproses melalui struktur-struktur apriori dalam kesadaran (seperti ruang, waktu, dan kategori-kategori pikiran). Ia menolak klaim rasionalisme murni maupun empirisme ekstrem, dan menyodorkan jalan tengah: kita tidak mengenal benda pada dirinya sendiri (das Ding an sich), tetapi hanya fenomena sebagaimana ia muncul dalam kesadaran kita. Dalam konteks AI, hal ini menyadarkan kita bahwa penilaian kita terhadap kecerdasan buatan tetap berada dalam kerangka pemahaman manusia. AI bukan subjek transendental; ia tidak memiliki kesadaran-diri, melainkan hanya meniru pola-pola representasi berdasarkan data empiris. Maka, menyamakan AI dengan kesadaran manusia adalah kekeliruan kategoris.

PEMBAHASAN 

Artificial Intelligence atau Al merupakan salah satu teknologi yang sedang populer saat ini. Berbagai bidang industri sudah memanfaatkan teknologi tersebut, mulai dari kesehatan, keuangan, dan lain-lain. Tidak hanya itu saja, Artificial Intelligence juga sudah banyak diterapkan di kehidupan sehari-hari. Artificial Intelligence banyak membantu dalam berkomunikasi, menemukan lokasi. Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan adalah sistem komputer yang mampu melakukan tugas-tugas yang biasanya membutuhkan kecerdasan manusia. Teknologi ini dapat membuat keputusan dengan cara menganalisis dan menggunakan data yang tersedia di dalam sistem. Proses yang terjadi dalam Artificial Intelligence mencakup learning, reasoning, dan self-correction. Proses ini mirip dengan manusia yang melakukan analisis sebelum memberikan keputusan. Menurut John Mc Carthy, 1956, Artificial Intelligence adalah untuk mengetahui dan memodelkan proses-proses berpikir manusia dan mendesain mesin agar dapat menirukan perilaku manusia. Cerdas, berarti memiliki pengetahuan ditambah pengalaman, penalaran (bagaimana membuat keputusan dan mengambil tindakan), moral yang baik.

Keinginan untuk mencapai situasi yang memberikan kemampuan kepada perusahaan agar tetap tumbuh dan berkembang serta mampu menghasilkan keuntungan yang wajar dimotivasi oleh kekwatiran yang sering menghantui pikiran para pebisnis sehubungan dengan perubahan dinamis pada lingkungan industry yang memasuki revolusi Industri 4.0. Pada era ini permintaan terhadap produk yang sesuai dengan keinginan konsumen dan dapat di peroleh dengan waktu yang relative singkat manjadi tema utama dalam pengembangan produk. Factor biaya per unit minimum dan mutu produk yang tinggi tidak lagi memiliki kekuatan untuk membangun daya saing. Daya saing ditentukan oleh kinerja dalam pengiriman, kemampuan memenuhi keinginan konsumen dan kualitas keterlibatan dalam penanganan isu-isu lingkungan.[1]

AI sudah dianggap sebagai kecerdasan buatan yang sangat membantu pekerjaan manusia. Namun, perlu ditelaah dengan pendekatan Filsafat Kritisisme transendental upaya agar bisa menimbang dalam kecenderungan kemampuan Manusia. Dalam hal ini perlu dilakukan yaitu apakah AI ini adalah Teknologi yang bermoral dan Apakah AI ini sadar bahwa dia benar benar AI.

Pemikiran filsafat Kant muncul disaat dua aliran besar filsafat saling berdebat, yakni rasionalisme dan empirisme. Dua aliran filsafat yang saling beroposisi tersebut sangat mempengaruhi pemikiran filosofis Kant, tetapi Kant juga melakukan sintetis-kritis atas pandangan-pandangan keduanya untuk merumuskan pemikiran filosofisnya sendiri. Kant mencoba melampaui posisi epistemologis dua paradigma filsafat tersebut, khususnya ajaran rasionalisme G.W. Leibniz, danempirisme David Hume. [2]

Paradigma dan ajaran filsafat Kant sering disebut sebagai filsafat transendental (transcendental philosophy). Filsafat ini didefinisikan sebagai filsafat yang memfokuskan pada cara akal kita memahami objek yang bersifat apriori, bukan pada objek itu sendiri. Oleh karena itu, transendental yang dimaksud Kant, bukan upaya untuk memahami hal-hal metafisik yang berada di luar dunia, tetapi untuk mengakses sejauh yang berada dalam batas-batas pengalaman sebagai pengetahuan.[3]

Pemikiran filsafat Immanuel Kant yang berupaya mensintesiskan rasionalisme dan empirisme melalui pendekatan transendental memberikan kerangka reflektif yang sangat relevan dalam memahami perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI). Kant menekankan bahwa pengetahuan bukan hanya hasil dari pengalaman (empiris), tetapi juga hasil dari struktur apriori akal manusia yang memungkinkan pengalaman itu dipahami dan dimaknai. Dalam konteks AI, pendekatan ini dapat dijadikan landasan untuk meninjau bagaimana sistem kecerdasan buatan memahami atau mengolah informasi.

AI saat ini terutama dalam bentuk machine learning dan deep learning sangat bergantung pada data (empiris), sebagaimana aliran empirisme. Namun, struktur algoritmik dan arsitektur pemrosesan informasi dalam AI dapat dianalogikan dengan struktur apriori dalam pikiran manusia yang Kant maksud. Dengan kata lain, seperti halnya manusia membutuhkan kategori-kategori apriori untuk memahami dunia, AI membutuhkan arsitektur dan algoritma tertentu agar data bisa diolah menjadi informasi bermakna. Namun, berbeda dengan manusia yang menurut Kant memiliki “kondisi kemungkinan pengetahuan” yang melekat dan bersifat transendental, AI belum memiliki kapasitas untuk refleksi diri terhadap batas-batas pengetahuannya sendiri suatu aspek penting dalam kritik transendental Kant. AI dapat memproses data secara kompleks, tetapi ia belum mampu menanyakan bagaimana ia mengetahui dan apa batas dari pengetahuannya, sesuatu yang sangat Kantian. Oleh karena itu, filsafat transendental Kant mengajak kita untuk tidak hanya mempertanyakan apa yang diketahui AI, tetapi juga bagaimana AI mengetahui dan apa yang menjadi batas dari pengetahuan tersebut. Ini penting dalam pengembangan dan etika AI, agar kita tidak hanya terjebak dalam euforia teknologis, melainkan juga menyadari keterbatasan dan potensi bahaya dari teknologi yang tidak disertai dengan kesadaran kritis.

Filsafat Kant dikenal dengan filsafat kritis (kritisisme) yang diposisikan sebagai lawan dogmatis (dogmatisme). Filsafat kritis ini dimaknai sebagai filsafat yang memulai penyelidikannya dengan terlebih dahulu mengidentifikasi kemampuan dan batas-batas rasio. Pemikiran ini tentu sangat berbeda dengan para filosof terdahulu yang cenderung dogmatis; modepada kemampuan rasio tanpa proses penyelidikan terlebih dahulu.[4]

Kant menyatakan bahwa sebelum kita menggunakan rasio untuk memahami dunia, kita harus terlebih dahulu memahami apa yang bisa dan apa yang tidak bisa diketahui oleh rasio. Dalam konteks AI, ini mirip dengan kebutuhan untuk mengkritisi kapasitas dan batas algoritma sebelum mengandalkannya sebagai alat pengetahuan atau pengambilan keputusan. Misalnya, AI dapat mengenali pola dari data, tetapi tidak memiliki kesadaran atau intensionalitas, sehingga tidak dapat disamakan dengan bentuk rasio manusia. Dalam konteks AI, meskipun mesin dapat mengolah data dalam jumlah besar dan mempelajari pola melalui algoritma, ia tidak memiliki struktur transendental seperti manusia. AI tidak memiliki intuisi ruang-waktu, tidak ada “kesadaran diri”, dan tidak mengalami dunia secara fenomenal. Maka, dari sudut pandang Kantian, AI tidak memiliki subjek transendental yakni pusat kesadaran yang memungkinkan penyusunan pengalaman menjadi pengetahuan. Lebih jauh, dalam Kritik Akal Praktis, Kant menyatakan bahwa moralitas hanya mungkin bagi makhluk yang rasional dan otonom, yakni makhluk yang mampu bertindak berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ditetapkan oleh dirinya sendiri (imperatif kategoris). AI, yang bertindak berdasarkan perintah atau program yang ditanamkan, tidak memenuhi syarat otonomi tersebut. Oleh karena itu, pemberian status etis atau moral terhadap AI seperti memperlakukannya sebagai agen moral akan bertentangan dengan prinsip Kantian. Lebih jauh, dalam Kritik Akal Praktis, Kant menyatakan bahwa moralitas hanya mungkin bagi makhluk yang rasional dan otonom, yakni makhluk yang mampu bertindak berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ditetapkan oleh dirinya sendiri (imperatif kategoris). AI, yang bertindak berdasarkan perintah atau program yang ditanamkan, tidak memenuhi syarat otonomi tersebut. Oleh karena itu, pemberian status etis atau moral terhadap AI seperti memperlakukannya sebagai agen moral akan bertentangan dengan prinsip Kantian.

KESIMPULAN

Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah menjadi teknologi yang sangat signifikan dalam berbagai aspek kehidupan modern, baik dalam sektor industri maupun kehidupan sehari-hari. Namun, keberadaannya menimbulkan pertanyaan filosofis mendalam, terutama dalam kerangka kritisisme transendental Immanuel Kant. Filsafat Kant mengajarkan bahwa pengetahuan tidak hanya berasal dari pengalaman (empiris), tetapi juga dari struktur apriori akal manusia yang memungkinkan pemahaman itu terjadi. Dalam konteks AI, meskipun sistem ini mampu mengolah data dan mengenali pola secara kompleks, ia tetap bergantung pada algoritma buatan dan tidak memiliki kesadaran diri, intuisi ruang-waktu, atau struktur transendental seperti manusia.

Dari sudut pandang Kantian, AI tidak memiliki subjek transendental yang memungkinkan pengalaman disusun menjadi pengetahuan sejati, dan karena itu tidak bisa dianggap sebagai entitas yang rasional atau otonom. Maka, AI tidak dapat diperlakukan sebagai agen moral yang memiliki tanggung jawab etis. Dengan demikian, pendekatan filsafat kritis Kant mengingatkan kita bahwa dalam mengembangkan dan memanfaatkan AI, manusia tetap perlu menjaga kesadaran akan batas-batas teknologi ini. Teknologi tidak boleh dipuja secara dogmatis, tetapi harus ditimbang secara reflektif agar kemajuan yang dicapai tetap berpihak pada kemanusiaan dan etika.

[1] Sukaria, 2008). Sukaria Sinulingga, 2008, Pengantar TeknikIndustri. Penerbit Graha Ilmu.Yogyakarta55511Indonesia

[2] Wittimena, R. A. (2010). Filsafat Kritis Immanuel Kant: Mempertimbangkan Kritik Karl AmriksTerhadap Kritik Immanuel Kant atas Metafisika. Jakarta: Evolitera.8

[3] Hardiman, F. B. (2011). Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern: DariMachiavellisampai Nietzche. Jakarta: Erlangga.308

[4] Dister, N. S. (1992). Descartes, Hume, dan Kant: Tiga Tonggak Filsafat Modern. In F.64

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *