Logika mistika

Agama adalah candu yang membuat rakyat tertidur dalam kemiskinan

Kolom Santri433 Dilihat

Agama Membius atau Membebaskan? Kritik sosial Tan Malaka dalam Sorotan Ushul Fiqh

Tan Malaka, seorang tokoh revolusioner Indonesia yang di kenal radikal sekaligus intelektual, pernah menulis dalam madilog bahwa agama seringkali dijadikan alat oleh kaum penguasa untuk mempertahankan status quo. Baginya agama yang tidak dikritisi secara logis

Dan ilmiah akan berubah menjadi instrument penjinakan, buka pembebasan. Maka muncul pertanyaan kritis: apakah agama memang membius rakyat dalam kemiskinan? Ataukah justru memiliki daya revolusioner untuk membebaskan

 Dalam sorotan ushul fiqh, Ilmu metodologi hukum islam.

pertanyaan ini bukan hal yang tabu. Ushul fiqh membuka ruang kritik, penalaran, dan ijtihad atas realitas sosial. Jika Tan Malaka menyerukan pembebasan rakyat melalui kesadaran material dan rasional, maka ushul fiqh menyerukan keadalian melalui penalaran hukum yang kontektual dan maslahat

  1. Agama dan penindasan: kritik Tan Malaka

Tan Malaka melihat agama sebagai idielogi penghibur, yang sering kali justru membuat rakyat pasrah terhadap kemiskinan. Ia berkata:

“bukan maksudku menolak agama,tetapi aku ingin agar agama tidak menjadi alat penindasan dan penjajahh untuk mengaburkan pikiran rakyat,”

Pandangan ini sejajar dengan kritik Marx dan cocok dengan kondisi masyarakat feudal kala itu, dimana agama di pakai oleh para raja dan elite ulama untuk mematikan kesadaran kelas.

Di titik ini agama atau lebih tepatnya, penafsiran agama borpotensi menjadi candu. Apalagi jika teks agama dibaca secara literal, tidak di pertimbangkan maqashid konteks sosial, atau realitas rakyat yang tertindas.

 2. Ushul Fiqh: membongkar penafsiran yang membius.

Ushul fiqh memiliki alat-alat penting untuk melawan pembiusan semacam itu. Misalnya, melalui konsep:

a. Maqashid asy-Syariah: tujuan hukum memastikan bahwa hukum islam berpihak pada keadilan dan kesejahtraan.

b. Istihsan dan istishlah: memiliki hukum yang membawa maslahat dan menolak mafsadat

c. Kaidhah fiqhiyah: sama seperti درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

Menghindari kerusakan lebih utama daripada menarik manfaat

Jika agama digunakan untuk melegitimasi kemiskinan dan ketidak adilan, maka menurut ushul fiqh, tafsir semacam itu perlu dikoreksi atau di tolak.

3. Membaca agama secara revolusioner: titik temu Tan Malaka dan Ushul Fiqh

Disinilah titik temu keduanya. Tan Malaka ingin rakyat bangkit dari kebodohan, ketertindasan, dan pasrah fatalistik.

Islam dengan pendekatan ushul fiqh pun menolak penindasan, bahkan menyerukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap ketimpangan sosial.

Nabi Muhamad pun bukan hanya pendakwah, tapi juga pembebasan kaum mustadh’afin. Ia melawan riba, membela budak, dan menumbangkan struktur kekuasaan Quraisyh yang menindas.

“Tuhan menghendaki keadilan, bukan sekedar ibadah formal”

Dalam konteks ini, agama sejati adalah ideologi pembebasan, bukan candu. Tapi agar pembebasan itu terjadi, dibutuhkan ijtihad yang progresif, bukan taklid yang yang membebek.

Penutup: membangun kesadaran kritis berbasis iman dan nalar.

Agama bisa membius jika difahami tanpa akal, tapi bisa juga membebaskan jika disertai keberanian berpikir. Tan Malaka mengajak rakyat berpikir kritis dan revolisioner. Ushul fiqh mengajarkan bahwa berpikir adalah bagian dari ibadah, keduanya tidak bertentangan, namun saling melengkapi.

Jadi pertanyaan nya sekarang, beranikah kita membaca agama dengan akal yang merdeka, hati yang adil, dan semangat untuk membela yang tertindas?

Karena agama bukanlah candu… jika kita mau bangkit dan berpikir.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *