KH. Sahal Mahfudh dalam bukunya Nuansa Fikih Sosial menuliskan bahwasanya hidup dan kehidupan manusia adalah takdir Allah yang tidak dapat dielakkan. Takdir ini menempatkan manusia dalam proses keberadaan untuk berikhtiar mempertahankan dan melestarikan hidupnya. Manusia diberi hak hidup bukan hanya untuk hidup, tetapi untuk mengabdi kepada Allah. Dalam pengabdian ini, manusia dibebani tanggung jawab yang berkaitan dengan usaha, sarana, dan kemampuannya. Pun manusia juga harus mengendalikan dan mengarahkan faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupannya guna mencapai tujuan hidupnya, yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat.[1] Di tengah perjalanan hidup yang digariskan oleh takdir ini, manusia dihadapkan berbagai rintangan kehidupan. Baik ketika menjalankan syari’at yang berkaitan dengan hal dzahir (terlihat) ataupun batin seperti permasalahan psikis. Misalnya dalam permasalahan seputar seksualitas baik identitas gender, serta orientasinya.
Seiring dengan kemajuan ilmu kedokteran dan peningkatan pemahaman terhadap isu gender, semakin banyak individu yang terbuka tentang identitas mereka. Menurut hasil laporan Dialog Komunitas LGBT Nasional Indonesia yang diselenggarakan pada 13-14 Juni 2013 di Bali, telah terbentuk organisasi LGBT yang relatif besar, terdiri dari: dua jaringan nasional dan 119 organisasi yang didirikan di 28 provinsi dari keseluruhan 34 provinsi di Indonesia (pada waktu itu).[2] Hal ini sekaligus menujukkan bahwa masih banyak lagi individu lain dengan kecenderungan yang sama hanya saja tidak tergabung dalam organisasi tersebut atau menyembunyikan identitasnya. Bukan tanpa alasan, dengan tinggal di negara mayoritas muslim memiliki resistensi tinggi bahkan cenderung terinternalisasi homofobia tentu akan sangat wajar jika mereka merasakan tekanan batin atas norma sosial yang ada. Bahkan terdapat penelitian yang menyatakan bahwa individu dengan kecenderungan orientasi seksual selain heterogen ini memiliki presentase resiko depresi dan bunuh diri lebih tinggi dibandingkan popuasi umum.[3]
Islam sebagai agama mayoritas sangat perlu menyorot hal ini, menjadi tugas tersendiri bagi komunitas religius untuk menarasikan syari’at tidak secara tekstualis normatif saja. Sebagai contoh, menghakimi haram atau dosa dengan menyamakannya dengan perbuatan liwath kaum sodom Nabi Luth begitu saja seperti yang selama ini banyak dilakukan oleh pihak yang terinternalisasi homofobia tanpa melihat bagaimana latar belakang lahirnya perilaku tersebut. Karena bagaimanapun mereka adalah manusia yang juga masih memiliki hak untuk ihtiyar memperjuangkan kebahagian dunia ataupun akhiratnya.
Lantas bagaimana cara menghadirkan narasi syariat yang lebih humanis dan seimbang dengan realita tanpa primordialisme ataupun memancing ketegangan antara pandangan medis modern yang digunakan sebagai argumen pembelaan dan ketentuan syariat Islam yang telah ada sebelumnya?
Sebagai langkah awal, perlu ada segmentasi yang jelas terkait keberagaman identitas seksual atau gender karena tidak semua istilah selain heteroseksual ini memiliki konsekuensi hukum yang sama. Seperti secara global adanya istilah lesbian, gay, biseksual, transgender, hermaprodit dll sementara dalam literatur klasik islam khuntsâ, mutarajjilah, mukhannats khalqy, mukhannats bi al-‘amdi.[4]
Kemudian baru mengalisa secara medis darimana orientasi tersebut muncul, apakah memang kodrati atau berasal dari konstruksi secara sosial budaya. Lalu menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam konteks kehidupan modern dengan tetap mempertimbangkan ketentuan syariat. Misalnya dalam fikih sendiri terdapat pertimbangan masyaqqah, maqasid syari’ah sehingga dapat dilakukan interpretasi syariat untuk menghasilkan narasi yang dituju.
Supaya menghasilkan narasi yang lebih mendalam perlu mengadakan ruang dialog yang inklusif antara ulama, cendekiawan, ahli medis, dan individu yang mengidentifikasi sebagai LGBT. Dialog ini bertujuan untuk mendiskusikan dan mencari kesamaan pandangan yang mendukung kesejahteraan semua pihak tanpa mengorbankan prinsip-prinsip agama.
Memberikan dukungan psikososial yang memadai bagi individu yang mengidentifikasi sebagai LGBT ini mencakup konseling, terapi, dan dukungan komunitas yang berupaya mengatasi stigma dan diskriminasi yang mungkin mereka hadapi. Misalnya menyediakan rehabilitasi secara berkala serta penyuluhan terkait penyaluran kebutuhan seksual yang baik, seperti yang sudah ada sekarang ini yang lebih menekankan bahaya dari dampak aktifitas seksual selain yang sudah diatur dalam syariat.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam konteks modern, membuka ruang dialog inklusif, dan memberikan dukungan psikososial yang memadai, sebagai agama paling berpengaruh di indonesia Islam dapat menawarkan narasi syariat yang lebih humanis dan seimbang. Memahami perbedaan istilah dalam mengategorikan identitas LGBT dan istilah lain yang sering digunakan bergantian tadi juga penting untuk memberikan pendekatan yang tepat dan menghargai keberagaman yang berkaitan dengan kompleksitas orientasi seksual. Atau setidaknya dapat menyadarkan tentang urgensi dalam menciptakan narasi keseimbangan antara pandangan medis modern dan ketentuan syariat, serta mendukung kesejahteraan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip agama.
[1] KH. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, cet.I, 1994, hal.20.
[2] Dédé Oetomo dkk, Laporan LGBT Nasional Indonesia – Hidup Sebagai LGBT di Asia, hal. 12
[3] Jihan Hanifia Azhari, Dian Kartika Amelia Arbi. “Pengaruh Stigma Seksual Terhadap Ideasi Bunuh Diri pada Individu Lesbian Gay Bisexual Transgender (LGBT) Dewasa Awal.” Observasi: Jurnal Publikasi Ilmu Psikologi, 3(1), 2025, 236-247.
[4] ص332 – كتاب فتح الباري بشرح البخاري ط السلفية – باب السخاب للصبيان – المكتبة الشاملة
Alina Azkiya’ Mustafida, Santri Semester 6