Nikah sirri adalah pernikahan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa dicatatkan ke KUA. Sedangkan menurut Mahmud Syaltut, nikah sirri sebagai akad nikah yang dilakukan oleh dua orang, tanpa saksi, tanpa pengumuman, dan tanpa penulisan dalam buku resmi dan pasangan tetap hidup dalam kondisi status perkawinan yang disembunyikan. Nikah sirri merupakan salah satu bentuk pernikahan yang terjadi di Indonesia.[1] Namun, pernikahan ini tidak memiliki legalitas hukum yang sah. Sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (2), setiap pernikahan wajib dicatat sesuai dengan peraturan yang berlaku.[2]
Menurut hukum Islam nikah siri hukumnya sah apabila sudah memenuhi rukun pernikahan, yaitu adanya calon suami-istri, wali dari pihak perempuan, dua saksi, dan ijab qabul walaupun secara penuh belum melaksanakan sunah Nabi dalam hal pernikahan.[3] Nabi Muhammad SAW sangat menganjurkan untuk mengumumkan pernikahan kepada masyarakat luas. Sebagaimana Sabdanya:
أعلنوا النكاح واجعلوه فى المساجد واضربوا عليه بالدفوف[4]
“Umumkanlah pernikahan ini, jadikanlah di masjid-masjid dan pukullah duff padanya.”
Namun, berbeda dengan ketentuan negara yang mewajibkan pencatatan pernikahan di KUA agar memiliki legalitas hukum. Nikah sirri umumnya sudah memenuhi syarat agama, tetapi tidak dicatat oleh pejabat yang berwenang. Hal ini tentu berbeda dari definisi nikah sirri menurut Mahmud Syaltut. Lalu, apakah bisa dikatakan bahwa negara menentang syariat Islam karena tidak mengakui nikah sirri, meskipun rukun dan syaratnya sudah terpenuhi?
Pada perkembangan kontemporer, pemahaman tentang nikah sirri mulai mengalami perubahan. Pernikahan tidak hanya dianggap sebagai urusan agama, tetapi juga menjadi tanggung jawab negara. Pemerintah mewajibkan pencatatan pernikahan untuk menjaga ketertiban dan memberikan kejelasan hukum dalam perkawinan. Dengan adanya pencatatan, pernikahan memiliki bukti resmi berupa Akta Perkawinan yang sah secara hukum. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 5 Ayat (2) disebutkan bahwa pencatatan perkawinan diperlukan untuk menjamin ketertiban bagi masyarakat Muslim. Pencatatan ini serupa dengan pencatatan peristiwa penting lainnya, seperti kelahiran dan kematian. Untuk memastikan pernikahan yang adil, aman, dan terhindar dari risiko yang merugikan, negara turut berperan dalam pengawasannya. Apabila tindakan pencatatan perkawinan sebagai upaya meraih kemaslahatan, maka konsekuensinya adalah nikah sirri harus dilarang sesuai dengan kaidah.
درءالمفاسد اولى من جلب المصالح[5]
Pada hakikatnya nikah sirri dianggap sah secara agama, namun tidak memiliki bukti-bukti yang sah menurut perundang-undangan yang berlaku. Demikian, pentingnya pencatatan adalah karena faktanya dalam pernikahan sirri terdapat beberapa dampak negatif yang seharusnya bisa dicegah apabila pernikahan tersebut dicatatkan. Dampak negatif tersebut seperti, jika suami menceraikan istri dalam pernikahan sirri, istri tidak memiliki akta cerai. Hal menunjukkan istri tidak berhak atas harta bersama, nafkah, atau warisan. Sebab, secara hukum, pernikahan mereka dianggap tidak sah, sehingga status istri pun tidak diakui. Konsekuensi dari pernikahan sirri, ia tidak memiliki bukti berupa akta pernikahan (karena tidak terdaftar di Kementerian Agama (KUA) atau Pusat Status Warga Negara (KCS)), akibatnya ketika suami tidak bertanggung jawab atau bahkan menyangkal pernikahan sirrinya istri tidak bisa menuntut hak-haknya. Tanpa pencatatan resmi, pernikahan tersebut tidak memiliki dasar hukum, sehingga hak dan kewajiban sebagai suami-istri pun tidak dapat ditegakkan.
Di sisi lain terhadap anak yang lahir dari pernikahan sirri, tidak ada bukti hukum mengenai hubungan secara perdata dengan ayah biologis, hanya diakui memiliki hubungan nasab dengan ibunya. Hal ini berdampak pada pencatatan akta kelahiran, administrasi kependudukan, serta hilangnya hak-hak seperti nafkah, perwalian, warisan, dan hak perdata lainnya. Oleh karena itu, aspek terpenting dalam pernikahan sirri adalah kepastian hukum yang memastikan legalitas pernikahan tersebut.[6]
Menurut ajaran agama, nikah sirri dianggap sah selama memenuhi syarat dan rukun pernikahan . Namun, dari segi kewarganegaraan dan kependudukan, statusnya tidak diakui secara resmi karena tidak memiliki kekuatan hukum. Akibatnya, hak dan kewajiban bagi pasangan yang menikah sirri tidak terjamin dalam hukum positif. Sedangkan , setiap warga negara, baik suami maupun istri, membutuhkan perlindungan hukum demi kemaslahatan bersama. Pernikahan yang tercatat di KUA sesuai prosedur yang berlaku mempermudah pengurusan administrasi kependudukan di masa depan. Dengan pencatatan resmi, pasangan suami-istri dapat lebih mudah mengurus dokumen seperti akta kelahiran, kartu keluarga, dan kartu identitas penduduk. Selain itu, pencatatan pernikahan juga berperan penting dalam menjamin hak-hak anak sebagai warga negara, termasuk akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan dan jaminan sosial lainnya. Dengan demikian, peraturan yang telah dibuat pemerintah sebagai ulil amri yang berdasarkan kepada asas maslahah maka harus dipatuhi.
[1]. Akhsin Muamar, Nikah Bawah Tangan Versi Anak Kampus, Jakarta; QultumMedia, 2005, cet. 1, hal. 19
[2]. UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
[3]. Tarmizi, Dampak Nikah Siri Dalam Pembentukan Keluarga Sakinah, Jurnal Hukum, Vol. 13 nomor 2, hal.333
[4]. المكتبة الشاملة -ص 263 – كتاب جامع التحصيل في أحكام المراسيل – حرف الميم
[5] ص126- كتاب الوجيز في أصول الفقه الإسلامي – سادسا ترتيب الأحكام الشرعية بحسب المقاصد –المكتبة الشاملة
[6]. Citra Qur’ani Gunawan, ShofiatulJannah M.HI, “Konsekuensi, Hukum, dan Dampak Sosial Pernikahan Siri Terhadap Perempuan dan Anak Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang pernikahan” Jurnal Hukum Keluarga Islam Volume 4, No.1 hal. 12
Wilda Nabila, Santri Semester 6