Keluarga Berencana dalam Madzhab Syafi’i

Kolom Santri59 Dilihat

Dalam Islam, setiap laki-laki dan perempuan yang sudah menikah sangat dianjurkan dalam agama untuk memiliki keturunan. Dalam Islam pula, pernikahan bukan hanya sebagai kebutuhan biologis saja, namun juga untuk meneruskan keturunan (nasab). Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

وَاللّٰهُ جَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا وَّجَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَزْوَاجِكُمْ بَنِيْنَ وَحَفَدَةً وَّرَزَقَكُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِۗ اَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُوْنَ وَبِنِعْمَتِ اللّٰهِ هُمْ يَكْفُرُوْنَۙ [1]۝٧٢

Artinya: “Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri, menjadikan bagimu dari pasanganmu anak-anak dan cucu-cucu, serta menganugerahi kamu rezeki yang baik-baik. Mengapa terhadap yang batil mereka beriman, sedangkan terhadap nikmat Allah mereka ingkar?”

Selain itu, terdapat juga hadist nabi yang menganjurkan untuk memperbanyak keturunan. Dari Maqil bin Yasar, Rasulullah bersabda:

تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَم[2]

Artinya: Nikahilah wanita yang penuh kasih sayang dan subur, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya jumlah kalian dihadapan umat yang terdahulu. (HR. Abu Dawud dan Imam Nasa’i)

Dalam hadis tersebut, Rasulullah SAW menganjurkan untuk memperbanyak keturunan bagi umatnya yang sudah menikah. Namun, di zaman sekarang ini, lonjakan jumlah penduduk yang begitu besar menjadikan masyarakat mulai merasakan perubahan kondisi sosial dan ekonomi. Mereka kesulitan dalam mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, terlebih jika mempunyai banyak anak. Kebutuhan yang diperlukan akan semakin bertambah yang membuat mereka kesusahan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu, banyak orang yang mengambil jalan untuk melakukan program keluarga berencana (KB). Keluarga Berencana (KB) menurut UU No 10 tahun 1992 (tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera) adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan (PUP), pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera.

Program Keluarga Berencana (KB) pertama kali dilaksanakan pada Orde Baru yakni di masa pemerintahan Soeharto. Dengan program ini, masyarakat diharuskan membatasi jumlah kelahiran anak, yaitu setiap keluarga hanya memiliki maksimal dua anak, dan program ini diberlakukan kepada seluruh lapisan masyarakat mulai lapisan bawah hingga atas dalam tatanan masyarakat. Keluarga Berencana dapat dianggap sebagai suatu gerakan kultural atau gerakan moral yang mengubah pola pikir, nilai, dan perilaku manusia secara fundamental. Program tersebut dikembangkan untuk dua misi utama yakni menurunkan fertilitas dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. (Rifdatus Sholihah, 2019)

Namun, dalam hal ini Madzhab Syafi’i mempunyai pandangan berbeda terhadap KB. Dimana dalam hal ini ada 2 sudut pandang:

  1. Tahdid an-nasl. KB di sini difungsikan untuk memutus keturunan secara permanen. Program KB semacam ini mengharuskan pasien menggunakan alat kontrasepsi secara permanen. Dimana kemampuan seseorang untuk memiliki keturunan akan sirna.

KB yang semacam ini hukumnya haram, karena sangat bertentangan dengan ajaran Islam dan juga sangat menentang dengan tujuan dan inti dari sebuah pernikahan, yaitu untuk menciptakan keturunan sebanyak-banyaknya.

  1. Tandzim an-nasl. KB di sini difungsikan untuk menertipkan keturunan. Program KB semacam ini mengharuskan pasien untuk mengikuti jenis kontrasepsi yang reversible, yaitu metode kontrasepsi yang dapat dihentikan setiap saat tanpa efek lama di dalam mengembalikan kesuburan atau kemampuan untuk memiliki anak lagi.

KB yang semacam ini memang tidak ada larangan khusus dalam syara’ sehingga mengharamkannya sebagaimana poin yang pertama, akan tetapi hukumnya makruh saja. Dan masih berada dalam ruang lingkup jawaz (boleh).[3]

Madzhab Syafi’i misalnya mengizinkan pemakaian kontrasepsi atau melaksanakan azl oleh suami dengan tanpa izin dari istri, akan tetapi empat madzhab yang lain mengharuskan minta izin terlebih dahulu kepada istrinya. Di kalangan para ahli hukum Islam, pemakaian konstrasepsi hanya dilarang oleh ulama fiqh abad pertengahan berkebangsaan Spanyol dari garis literalis (zhahiriyah) bernama Ibnu Hazm al-Zahiri yang juga diikuti oleh beberapa muridnya. Menurut Ibnu Hazm dengan atau tanpa izin suami, azl tetap diharamkan.

Sedangkan seorang ulama terkemuka, Imam Ghazali, juga menyatakan kebolehan untuk melakukan azl. Al-Ghazali menjelaskan bahwa azl sangat berbeda dengan aborsi apalagi dengan penguburan bayi-bayi perempuan hidup yang baru lahir sebab keduanya merupakan tindakan pembunuhan janin (the act of felony) pada saat perkembangan.

Lebih lanjut menurut al-Ghazali, azl bisa dilakukan apabila tujuannya adalah untuk menjaga kecantikan perempuan guna menjaga keharmonisan kehidupan seksual atau karena alasan menjaga kehidupan si istri. Dalam hal ini syari’ah sangat memperbolehkan. Kemudian, Madzhab Syafi’i dalam hal ini Imam Nawawi berpendapat bahwa melakukan hubungan seksual di mana sebelum ejakulasi seorang laki-laki mencabut penisnya dan kemudian proses ejakulasi tersebut dilakukan di luar vagina istri, hukumnya adalah makruh.[4]

[1] QS. An-Nahl ayat 72

[2]Al Khotib at Tabrizi, Misykat Mashobih, juz 2, hal 929.

[3] LBM MUDI, (2014) https://lbm.mudimesra.com/2014/01/hukum-kb-dalam-mazhab-syafii.html?m=1

[4] Kupipedia, https://kupipedia.id/index.php/Keluarga_Berencana#:~:text=Madzhab%20Syafi’i%20misalnya%20mengizinkan,izin%20terlebih%20dahulu%20kepada%20istrinya.

Tsalis Rizqia Naila Shofa, Santri Semester 6

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *