MUSIK DALAM PANDANGAN FIQIH DAN BATASAN-BATASANNYA

Kolom Santri211 Dilihat

PENDAHULUAN

         Musik merupakan salah satu bentuk seni yang telah hadir sejak peradaban manusia awal. Kehadirannya tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai sarana ekspresi, budaya, bahkan media dakwah. Namun, dalam perspektif fiqih, pembahasan tentang musik masih menjadi topik yang cukup kontroversial. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya, mulai dari yang mengharamkan secara mutlak hingga yang membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu. Tulisan ini akan mengulas pandangan fiqih tentang musik dan batasan-batasannya.

PEMBAHASAN

Pandangan Ulama tentang musik

         Dalam literatur fiqih klasik, terdapat tiga pandangan utama mengenai musik:

  1. Pandangan yang mengharamkan musik secara mutlak

Sebagian ulama, terutama dari kalangan mazhab hanafi dan hanbali, mengharamkan musik dan alat-alat musik. Mereka mendasarkan pendapat pada beberapa dalil, seperti hadis riwayat Al-Bukhari:

“Akan ada di antara umatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutra, khamar dan alat musik.”

Hadis ini ditafsirkan bahwa musik termasuk hal yang mendekatkan kepada perbuatan maksiat. Bagi kelompok ini, musik dianggap melalaikan hati dari mengingat Allah dan berpotensi menjerumuskan kepada perilaku dosa.

  1. Pandangan yang membolehkan dengan syarat

 

Sebagian ulama mazhab Syafi’i, Maliki, dan sebagian ulama kontemporer memberikan pandangan yang lebih moderat. Mereka membolehkan mendengarkan musik selama tidak mengandung unsur maksiat, pornografi, atau kata-kata yang mengajak kepada keburukan. Mereka juga menekankan bahwa musik sebaiknya tidak membuat seseorang lalai dari kewajiban agama seperti sholat. Imam Al-Ghazali dalam Ihya ulumuddin menyatakan bahwa musik pada dasarnya mubah, asalkan tidak disertai hal yang haram.

  1. Pandangan yang membolehkan secara luas

Sebagian kecil ulama kontemporer berpendapat bahwa musik adalah seni yang netral. Hukumnya mengikuti isi dan dampaknya. Jika liriknya baik dan memberi motivasi, maka boleh. Namun, jika liriknya buruk dan mengajak kepada maksiat, maka haram. Mereka menilai bahwa teks hadis yang sering dijadikan dalil pengharaman memiliki makna yang bisa ditafsirkan berbeda, sehingga tidak dapat dijadikan alasan mutlak untuk melarang musik.

Batasan-batasan dalam mendengarkan musik

         Meskipun terjadi perbedaan pendapat, ada kesepakatan umum bahwa musik harus dibatasi oleh nilai-nilai syariat. Berikut beberapa batasannya:

  1. Isi lirik tidak mengandung unsur haram

Musik dengan lirik yang mempromosikan kekerasan, pornografi, atau ajakan maksiat jelas diharamkan. Sebaliknya, musik yang mengandung nilai positif, seperti motivasi, pendidikan, dan nasihat kebaikan, maka diperbolehkan.

  1. Tidak melalaikan dari ibadah

Jika musik membuat seseorang lalai hingga meninggalkan shalat, dzikir, atau kewajiban agama lainnya, maka hal itu menjadi haram. Allah berfirman:

“Janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari nikmat Allah.”(QS.Al-Munafiqun:9)

  1. Tidak menimbulkan Syahwat atau perbuatan maksiat

Acara musik yang bercampur antara laki-laki dan perempuan tanpa hijab syar’i, disertai tarian yang mengandung syahwat, jelas dilarang dalam fiqih.

        

Kesimpulan

Fiqih memandang musik dengan berbagai perspektif, mulai dari yang mengharamkan hingga yang membolehkannya dengan syarat. Perbedaan ini lahir karena perbedaan penafsiran dalil dan kondisi sosial masyarakat. Namun yang pasti, musik tidak boleh pada hal yang diharamkan, melalaikan kewajiban, atau merusak moral. Oleh karena itu, umat Islam perlu bijak dalam memilih jenis musik dan cara menikmatinya. Dengan memahami batasan-batasan fiqih, musik bisa menjadi sarana hiburan yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *