Zakat merupakan konsep yang menarik untuk terus diperbincangkan karena cakupannya yang sangat luas. Selain menjadi manifestasi dari keimanan kepada Allah SWT, zakat juga memiliki potensi besar dalam menawarkan solusi atas permasalahan kesejahteraan social di suatu negara. Apabila zakat dikelola dengan baik dan tepat, ia dapat menjadi instrument yang efektif dalam mengatasi kemiskinan dan ketimpangan sosial. Pengelolaan yang baik mencakup manajemen yang transparan, sementara pendistribusian yang tepat sasaran memastikan bahwa
zakat sampai kepada mereka yang benar-benar membutuhkan, sehingga dampaknya lebih maksimal dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.(1) Zakat berasal dari kata “zaka” yang memiliki berbagai makna positif, seperti suci, baik, berkah, tumbuh, dan berkembang. Pemberian zakat disebut demikian karena didalamnya terdapat harapan untuk memperoleh berkah, membersihkan jiwa, serta memupuknya dengan berbagai kebaikan. Zakat juga mengandung makna pertumbuhan, dimana mengeluarkan zakat menjadi sebab berkembangnya harta yang
dimiliki. Dengan melaksanakan zakat, seseorang tidak hanya berkontribusi pada kesejahteraan orang lain, tetapi juga menambah pahala yang ia peroleh. Selain itu, makna suci dalam zakat menandakan bahwa zakat berfungsi untuk menyucikan jiwa dari keburukan, kebatilan, serta dosa-
dosa. Oleh karena itu zakat bukan hanya sekedar kewajiban finansial, tetapi juga sebuah upaya spiritual untuk meningkatkan kualitas diri dan kehidupan masyarakat.(2)
Pengelolaan zakat secara professional membutuhkan sumber daya manusia yang terampil dan memiliki pemahaman yang mendalam terkait berbagai aspek zakat, seperti muzakki, nisab, haul, serta mustahiq. Keahlian ini sangat penting agar zakat dapat dikelola dengan tepat dan optimal. Selain keterampilan teknis, dedikasi yang tinggi serta niat bekerja lillahi ta’ala merupakan kunci sukses dalam pengelolaan zakat. Tanpa dedikasi dan integritas, banyak masalah bias timbul, termasuk penyelewengan dana zakat yang seharusnya disalurkan kepada yang berhak. Pengelola yang tidak jujur atau tidak amanah bisa mengakibatkan zakat tidak sampai kepada mustahiq atau bahkan disalah gunakan untuk kepentingan pribadi. Oleh karena itu, profesionalisme dalam pengelolaan zakat harus didukung oleh tenaga yang terampil, jujur, amanah, dan memilikio Komitmen penuh dalam menjalankan amanah ini. Hanya dengan demikian, zakat dapat berfungsi secara efektif sebagai instrument untuk membantu masyarakat yang membutuhkan. (3)
Menurut KH. Sahal Mahfudz, zakat produktif adalah zakat yang dikelola secarap rofessional, tepat sasaran, berkesinambungan, dan mampu mensejahterakan masyarakat. Konsepn Ii menekankan pentingnya pengelolaan zakat yang tidak hanya sekedar memberikan bantuan sementara, tetapi juga menciptakan dampak jangka panjang bagi penerima zakat. Jauh sebeluma lahirnya Undang-Undang pengelolaan zakat tahun 1999, KH. Sahal sudah menjadi pelopor dalam gerakan zakat produktif, yang bertujuan memanfaatkan asset zakat untuk membantu mustahiq menjadi lebih mandiri secara ekonomi. Melalui zakat produktif, dana zakat dapat digunakan untuk memberdayakan masyarakat, sehingga mereka tidak hanya bergantung pada bantuan, tetapi juga memiliki keterampilan dan sumber daya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Hal ini sejalan dengan tujuan zakat dalam islam, yaitu memberikan solusi jangka panjang dalam mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup umat. (4)
(1) Arief Aulia Rachman, “METODOLOGI FIKIH SOSIAL M.A. SAHAL MAHFUDZ ( Studi Keberanjakan dari Pemahaman
Fikih Tekstual ke Pemahaman Fikih Konstekstual dan Relevansinya dengan Hukum Keluarga Islam)” Tesis (
Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2014 )
(2)“Zakat produktif ala Kiai Sahal Mahfudz Dikembangkan IPMAFA Pati, “September 5,2017,
https://www.nu.or.id/post/read/81009/zakat-produktif-ala-kiai-sahal-mahfudh dikembangkan-ipmafa-pati.
disampaikan dalam diskusi manajemen zakat dan wakaf oleh Prodi Zawa Ipmafa. Rais Syuriah NU Pati KH. M. Aniq
Muhammadun menyampaikan terdapat tiga cara penyaluran zakat produktif. Yaitu menjadikannya sebagai investasi,
kedua sebagai modal usaha atau kerja, ketiga penyaluran dalam bentuk usaha-usaha produktif yang kembali pada
maslahat dan kepentingan umum seperti madrasah, rumah sakit, balai pengobatan dll.
(3) KH. M.A. Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial. hal.155-156.
(4) Luthfan Hibatul Wafi, “Zakat Produktif Untuk Kinerja Modal Usaha Dan Kesejahteraan Ekonomi Mustahik Pada lembaga Amil Zakat Nasional Nurul Hayat Di Bojonegoro,” Jurnal Ekonomi Syariah Teori Dan Terapan Unair 6, no. 7 (n.d.): Juli 2019.
Qatherin Sabatina, Santri Semester lima