Menurunnya Kepercayaan Masyarakat terhadap Pesantren: Tantangan Integritas dan Urgensi Reformasi

Kolom Santri683 Dilihat

Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, pesantren memiliki tempat yang istimewa. Ia tidak hanya menjadi pusat penyebaran ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga benteng pembentukan karakter bangsa. Pesantren telah melahirkan banyak tokoh ulama, pemimpin, dan intelektual yang berkontribusi besar terhadap peradaban dan kemerdekaan Indonesia. Namun kini, wajah pesantren menghadapi ujian berat: menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga ini.

Penurunan kepercayaan ini tidak datang tiba-tiba, melainkan tumbuh dari rentetan kasus yang menyentuh hati nurani publik. Beberapa tahun terakhir, masyarakat dikejutkan oleh terbongkarnya berbagai kasus kekerasan fisik, perundungan, bahkan pelecehan seksual di sejumlah pesantren. Ironisnya, sebagian besar pelaku adalah orang-orang yang memiliki posisi penting di lembaga tersebut. Ini bukan hanya melukai korban dan keluarganya, tetapi juga meruntuhkan citra pesantren sebagai tempat aman dan bermartabat.

Lebih memprihatinkan lagi adalah respons sebagian kalangan yang masih menutup mata, membela diri, dan bahkan menyalahkan korban. Dalam beberapa kasus, nama besar pesantren digunakan untuk membungkam kritik, seolah-olah mempertanyakan tindakan oknum berarti merusak institusi agama. Padahal, sikap demikian justru memperdalam krisis kepercayaan publik. Sebab, masyarakat hari ini tidak lagi cukup dengan label “agama” semata, mereka menuntut akuntabilitas, transparansi, dan profesionalisme dalam pengelolaan lembaga pendidikan.

Selain faktor kekerasan dan pelecehan, penyebab lain dari menurunnya kepercayaan publik adalah ketidakjelasan sistem pengawasan internal di banyak pesantren. Minimnya regulasi yang efektif dan kurangnya keterlibatan pihak eksternal, seperti lembaga perlindungan anak atau pemerintah daerah, membuat pelanggaran-pelanggaran ini sulit terdeteksi sejak dini. Belum lagi, ketertutupan pesantren terhadap partisipasi orang tua dan masyarakat umum menjadikannya seolah “dunia tertutup” yang sulit dijangkau.

Namun demikian, perlu ditekankan bahwa tidak semua pesantren bermasalah. Ribuan pesantren di seluruh Indonesia masih menjalankan fungsinya dengan baik, bahkan menjadi teladan dalam mendidik santri yang cerdas, mandiri, dan berakhlak mulia. Karena itu, kritik terhadap sebagian pesantren hendaknya tidak dijadikan alasan untuk mengeneralisasi atau menyamaratakan seluruh lembaga.

Solusi terhadap persoalan ini tidak cukup dengan pendekatan insidental atau kosmetik. Diperlukan langkah-langkah struktural dan sistemik. Pertama, pemerintah harus memperkuat regulasi terhadap pesantren, termasuk kewajiban memiliki SOP perlindungan santri, transparansi laporan keuangan, dan audit independen atas kinerja lembaga. Kedua, perlu ada pelatihan intensif bagi para pengasuh dan ustaz tentang etika profesi, perlindungan anak, dan pendekatan psikologis dalam mendidik. Ketiga, penting untuk mendorong keterlibatan masyarakat, termasuk wali santri dan tokoh masyarakat, dalam pengawasan dan evaluasi lembaga pesantren.

Reformasi budaya juga tak kalah penting. Pesantren harus membangun budaya keterbukaan terhadap kritik dan introspeksi. Marwah pesantren tidak akan jatuh hanya karena mengakui kesalahan dan memperbaiki diri—justru di situlah kemuliaan sebenarnya terlihat.

Mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pesantren bukanlah tugas ringan, tetapi sangat mungkin dilakukan. Dengan niat yang tulus, keberanian untuk berubah, dan kerja sama semua pihak, pesantren dapat kembali menjadi oase pendidikan moral dan spiritual yang dirindukan umat. Pesantren yang bersih, aman, dan transparan bukan hanya dambaan, tapi kebutuhan mutlak di tengah krisis moral generasi muda saat ini.

Sebagaimana dikatakan oleh KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), “Pesantren itu rumah ilmu, rumah akhlak, dan rumah cinta. Jika tidak ada cinta dan rasa aman di dalamnya, itu bukan pesantren, itu hanya bangunan.” Maka dari itu, mari kita jaga dan rawat ruh pesantren, agar tetap menjadi cahaya di tengah krisis moral zaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *