JUAL BELI KARBON (TRADABLE EMISSIONS RIGHTS) SEBAGAI WUJUD HIFDZ AL BI’AH

Kolom Santri620 Dilihat

Manusia diciptakan oleh Allah dengan dua fungsi melekat, yaitu fungsi penghambaan (ibadatullah) dan fungsi sebagai pengelola bumi (immaratul ardl). Fungsi pertama sesuai dengan pernyataan dalam Q.S al-Dzariyat ayat (56) yang berbunyi:

وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون

Para ahli tafsir pada umumnya sepakat bahwasanya tujuan penghambaan dari penciptaan manusia bersifat absolut, bukan untuk memenuhi kebutuhan Allah kepada makhlukNya, tetapi karena murni perintahNya.[1] Sedangkan fungsi kedua yaitu manusia sebagai pengelola bumi didasarkan pada Q.S Al-Baqarah ayat (30):

وإذْ قَالَ رَبّك لِلْمَلَائِكَةِ إنِّي جَاعِل فِي الْأَرْض خَلِيفَة قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِد فِيهَاوَيَسْفِك الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّح بِحَمْدِك وَنُقَدِّس لَك قَالَ إنِّي أَعْلَم مَا لَا تَعْلَمُونَ (30)

Hal yang perlu digaris bawahi berdasarkan ayat tersebut adalah bahwasanya manusia sebagai khalifah di bumi mengemban tugas mengelola bumi agar tidak melakukan perilaku eksploitatif tanpa memikirkan hak generasi berikutnya, dalam hal ini yaitu sistem kepemimpinan di bumi yang bersifat berkelanjutan. Kiai Sahal melihat fungsi Ibadatullahsebagai interaksi antara manusia dengan Allah, sehingga bersifat vertikal. Sedangkan fungsi immaratul ardl menghasilkan interaksi yang bersifat horizontal, yaitu antara manusia dengan sesamanya maupun interaksi dengan alam.[2]

Adapun interaksi horizontal, antara sesama manusia dan lingkungannya menjadi perhatian bagi para pakar ilmu fiqh. Para fuqoha’ membahas dalam konsep tematik dari ilmu fiqh secara umum, yaitu tema fiqh bi’ah (fiqh ekologi). Konsep fiqh bi’ah yaitu pembahasan mengenai hubungan antara fiqh (hukum islam) dengan ekologi (ilmu tentang hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungan). Secara etimologi, kata fiqh berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqhan, yang berarti al-ilm bi al-syai’i wa al-fahm (pengetahuan dan pemahaman terhadap sesuatu). Secara terminologi, fiqh adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil terperinci. Adapun kata bi’ah adalah lingkungan hidup, meliputi kesatuan ruang lingkup dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, sesuatu yang dapat mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lain. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa fiqh bi’ah adalah ilmu yang membahas ajaran dasar islam mengenai keberlangsungan lingkungan hidup.[3]

            Indonesia sebagai negara dengan sumber daya alam yang melimpah, maka sudah menjadi tanggung jawab bersama dalam menjaga kelestarian alam tersebut. Kehidupan manusia di bumi tentunya sekaligus mengemban tugas sebagai khalifah, dimana fungsi immaratul ardl akan sangat dipertanggung jawabkan. Namun yang terjadi di bumi yang kita tinggali saat ini adalah adanya krisis iklim dan cuaca, begitu juga pemanasan global dimana emisi atau gas gas tertentu yang dikenal dengan efek rumah kaca terus bertambah pada lapisan atmosfer, sehingga panas alami rumah kaca meningkat begitu juga suhu bumi. Hal ini tidak lain merupakan dampak dari tindakan manusia sendiri, seperti kegiatan industri dan pertambangan, pembakaran dan penggundulan hutan. Jika dalam beberapa tahun tindakan perubahan dan kesadaran manusia akan hal tersebut masih minim, maka dampak negatif lainnya akan semakin banyak bermunculan seperti adanya pencairan es baik di kutub atau pegunungan yang menyebabkan kenaikan permukaan laut sehingga berdampak pada keseimbangan ekosistem dan kepunahan spesies.[4]

            Menurut laporan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), terdapat beberapa hal yang diharapkan dapat menjadi perhatian publik, yaitu:

  1. Suhu pada tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas, dengan suhu rata-rata global mencapai 1,55 °C diatas suhu era pra industri (1850-1900).
  2. Di Indonesia, tahun 2024 juga tercatat sebagai tahun terpanas sejak pengamatan tahun 1981, dengan suhu rata-rata 27,5 °C dan anomali 0,8 °C terhadap normal 1991-2020. Kenaikan tinggi muka laut berdasarkan satelit menunjukkan tren naik 4,3±0,4 mm/tahun.
  3. Kontribusi gas rumah kaca utama, yaitu karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O), dan sulfur heksafluorida (SF6), mengalami pengingkatan signifikan dalam lima tahun terakhir. Pemantauan di stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang, Sumatera Barat selama 2020-2024 menunjukkan tren kenaikan yang konsisten, dengan konsentrasi CO2 yang melebihi 150% di atas konsentrasi era pra industri.
  4. Fenomena El Nino yang mulai terjadi pada semester kedua 2023, berlanjut hingga awal 2024. Meskipun sebagian besar wilayah Indonesia mencatat curah hujan tahunan normal hingga di atas normal, namun beberapa wilayah mengalami curah hujan di bawah normal, dengan adanya hari tanpa hujan terpanjang pada tahun 2024 terjadi di daerah Bima, Nusa Tenggara Barat yang berdurasi 214 hari.
  5. Radiasi matahari maksimum selama 2024 terjadi pada bulan Oktober, dengan beberapa daerah mencapai intensitas tertinggi di Sumatera bagian Tengah dan Selatan, Sebagian besar Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku.[5]

Berdasarkan laporan tersebut, fenomena dampak pemanasan global akhir akhir ini terjadi secara signifikan, oleh karena itu, beberapa upaya dilakukan salah satunya dengan mengupayakan adanya perdagangan karbon (tradable emissions rights) yang telah disepakati dalam Kyoto Protocol dan Paris Agremeent yang memberikan hak kepada negara untuk melakukan jual beli karbon. Di Indonesia, hal ini telah diatur dalam Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 bahwasanya perdagangan karbon adalah sebuah mekanisme berbasiskan pasar guna mengurangi emisi gas rumah kaca melalui kegiatan jual beli karbon. Dalam sistem ini, sebuah negara atau perusahaan dapat menjual kredit karbon yang dimilikinya, sedangkan pihak lain penghasil karbon diatas batas ketentuan dapat membeli kredit karbon tersebut. Adapun tata cara penyelenggaraan perdagangan karbon sesuai  Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yaitu dapat melalui bursa karbon yang kemudian dikelola oleh Bursa Efek Indonesia (BEI). Dalam prosesnya, mekanisme perdagangan karbon terdapat beberapa unsur sebagai berikut:

  1. Pihak atau perusahaan penjual yang memilki surplus karbon (penghasil karbon rendah).
  2. Perusahaan pembeli yang memiliki defisit karbon (penghasil karbon tinggi).
  3. Batas unit emisi (emisi wajar yang dapat dikeluarkan oleh suatu Perusahaan).
  4. Carbon Market (penyelenggara perdagangan karbon) dalam hal ini dikelola oleh Bursa Efek Indonesia (BEI).
  5. Unit Karbon (hak atas emisi gas rumah kaca) sebagai komoditas yang diperdagangkan.[6]

             Banyaknya dampak negatif yang muncul akibat emisi karbon, telah menciptakan paradigma baru bagi Masyarakat untuk mewujudkan ide dan upaya bebas emisi karbon di masa mendatang. Indonesia telah menetapkan target menuju fase zero-carbon yaitu pada tahun 2050, selain itu, adanya perdagangan karbon dapat dilihat sebagai bentuk kompensasi atas produksi karbon berlebih, sehingga diharapkan dapat  menjadikan upaya mitigasi dan penekanan bagi produsen gas yang melebihi batas.[7]

            Hal ini selaras dengan konsep fiqh ekologi yang diperkuat oleh konsep maqashid syariah sebagai kepentingan yang bersifat dharuri bagi manusia, bahwasanya memelihara lingkungan hidup merupakan bagian integral dari tingkat keimanan seseorang. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka ada dua hal yang perlu disampaikan mengenai pemeliharaan lingkungan (hifdz al bi’ah). Pertama, pemeliharaan lingkungan dipandang sebagai bagian dari maqashid syariah. Menurut Yusuf Al Qardhawi, memelihara kelestarian lingkungan hidup yang baik maka dapat menjadi mediator bagi terwujudnya al kulliyat al khams, yaitu hifdz al-din, hifdz al-nafs, hifdz al-nasl, hifdz al-aql, hifdz al-mal. Kedua,adanya kaidah ushuliyah yang mengungkapkan bahwa mediator pelaksanaan bagi sesuatu yang wajib, maka ia termasuk wajib. Begitu juga potensi hifdz al bi’ah dalam menjadi perantara bagi terlaksananya al kuliiyat al khams, maka hifdz al bi’ah ini tidak dapat diabaikan begitu saja.[8]

            Seiring dengan pemaparan diatas, munculnya ide penanggulangan berbasis perdagangan karbon diharapkan dapat menjadi perantara atau mediator bagi kelestarian alam sehingga kehidupan di muka bumi dapat berlangsung dengan baik. Adapun di Indonesia, praktik perdagangan karbon masih belum terlalu signifikan, sehingga sosialisasi oleh pengelola tentang perdagangan karbon masih sangat diperlukan demi terwujudnya target fase zero carbon pada tahun 2050 mendatang. Adapun pemenuhan tugas manusia sebagai immaratul ardl di muka bumi dapat berlangsung dan kelestarian alam dapat diwujudkan.

[1] Ibnu Katsir, Tafsir al Qur’an al ‘Adhim, Saudi: Dar ibn al Jauzi (1431 H), Juz.7, hal. 38.

[2] Tutik Nurul Janah, dkk, Mengudar Istilah Metodologi Fiqh Sosial, Pati: Mafapress (2023), hal 24.

[3] Waheeda, Ali Mutakin, Fiqh Ekologi; Upaya Merawat Lingkungan Hidup Berbasis Konsep Maqashid Syariah, Journal Syariah, Vol.1. hal.111.

[4]  Mona Febriani Irma, Eva Gusmira, Evaluasi Kebijakan Lingkungan terhadap Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia, Jurnal Kolaborasi Sains dan Ilmu Terapan, Vol.2 No.1, hal.14.

[5] Tim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Catatan Iklim Dan Kualitas Udara Indonesia, Deputi Bidang Klimatologi, Jakarta. Hal. Vi.

[6] https://www.kabarcianjur.com/2024/02/menyoal-potensi-zakat-perdagangan_25.html diakses pada 25 Mei pukul 18.06 WIB.

[7] https://nu.or.id/nasional/kiai-afifuddin-muhajir-perdagangan-karbon-sah-secara-fiqih-yOjCc diakses pada 26 Mei 2025 pukul 12.16 WIB.

[8] Yusuf Al Qaradhawi, Ri’aayah al-bi’ah fi syariah al-islam, Kairo: Dar As syuruq (2001), hal. 24

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *