Nikah, dalam Bahasa Indonesia berarti pernikahan atau perkawinan, Merupakan akad atau perjanjian antara seorang laki-laki dan Perempuan untuk terikat dalam ikatan suami-istri. Dalam konteks Islam sendiri, nikah adalah momen sakral yang menjadi pintu keabsahan hubungan antara kedua belah pihak suami-istri dengan syarat-syarat tertentu yang harus terpenuhi dan bertujuan untuk membangun keluarga yang Sakinah, mawaddah dan warahmah.
Dalam beberapa waktu lalu telah terjadi kehebohan dimedsos karena pernikahan seorang artis yang dinilai kurang sesuai dengan adat kita. Yang terjadi pada pernikahan tersebut ialah antara ucapan ijan dan qabul tidak disambung secara langsung (terdapat jeda antara ijab dan qabul). Pelbagai netizen kemudian berbondong – bondong menilai hal tersebut, ada yang menilai hal tersebut tidak masalah (tetap sah) dan juga tidak sedikit yang mencibir atas ketidak absahannya prosesi akad ijab qabul tersebut, ada yang menilai karena ia mengetahui dasar dalilnya, ada pula yang menilai berdasarkan kata gurunya, dan tak sedikit yang menilai hanya karena ingin ikut andil komen
Setelah kejadian tersebut viral dan menjadi topik perbincangan tanpa arah kemudian banyak ahli – ahli agama yang membahas serta menghubungkan kerjadian tersebut dengan hukum fiqhnya, dan pastu sudah seharusnya para pakar faqih bermunculan ketika situasi yang tak jelas dan tanpa arah tersebut yang tak lain bertujuan meluruskan atau setidaknya beliau – beliau menilai dan menjelaskan dengan didasari oleh dalil.
Jadi keabsahan nikah itu sendiri harus melalui ijab (penyerahan) dan qabul (penerimaan) yang diucapkan oleh wali dan mempelai pria atau wakilnya, dalil yang kurang lebih menjelaskan keabsahan ijab qabul ini berasal dari firman Allah SWT :
فَانْكِحُوْهُنَّ بِاِذْنِ اَهْلِهِنَّ وَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
Ayat ini menekankan harus adanya kejelasan dan kerelaan antara kedua belah pihak yang diwujudkan melalui akad , Kemudian Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth Tholibin mengatakan :
تُشْتَرَطُ الْمُوَالَاةُ بَيْنَ الْإِيجَابِ وَالْقَبُولِ عَلَى مَا سَبَقَ فِي الْبَيْعِ. وَنَقَلَ الْقَاضِي أَبُو سَعْدٍ الْهَرَوِيُّ: أَنَّ أَصْحَابَنَا الْعِرَاقِيِّينَ اكْتَفَوْا بِوُقُوعِ الْقَبُولِ فِي مَجْلِسِ الْإِيجَابِ. قُلْتُ: الصَّحِيحُ اشْتِرَاطُ الْقَبُولِ عَلَى الْفَوْرِ، فَلَا يَضُرُّ الْفَصْلُ الْيَسِيرُ، وَيَضُرُّ الطَّوِيلُ، وَهُوَ مَا أَشْعَرَ بِإِعْرَاضِهِ عَنِ الْقَبُو
Dalam akad memang terdapat syarat muwalat (berurutan) akan tetapi jika terdapat jeda yang tidak terlalu lama maka akad nikah tetap sah. Dan juga dari kitab Hasyiyah ad-Desuqi ‘ala asy-starh al-kabir :
أَشْعَرَ إتْيَانُهُ بِالْفَاءِ بِاشْتِرَاطِ الْفَوْرِ بَيْنَ الْقَبُولِ وَالْإِيجَابِ وَصَرَّحَ بِهِ فِي الْقَوَانِينَ فَقَالَ وَالنِّكَاحُ عَقْدٌ لَازِمٌ لَا يَجُوزُ فِيهِ الْخِيَارُ وَيَلْزَمُ فِيهِ الْفَوْرُ مِنْ الطَّرَفَيْنِ فَإِنْ تَأَخَّرَ الْقَبُولُ يَسِيرًا جَازَ
Ibarah diatas menunjukkan, adanya persyaratan penyegeraan dalam akad ijab dan qabul namun keterlambatan yang bisa dimaklumi tetap mengesahkan akad, kemudian Imam ad-Dasuqi melanjutkan :
فِي الْمِعْيَارِ عَنْ الْبَاجِيَّ مَا يَقْتَضِي الِاتِّفَاقَ عَلَى صِحَّةِ النِّكَاحِ مَعَ تَأَخُّرِ الْقَبُولِ عَنْ الْإِيجَابِ
Dengan demikian, akad ijab dan qabul yang terdapat jeda yang tidak terlalu lam atau jeda tersebut tidak menunjukkan keberpalingannya pada momen akad itu sendiri maka akad tetap sah. Selama jeda tersebut tidak berupa pembicaraan yang tidak perlu, seperti contoh wali sudah mengucapkan ijab sedangkan mempelai pria malah mengangkat telpon atau mempelai pria berbicara dengan orang lain yang Dimana hal tersebut menunjukkan keberpalingan pada momen akad, maka hal seperti itu dapat tidak mengesahkan suatu akad pernikahan.
Yang menjadi nilai dan tolak ukur jeda disini sebenarnya bukan detik ataupun menit, melainkan kondisi dan suasana akad, bukan durasinya (selama jeda tidak terlalu lama secara adat). Sedangkan yang terjadi pada adat daerah kita dalam momen ijab Kabul adalah terdapat jeda antara ijab dan qabul, karena momen pernikahan sendiri momen sakral biasanya mempelai pria terserang panik attack, jadi butuh waktu jeda sebentar untuk mengambil nafas agar lebih tetap tenang. Atau saat ijab mempelai pria ingin bersin yang tidak bisa ditahankan lagi, maka hal-hal seperti itulah yang merupakan jeda yang tetap menjadikan sahnya akad pernikahan, selama tidak ada indikasi berpaling dari akad.
Kemudian saya menarik Kesimpulan bahwasannya akad pernikahan memang disyaratkan muwalat, akan tetapi jika terdapat jeda yang tidak terlalu lama dan tidak mengindikasikan dari akad. Toh juga kejadian yang ada di daerah kita tidak ada jeda yang menjadikan ketidaksahannya akad pernikahan.