MEMPERTIMBANGKAN KEPENTINGAN PUBLIK( Uraian Mengenai hukum memberi bantuan pada musibah bencana alam )KH. MA. Sahal Mahfudh

Kolom Yai269 Dilihat

MEMPERTIMBANGKAN KEPENTINGAN PUBLIK

( Uraian Mengenai Hukum Memberi Bantuan Pada Musibah Bencana Alam )

KH. MA. Sahal Mahfudh

Sang wali santri mengadu kepada saya perihal hukum membantu masyarakat yang terkena musibah. Pasalnya, diri sendiri masih ragu apakah membantu masyarakat yang terkena musibah bencana alam berstatus hukum wajib atau sekedar dianjurkan. Awal sekali saya tegaskan bahwa apabila seseorang mempunyai kekayaan dalam jumlah besar dan telah mencukupi kebutuhan hidup, sedangkan kondisi bencana alam benar benar membutuhkan bantuan pihak lain, pilihan keraguan yang “wajib” bisa saja dibenarkan.

Bahwa dalam pandangan Islam kewajiban seseorang yang berkaitan dengan harta bendanya memang tidak terbatas hanya pada kewajiban mengeluarkan zakat mal dan zakat fitrah saja, sebagaimana yang dipahami oleh kebanyakan umat Islam sekarang Persepsi demikian jelas sangat keliru, dan karenanya perlu diluruskan.

Adanya kewajiban lain di luar kedua zakat tersebut bisa diketahui dan dipahami, antara lain dari kitab Bugyatu al mustarsyidin, dalam bagian bab yang menerangkan tentang jihad dan hal yang berstatus hukum fardlu kifayah.

Dalam kitab tersebut pengarangnya menjelaskan bahwa bila seseorang memiliki harta kekayaan yang memiliki kebutuhan biaya hidup selama satu tahun, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain yang menjadi tanggungjawabnya dalam urusan nafkah, ia berkewajiban memberi pakaian untuk menutupi aurat bagi orang-orang yang telanjang (tidak mampu mencukupi kebutuhan sandang), memberi makan orang-orang yang kelaparan (tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan), dan membantu orang-orang yang tertimpa bencana alam (dalam bahasa fiqih disebut nazilah).

Kewajiban tersebut bila harta yang diperoleh dan dikumpulkan dari pembayaran zakat, hasil kafarat, nadzar, wakaf, wasiat serta harta bagian untuk kemaslahatan yang diambil dari baitul mal, semacam kas negara, saat itu memang tidak mencukupi lagi untuk mengatasi kesulitan hidup mereka yang tertimpa bencana.

Lebih lanjut, masih dalam kitab yang sama juga diterangkan, bila orang kaya tersebut memang sama sekali tidak memperhatikan kewajiban itu, maka sulthan (pemerintah suatu negara) berhak mengambil sendiri sebagai hartanya, kemudian mempergunakannya dalam keperluan di atas, sebagaimana maksud salah satu kaidah fiqih “tasharruful al-imam ala arrai’yyah manuthun bi al-maslahah”, (segala hal tindakan imam harus mengacu pada kepentingan rakyat-nya).

Berkenaan dengan ketentuan hukum di atas, ada suatu cerita yang layak diteladani, bahwa pada zaman pemerintah Khalifah Umar bin Khattab pernah terjadi bencana kelaparan, sehingga banyak rakyat yang kekurangan bahan makanan.

Untuk mengatasi hal itu beliau mengambil langkah inisiatif yang sangat bijak, yaitu dengan cara membebani setiap rumah yang secara ekonomi  dipandang mampu untuk menanggung orang-orang yang terkena musibah tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali.

Sumber : “ WAJAH BARU FIQIH PESANTREN ”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *