Di masa lalu, perempuan sering kali dibatasi oleh norma sosial yang menempatkan mereka hanya dalam ranah domestik. Peran sebagai ibu rumah tangga, pengasuh, dan pengurus rumah tangga dianggap sebagai kodrat yang tak terelakkan. Namun, seiring perkembangan zaman, paradigma ini mulai bergeser. Di era kontemporer, perempuan memiliki ruang gerak yang lebih luas, tidak hanya dalam ranah domestik tetapi juga di ranah publik. Mereka berperan sebagai pemimpin, tenaga profesional, akademisi, dan bahkan menjadi tulang punggung keluarga.
Namun, dalam realitas sosial yang dinamis ini, muncul problematika saat perempuan dihadapkan pada situasi yang menuntut keseimbangan antara ketentuan agama dan tuntutan kehidupan modern. Salah satu contohnya adalah kewajiban iddah[1] yang telah diatur dalam Al-Qur’an:
وَٱلْمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِىٓ أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِى ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوٓا۟ إِصْلَٰحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ ٱلَّذِى عَلَيْهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ[2]
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
Menurut terminologi, Iddah merupakan masa tunggu bagi perempuan yang bertujuan untuk menentukan kesucian rahimnya (dari hamil), beribadah, atau berkabung atas kepergian suaminya. Artinya, iddah disebabkan oleh putusnya pernikahan baik cerai hidup maupun cerai mati.
مُدَّةٌ تَتَرَبَّصُ فِيهَا الْمَرْأَةُ لِمَعْرِفَةِ بَرَاءَةِ رَحِمِهَا أَوْ لِلتَّعَبُّدِ أَوْ لِتَفَجُّعِهَا عَلَى زَوْجٍ [3]
Di sisi lain, banyak perempuan masa kini juga memikul tanggung jawab mencari nafkah, baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya. Ketika seorang perempuan yang sedang dalam masa iddah adalah seorang pekerja, pengusaha, atau kepala rumah tangga, muncul dilema—bagaimana ia bisa tetap memenuhi kebutuhan ekonominya sementara ia terikat oleh ketentuan syariat?
Dilema ini menuntut adanya solusi yang tidak hanya berpijak pada teks syariat secara eksplisit, tetapi juga mempertimbangkan konteks sosial, ekonomi, dan kemaslahatan yang lebih luas. Dalam hal ini, pendekatan ijtihad menjadi krusial untuk memberikan jawaban yang relevan dan aplikatif. Ijtihad adalah nafas hukum Islam. Tentunya jalan ijtihad diperlukan untuk menjawab problematika baru dalam kehidupan yang terkadang tidak ditemukan penyelesaiannya di dalam nash. Untuk dapat menyelesaikan problem ini, penulis menggunakan konsep Maqashid Asy-Syariah Asy-Syatibi.
Imam Asy-Syathibi dikenal dengan julukan Syaikhul Maqashid karena keahliannya dalam mengintegrasikan teori-teori ushul fiqh dengan maqashid, sehingga hukum yang dihasilkan menjadi lebih relevan dan kontekstual. Menurutnya, seorang mujtahid harus memiliki kapasitas serta kemampuan untuk memahami tujuan syariat dan mampu menetapkan hukum berdasarkan pemahaman tersebut.[4]
Di tengah menghadapi tantangan ini, Pola ijtihad Imam Asy-Syathibi yang disusun oleh Ar-Raisuni dalam karyanya Naẓariyah Al-Maqāṣid `inda Imam Asy-Syātibī memiliki empat pendekatan yaitu An-Nuṣūsh wa Al-Ahkām bi Maqāaṣidihā, Al-Jam’u bayna Al-Kulliyāt Al-`āmmah wa Al-Adillah Al-khāṣah, Jalb al-Maṣālih wa Dar’ al-Mafāsid, I`tibār al-Ma’ālāt.[5]
Pertama, An-Nuṣūsh wa Al-Ahkām bi Maqāaṣidihā (Memahami Maqashid dalam Setiap Teks dan Nas Syariat) yakni dalam berijtihad, seorang mujtahid tidak boleh hanya melihat ẓāhir nas akan tetapi ia juga harus mempertimbangkan makna atau maqashid di balik suatu nas. Melalui pendekatan ini nas syariat dalam hukum iddah yakni kewajiban iddah akan tetapi tujuan dari iddah ialah menentukan kesucian rahimnya dari hamil, beribadah, atau berkabung atas kepergian suaminya.
Kedua, Al-Jam’u bayna Al-Kulliyāt Al-`āmmah wa Al-Adillah Al-khāṣah (Memadukan Antara Kaidah-kaidah Universal dengan Dalil-dalil Parsial)
Kaidah universal adalah kaidah-kaidah yang menjadi prinsip dalam syariat Islam. Kaidah universal ada yang nashshiyah, artinya diambil dari teks-teks eksplisit nas syariat. Ada juga yang istiqraiyah, artinya prinsip yang diperoleh dengan cara menganalisis substansi nas-nas syariat dan dalil-dalil parsial. Sedangkan dalil-dalil parsial adalah dalil-dalil berupa ayat yang menjelaskan kasus-kasus spesifik.
Penerapan pendekatan ini yang menjadi dalil parsial adalah ayat-ayat hukum yang berisi tentang perintah iddah. Sedangkan kaidah universalnya ialah ḍarūriyyātul khams meliputi ḥifżu ddīn, ḥifżu nafs, ḥifżu `aql, ḥifżu nasl dan ḥifżu māl. Syariat menuntut kita untuk menjaga kelima hal tersebut dalam konteks ini ḥifżu nafs berperan penting, bagaimana tidak? saat perempuan dihadang permasalahan ekonomi di mana ia harus bertahan hidup. Selain itu, ḥifżu nasl juga tak kalah penting saat ia menjadi tulang punggung keluarganya. Hal ini jika dipadukan antara kaidah universal dan dalil parsial tentu prioritas dalam pendekatan ini ialah dalil parsial.
Ketiga, Jalb al-Maṣālih wa Dar’ al-Mafāsid (Mendatangkan Kemaslahatan dan Menolak Madarat) Pendekatan ini menekankan bahwa syariat bertujuan menciptakan kemaslahatan. Kemaslahatan harus diciptakan dengan beragam cara meskipun tidak ditemukan nas yang menjelaskan akan hal tersebut. Berhujjah dengan dalil kemaslahatan tanpa adanya nas yang mempertimbangkan ataupun mengabaikan disebut dengan maslahah mursalah.
Selain aspek individu, aspek sosial juga turut berkecimpung saat wanita karir yang berperan penting dalam lingkungan kerjanya meninggalkan pekerjaan yang akan berdampak negatif terhadap workplace seperti ketimpangan dalam tim dan beban kerja, penurunan produktivitas bahkan workplace dapat terancam gulung tikar. Hal ini justru mendatangkan madharat terhadap rekan kerja maupun workplace, sehingga wanita karir dalam kondisi iddah boleh untuk tetap bekerja agar dapat mendatangkan kemaslahatan.
keempat, I`tibār al-Ma’ālāt (Mempertimbangkan Dampak Hukum) Penetapan hukum Islam, baik yang dilakukan oleh mujtahid atau mufti harus mempertimbangkan dampaknya. Hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan kondisi mustafti (orang yang meminta fatwa) agar dapat memperkirakan dampak hukumnya. Ijtihad ini harus dilakukan oleh orang yang bukan hanya memahami nas syariat tetapi juga memahami kondisi sosial kemasyarakatan. Mujtahid hendaknya mengetahui kemampuan fisik dan akal setiap orang.
Kondisi mustafti atau perempuan yang mempunyai kewajiban iddah merupakan hal yang subjektif sehingga dampak yang timbul setiap mustafti juga berbeda-beda. Dalam menyikapi problem ini dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang perempuan yang dalam masa iddah jika tidak ada tuntutan kehidupan yang sifatnya ḍarūrī maka wajib melaksanakan iddah, begitupun sebaliknya saat ia memiliki tuntutan yang mendesak maka diperbolehkan untuk tidak melaksanakan iddah.
Dalam konteks saat ini, beberapa aspek iddah menghadapi tantangan, seperti perubahan peran perempuan dalam masyarakat, isu medis yang berkaitan dengan kehamilan. Namun, jika dilihat dari sudut pandang Maqasid Syariah, iddah tetap memiliki tujuan yang sejalan dengan kemaslahata, dan perlindungan bagi individu serta keluarga. Oleh karena itu, pemahaman dan penerapan iddah dalam masyarakat modern harus tetap mempertimbangkan esensi maqasid-nya agar dapat diterapkan secara adil dan relevan dalam kehidupan umat Islam saat ini.
[1] Sayyid Bakri Muhammad Syatho ad-Dimyathi, I’anah Ath Tholibin, (Jakarta: Darul Kutub Al-Islamiyah, 2009), 69.
[2] Al Qur’an, 2: 228.
[3] Zakaria bin Muhammad bin Ahmad bin Zakaria al-Anshari as-Sunaiki, Fathul Wahhab, (Lebanon: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2021), 178.
[4] Dr. Sutisna, et. al, Panorama Maqashid Syariah, (Bandung: Media Sains Indonesia, 2021), 48.
[5] Ar-Raisuni, Naẓariyah Al-Maqāṣid `inda Imam Asy-Syātibī, (Herndon: Al-Ma’had Al-‘Aly Lil fikri Al-Islami, 1995), 362-384.
Nisroh Saniyah, Santri Semester 6.