Pernikahan Beda Agama Perspektif Maqashid Syari’ah dan UUD 1945

Kolom Santri92 Dilihat

Pengertian nikah

Pernikahan bermakna berkumpul sedangkan menurut Syariat akad yang menyimpan makna bersetubuh. Pernikahan adalah ikatan lahir dan batin antara laki-laki dan perempuan yang membawa hak dan kewajiban bagi pasangan. Pernikahan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kata “pernikahan” berasal dari bahasa Arab, yaitu “Zawwaja” yang berarti berpasangan dan “Nakaha” yang berarti menghimpun. Dalam Islam, pernikahan adalah suatu akad yang menghalalkan hubungan suami istri dengan lafadz nikāh atau tazwīj. Pernikahan bukan sekedar penyatuan dua individu, namun juga membangun tanggung jawab bersama dalam menjalani kehidupan rumah tangga.[1] Oleh karena itu, pasangan yang menikah harus memahami hak dan kewajiban masing-masing agar dapat menjalani kehidupan pernikahan dengan harmonis.[2]

Pernikahan merupakan institusi fundamental dalam kehidupan manusia, terutama dalam ajaran Islam yang menekankan pentingnya sakinah (ketenangan), mawaddah (cinta), dan rahmah (kasih sayang). Namun, di tengah masyarakat Indonesia yang plural, fenomena pernikahan beda agama kerap menjadi isu kontroversial. Hal ini menimbulkan berbagai polemik, baik dari segi hukum Islam, regulasi negara, maupun dampaknya terhadap keluarga. Salah satu pandangan yang berpengaruh dalam Islam adalah mazhab Imam Syafi’i, yang memiliki ketentuan ketat terkait pernikahan beda agama.[3]

Konsep Maqoshid Syari’ah

Syariat Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh alam dengan tujuan utama merealisasikan kemaslahatan dan mencegah kerusakan. Dalam ushul fiqh, tujuan ini disebut maslahah , yang dikenal juga sebagai Maqashid Syariah.

Maqashid Syariah mencakup lima aspek utama: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Aspek kelima ini menjadi dasar dalam menegakkan hukum Islam agar manusia dapat hidup sejahtera di dunia dan akhirat. Contohnya, perintah shalat untuk menjaga agama, larangan pembunuhan untuk menjaga jiwa, dan pengharaman zina untuk menjaga keturunan.

Menurut Imam Syatibi, hukum Islam harus fleksibel dan tidak memberatkan, sehingga dalam menetapkan hukum, pertimbangan utama adalah tingkat kepentingan: daruriyyah (primer), hajiyyah (sekunder), dan tahsiniyyah (tersier). Dengan diterapkannya Maqashid Syariah , diharapkan tercipta masyarakat yang adil, harmonis, dan sejahtera.

Pernikahan Beda Agama dalam Tinjauan Maqashid Syari’ah

Konsep Maqashid Syariah dapat digunakan untuk menganalisis dan menyelesaikan berbagai persoalan, termasuk wacana pernikahan beda agama. Maqashid Syariah menekankan bahwa tujuan utama hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah kemudaratan, yang dilakukan melalui pemeliharaan lima aspek utama: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Pertama, dari segi pemeliharaan agama, pernikahan beda agama bertentangan dengan tujuan utama hukum Islam. Pernikahan seharusnya memperkuat keyakinan dan ibadah pasangan, namun dalam pernikahan beda agama, ada potensi besar salah satu pasangan tidak dapat menjalankan agamanya dengan optimal. Hal ini juga berisiko memicu keimanan dan bahkan bisa menyebabkan seseorang keluar dari agamanya ( murtad ). Dalam Islam, pernikahan bukan sekedar hubungan sosial, tetapi juga bentuk ibadah yang harus sesuai dengan syariat.

Kedua, dari aspek pemeliharaan jiwa, perbedaan keyakinan dalam rumah tangga dapat menimbulkan konflik batin, perbedaan prinsip, dan ketegangan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Ketidaksepahaman dalam hal ibadah, pendidikan anak, dan aturan keluarga dapat berdampak negatif pada keharmonisan rumah tangga. Terlebih lagi, dalam beberapa kasus, hal ini bisa menyebabkan salah satu pasangan kehilangan ketenangan jiwa dan merasa terasing dalam pernikahannya.

Ketiga, dari sisi pemeliharaan akal, Islam sangat menekankan penggunaan akal secara sehat dalam mengambil keputusan, termasuk dalam memilih pasangan hidup. Ketika seseorang terlalu dikuasai oleh perasaan cinta tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang, ada risiko besar bahwa keputusan tersebut diambil tanpa berpikir matang. Selain itu, perbedaan agama dalam pernikahan bisa membuat seseorang lebih mudah terpengaruh oleh ajaran yang berbeda, yang dapat menumbuhkan keyakinan dan pemahamannya terhadap Islam.

Keempat, pernikahan beda agama juga bertentangan dengan konsep pemeliharaan keturunan. Dalam Islam, keturunan yang baik diharapkan tumbuh dalam lingkungan yang mendukung ajaran agama dengan jelas. Namun, dalam pernikahan beda agama, ada risiko kebingungan dalam mendidik anak, terutama dalam memilih ajaran agama yang akan diikuti. Selain itu, anak-anak dari pernikahan semacam ini berpotensi mengalami konflik identitas dan kesulitan dalam memahami serta mengamalkan keyakinan agamanya.

Kelima, dalam hal pemeliharaan harta, Islam mengatur sistem waris yang menjamin keseimbangan ekonomi dalam keluarga. Namun, dalam pernikahan beda agama, pasangan tidak bisa saling mewarisi, sehingga hak-hak ekonomi menjadi terbatas. Hal ini juga berpotensi menimbulkan masalah bagi keturunan mereka, yang mungkin mengalami kesulitan dalam mendapatkan hak waris dari orang tua yang berbeda agama.

Dalam konteks hukum di Indonesia, UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 secara tegas menyatakan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan sesuai dengan agama masing-masing. Selain itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwa Nomor 4/Munas VII/MUI/8/2005 telah menetapkan bahwa pernikahan beda agama haram dan tidak sah. MUI juga Merujuk pada kaidah fiqih yang berbunyi:

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

 “Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil manfaat.”

Dari berbagai pertimbangan di atas, jelas bahwa pernikahan beda agama membawa lebih banyak mudarat daripada manfaat. Oleh karena itu, dalam Islam, pernikahan harus dilandasi oleh kesamaan keyakinan agar dapat mencapai tujuan pernikahan yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, serta selaras dengan prinsip Maqashid Syariah .[4]

Dasar Hukum dalam Al-Qur’an dan UUD 1945

Dalam Al-Qur’an, terdapat beberapa ayat yang menjadi dasar larangan pernikahan beda agama. Misalnya, Surat Al-Baqarah ayat 221:

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْاۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَࣖ

Artinya: Janganlah kamu menikahi perempuan musyrik hingga mereka beriman! Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Jangan pula kamu menikahkan laki-laki musyrik (dengan perempuan yang beriman) hingga mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.[5]

Ayat di atas melarang pernikahan dengan orang musyrik sebelum mereka beriman. Selain itu, Surat Al-Mumtahanah ayat 10 melarang wanita Muslim menikah dengan pria non-Muslim, termasuk Ahli Kitab.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا جَاۤءَكُمُ الْمُؤْمِنٰتُ مُهٰجِرٰتٍ فَامْتَحِنُوْهُنَّۗ اَللّٰهُ اَعْلَمُ بِاِيْمَانِهِنَّ فَاِنْ عَلِمْتُمُوْهُنَّ مُؤْمِنٰتٍ فَلَا تَرْجِعُوْهُنَّ اِلَى الْكُفَّارِۗ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّۗ وَاٰتُوْهُمْ مَّآ اَنْفَقُوْاۗ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اَنْ تَنْكِحُوْهُنَّ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۗ وَلَا تُمْسِكُوْا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقُوْاۗ ذٰلِكُمْ حُكْمُ اللّٰهِۗ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih tahu tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui (keadaan) mereka bahwa mereka (benar-benar sebagai) perempuan-perempuan mukmin, janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka. Berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan. Tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu membayar mahar kepada mereka. Janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir. Hendaklah kamu meminta kembali (dari orang-orang kafir) mahar yang telah kamu berikan (kepada istri yang kembali kafir). Hendaklah mereka (orang-orang kafir) meminta kembali mahar yang telah mereka bayar (kepada mantan istrinya yang telah beriman). Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.

Sementara itu, Surat Al-Maidah ayat 5 membolehkan laki-laki Muslim menikahi wanita Ahli Kitab tetapi tetap melarang wanita Muslim menikah dengan pria Ahli Kitab.

اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۗ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حِلٌّ لَّكُمْۖ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْۖ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الْمُؤْمِنٰتِ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسٰفِحِيْنَ وَلَا مُتَّخِذِيْٓ اَخْدَانٍۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِالْاِيْمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهٗۖ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَࣖ

Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu segala (makanan) yang baik. Makanan (sembelihan) Ahlulkitab itu halal bagimu dan makananmu halal (juga) bagi mereka. (Dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina, dan tidak untuk menjadikan (mereka) pasangan gelap (gundik). Siapa yang kufur setelah beriman, maka sungguh sia-sia amalnya dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi

Di dalam UUD 1945, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan bahwa pernikahan dianggap sah jika dilakukan menurut hukum agama masing-masing pasangan. Pasal 2 Ayat (1) menegaskan bahwa pernikahan harus sesuai dengan aturan agama dan kepercayaan masing-masing. Dan dalam Pasal 8 huruf (f) UU Perkawinan yaitu: Melarang perkawinan jika ada hubungan antara kedua belah pihak yang dilarang oleh agamanya atau peraturan lain[6]. Namun, tidak ada aturan eksplisit dalam undang-undang ini yang mengatur pernikahan beda agama, sehingga sering kali pasangan beda agama mencari alternatif legalisasi melalui pencatatan sipil atau putusan pengadilan.[7]

[1] https://kumparan.com/pengertian-dan-istilah/pengertian-pernikahan-secara-umum-dan-agama-islam-beserta-syarat-dan-rukunnya-20ZEiAuvu4f

[2] https://nu.or.id/nikah-keluarga/definisi-dan-macam-macam-hukum-nikah-pJcHS

[3] Al-Manshlahats Jurnal Hukum den Pranata Sasur Islam, VOL 07, NO 1 Agustus 2019 PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT IMAM MADZHAB DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA 3 Shodia, Misno, dan Abdul Rasyid

[4] Analisis Nikah Beda Agama dalam Perspektif Maqashid Syari’ah Ahmad Fauzi1, Kemas Muhammad GemilangDarmawan Tia Indrajaya, 123UIN Sultan Syarif Kasim RiauVolume (13), Nomor (1), (Juni) (2023) hal 79-84

[5] https://quran.nu.or.id/al-baqarah

[6] https://www.hukumonline.com/berita/a/update-peraturan-mengenai-kawin-beda-agama-di-indonesia-yang-perlu-kamu-tahu-lt6524c8abccf5f/

[7] https://images.app.goo.gl/rtwpMXQ7K9p12WPo6

Febby Ayu Lestari, Santri Semester 6

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *