Poligami merupakan salah satu isu dalam Islam yang sering menjadi perdebatan, baik dalam konteks hukum Islam maupun dalam kehidupan sosial. Islam tidak melarang poligami, tetapi memberinya batasan dan aturan ketat agar tidak disalahgunakan. Dalam kajian fikih, Wahbah Az-Zuhaili sebagai salah satu ulama kontemporer memberikan pandangan bahwa poligami adalah sebuah rukhsah (keringanan), bukan perintah. Sementara itu, Ibnu ‘Asyur dalam teori maqashid syari‘ah menekankan bahwa segala ketentuan syariat, termasuk poligami, harus memiliki tujuan kemaslahatan yang lebih besar.
Dengan memahami poligami melalui dua perspektif ini, kita dapat melihat bahwa poligami bukan sekadar hak laki-laki, tetapi juga tanggung jawab besar yang harus dijalankan dengan keadilan dan maslahat. Dalam kitab Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan bahwa poligami bukan sebuah keharusan dalam Islam, tetapi hanya diperbolehkan dalam kondisi tertentu. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam QS. An-Nisa’ (4:3):
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ ٣
Artinya : “Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim.”
Ayat ini menunjukkan bahwa keadilan adalah syarat utama dalam poligami. Jika seseorang tidak dapat berlaku adil, maka monogami lebih dianjurkan. Wahbah Az-Zuhaili menegaskan bahwa keadilan yang dimaksud adalah dalam hal nafkah, perlakuan, dan hak-hak lahiriah, bukan dalam masalah perasaan, karena perasaan manusia sulit dikendalikan.
Selain itu, Wahbah Az-Zuhaili menyebutkan beberapa kondisi yang dapat menjadi alasan dibolehkannya poligami, di antaranya:[1]
- Ketidakmampuan istri pertama dalam menjalankan kewajiban rumah tangga karena sakit atau kondisi lain.
- Keinginan untuk menjaga keturunan, terutama jika istri pertama tidak dapat memiliki anak.
- Kondisi sosial tertentu, seperti ketika jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki dalam suatu masyarakat.
Namun, Az-Zuhaili juga memperingatkan bahwa poligami tidak boleh disalahgunakan sebagai alasan untuk memenuhi hawa nafsu semata. Ia harus tetap dalam koridor hukum Islam yang menekankan keadilan dan tanggung jawab.
Ibnu ‘Asyur dalam konsep Maqashid al-Syari’ah menekankan bahwa semua hukum Islam memiliki tujuan utama, yaitu menjaga kemaslahatan manusia. Jika suatu hukum dalam pelaksanaannya lebih banyak membawa mudarat daripada manfaat,[2] maka hukum tersebut harus dievaluasi.
Dalam konteks poligami, ada beberapa maqaṣhid yang harus diperhatikan:
- Menjaga keadilan (Al-‘Adl): Islam menekankan keadilan sebagai syarat poligami. Jika keadilan tidak dapat ditegakkan, maka poligami bertentangan dengan maqashid.
- Menjaga keturunan (Hifẓ al-Nasl): Poligami bisa menjadi solusi bagi pasangan yang sulit memiliki anak, tetapi harus dilakukan dengan cara yang tidak merugikan istri pertama.
- Menjaga martabat perempuan: Islam mengatur poligami dengan batasan tertentu agar tidak merendahkan martabat perempuan, sebagaimana yang terjadi pada masyarakat jahiliyah sebelum Islam datang.
- Menjaga kemaslahatan keluarga (Maslahah ‘Ammah): Jika poligami justru menyebabkan konflik dan ketidakstabilan dalam rumah tangga, maka bertentangan dengan maqashid.[3]
Poligami bukan hanya soal boleh atau tidak, tetapi lebih kepada apakah praktik poligami membawa manfaat atau justru merugikan. Jika dalam praktiknya lebih banyak menimbulkan madlarat, maka monogami adalah pilihan yang lebih sesuai dengan maqaṣhid syariah.
[1]Wahbah az-Zuhaili, al-FIqh al Islami wa-Adillatuhu, (Beirut Lubnan: Dar al Fikr, 1989).
[2] Nurhadi bin Hambali, buku : Panorama Maqashid Syari’ah, hal.120
[3] Ibid
Asa Wafda Tazkiya, Santri Semester 6