PERAN PENGURUS DALAM MENANAMKAN NILAI WASATHIYAH DALAM BERMASYARAKAT SANTRI MA’HAD ALY MASLAKUL HUDA PUTRI

Makalah586 Dilihat

A. Pendahuluan

Pondok pesantren sebagai sarana sistem pendidikan yang sudah ada sejak masuknya Islam di Indonesia. Sebagian ahli sejarah menyebutkan bahwasanya pendidikan pondok pesantren itu sama usianya dengan masuknya islam di Indonesia, karena mereka ingin mengenal lebih dalam tentang agama baru yang sedang mereka anut pada saat itu, Dalam hal ini melalui sistem pendidikan islam yang diawali dengan menerapkan sistem pembelajaran di rumah-rumah, mushola, masjid yang kemudian berkembang menjadi pondok pesantren.[1]

Sistem pendidikan pondok pesantren merupakan salah satu sistem pendidikan yang berlangsung selama 24 jam, segala aspek yang ada didalam pondok pesantren tidak ada yang terlewatkan dari unsur pendidikan, dengan nilai-nilai keislaman yang tentunya bisa menjadi pijakan utama. Peserta didik yang tinggal didalamnya disebut santri. Segala yang mereka lihat, dan mereka rasakan serta mereka ungkapkan dan yang mereka tanyakan tidak pernah lepas dari masalah pendidikan, itu karena proses pendidikan bukanlah hal yang sederhana, namun ia merupakan proses yang sangat kompleks, dengan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan mereka dalam proses belajar. Pendidikan didalam pesantren merupakan sistem pendidikan islam.

Sistem pendidikan islam merupakan sistem pendidikan yang islami, yang secara keseluruhan, ia mempunyai komponen -komponen yang dapat mendukung terwujudnya sosok muslim yang idealitas. sistem pendidikan ini, merupakan sistem pendidikan yang dalam teori dan praktik kehidupannya berdasarkan al quran dan hadits. [2]Berdirinya pesantren berdasarkan tiga kategori yakni; kiyai, santri dan asrama. [3]

Kiyai merupakan guru yang menjadi yayasan bagi anak didiknya yang disebut dengan santri, ia mengupayakan dengan maksimal, supaya dapat menanamkan islam yang dapat menjadi ramatan lil ‘alamin. Diberbagai belahan dunia, begitu juga di indonesia setidaknya ada tiga golongan kaum, (1)fundamentalis yang dengan ketat memaknai islam dari apa yang terkandung secara tekstual dalam alquran,  (2) liberalisme yang memberikan logika sebagai pertimbangan dalam memaknai hukum islam, (3) moderat yang memaknai islam dengan melihat kandungan alquran, kaidah syar’iyah, maslahahnya serta menjadi penengah yang mempertimbangkan toleransi dalam melihat persoalan sosial. Islam yang moderat berorientasi melalui prinsip yang santun dalam bersikap, berinteraksi secara harmonis dalam bermasyarakat, mengedepankan suatu perdamaian serta anti kekerasan dalam berdakwah. Ajaran ini memang selaras dengan kandungan utama islam untuk membawa misi rahmatan lil ‘alamin yakni membawa rahmat bagi seluruh alam. [4]

Tercapainya misi rahmatan lil ‘alamin pastinya membutuhkan nilai -nilai islam wasathiy pada diri seorang pemeluk agama islam, dalam hal ini, pondok pesantren ia sebagai sistem pendidikan yang bertujuan untuk mencetak generasi muda supaya menjadi mundzirul qaum yang mana ia telah membekali para santri dengan nilai – nilai islam. Memahami konsep islam wasathiy ialah menjalankan islam berdasarkan nilai – nilai wasathiy, selama ini konsep wasathiyyah islam dipahami, merefleksikan prinsip tawasut, tasamuh, i’tidal dan iqtisad. Masyarakat atau komunitas yang menampilkan kriteria di atas maka ia disebut ummatan wasathan. [5]

Pesantren mempunyai peran penting sebagai suatu lembaga pendidikan keagamaan yang keberadaannya dituntut agar dapat meningkatkan partisipasinya dalam mewarnai pola hidup di lingkungan pesantren. Jika pendidikan dipandang sebagai proses, maka dalam proses tersebut akan menjadi akhir pada pencapaian tujuan yang akan dicapai. Penanaman nilai-nilai moderat sangat terlihat dalam kehidupan di pondok pesantren tersebut, salah satunya yaitu pembentukan kepengurusan pondok pesantren, sebelum menentukannya para santri diminta untuk melakukan musyawarah supaya mencapai kata mufakat, terkait dengan pemilihan pengurus yang baru yang mana dianggap bisa mengemban tanggung jawab di masa kepengurusannya. Problematika penelitian ini adalah apakah sistem kepengurusan di pondok pesantren telah menanamkan nilai – nilai wasathiyah.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, peneliti tertarik mengadakan penelitian dengan judul “PERAN PENGURUS DALAM MENANAMKAN NILAI WASATHIYAH DALAM BERMASYARAKAT SANTRI MA’HAD ALY MASLAKUL HUDA PUTRI” .

B. Rumusan Masalah

  1. Apa saja nilai-nilai wasathiyah?
  2. Bagaimana kepengurusan di pesantren ma’had aly putri memahami nilai-nilai wasathiyah?

C. Tujuan Penelitian

  1. Untuk mengetahui nilai-nilai wasathiyah
  2. Untuk mengetahui apakah kepengurusan di pondok pesantren telah menanamkan nilai-nilai wasathiyah

D. Manfaat Penelitian

  1. Memberikan informasi pada semua masyarakat pesantren tentang nilai-nilai wasathiyah
  2. Menambah keilmuan dan wawasan bagi peneliti khususnya, serta para santri ma’had aly maslakul Huda

E. Metode Penelitian

Penelitian yang digunakan ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan jenis penelitian kepustakaan yakni dengan cara mengulas beberapa buku atau data tertulis yang berkesinambungan dengan penulis

F. Landasan Teori

Kepemimpinan adalah  ilmu yang mengkaji secara komprehensif tentang bagaimana mengarahkan, mempengaruhi, dan mengawasi orang lain untuk mengerjakan tugas sesuai dengan apa yang diperintahkan dan direncanakan. Menurut G.R Terry dalam fahmi (2011:15), menurutnya kepemimpinan yaitu suatu kegiatan untuk mempengaruhi orang agar bekerja secara suka rela tanpa adanya paksaan untuk mencapai tujuan bersama. Tanpa ada unsur tersebut kepemimpinan tidak akan berjalan dengan semestinya.

Dalam motivasi menurut Merle J. Moskowits, yaitu seorang pemimpin harus memperhatikan dua aspek. (1) aspek aktif, merupakan sebuah motivasi sebagai usaha yang positif dalam menggerakan dan mengarahkan sumber daya manusia secara produktif supaya berhasil mencapai tujuan yang diinginkan. (2) aspek pasif/statis, yaitu motivasi sebagai kebutuhan dan sekaligus sebagai perangsang untuk dapat memberi arahan dan gerakan potensi sumber daya manusia pada tujuan yang diinginkan. (Hasibuan. 2001 : 220). Dari dua aspek tersebut maka motivasi sangatlah diperlukan dalam rangka mencapai suatu tujuan.

Menurut pendapat (Munir dan Wahyu Ilahi, 2012 : 141), motivasi merupakan suatu proses psikolog yang menggambarkan suatu interaksi antar sikap, kebutuhan, persepsi, dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang. Dalam hal ini ada fakto- faktor yang menjadi sebab terjadinya motivasi dalam suatu organisasi, yaitu :

  1. Proses interaksi kerja antara pimpinan dan bawahan
  2. Terjadinya suatu interaksi antara bawahan dan orang lain yang diperhatikan, diarahkan, dibina, dan dikembangkan
  3. Perilaku yang dilakukan oleh para anggota sesuai dengan sistem nilai, atau aturan yang berlaku di organisasi yang bersangkutan.
  4. Perbedaan perilaku yang ditampilkan oleh para anggota dengan latar belakang dan dorongan yang berbeda-beda.

Dalam hal ini peneliti mengkhususkan penelitiannya pada pengurus ma’had aly putri agar memudahkan untuk menyelesaikan penelitiannya, dan memudahkan juga untuk berkomunikasi dengan sesama jenis.

G. Pesantren Ma’had Aly Maslakul Huda Putri

Selama kurang lebih dari 1 abad Pesantren Maslakul Huda (PMH) merupakan salah satu pesantren tua di Indonesia yang mana telah mendirikan pendidikan pesantren dasar dan menengah. Sebagai bentuk ikhtiar pengembangan pendidikan, dalam beberapa tahun terakhir ini tepatnya pada tahun 2011 PMH telah mendirikan pendidikan pesantren lanjutan dalam bidang spesifikasi keilmuan ushul fiqh di bawah nama “Pesantren Maslakul Huda li al-Takhashsus fi Ushul al-Fiqh”.Takhashus ini didirikan bagi santri yang sudah tamat Aliyah dan memiliki niat kuat dan pasti untuk mengambil spesifikasi keilmuan fiqh dan ushul fiqh.

Pilihan spesifikasi keilmuan ushul fiqh ini sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru karena dalam beberapa kesempatan beliau Kiyai Sahal sebagai pengasuh Pesantren Maslakul Huda waktu itu beliau sudah memulai berbagai macam kajian ushul fiqh, spesifikasi yang selama ini menjadi identitas beliau Kiyai Sahal dengan terminologi yang lebih dikenal dengan Fiqh Sosial. Maka ketika “PMA nomor 17 tahun 2015”tentang Ma’had Aly ditetapkan, PMH yang dengan berbagai modifikasi kurikulum dan kelembagaan mentransformasi Takhashus Ushul Fiqh menjadi Ma’had Aly fi ushul al-Fiqh.

Bagi PMH, Ma’had Aly sebagai wujud pelembagaan sistematik tradisi intelektual pesantren lanjutan atau tingkat tinggi yang bertujuan untuk keberlangsungan pesantren sendiri dengan tumpuan pada tradisi intelektual tingkat tinggi, termasuk juga pengembangan ilmu pengetahuan dan transformasi sosial di kehidupan masyarakat, melalui pendekatan ini santri diharapkan bukan hanya menjadi pribadi yang ideal bagi dirinya sendiri akan tetapi juga mempunyai kepekaan dan keterampilan sosial yang dibutuhkan bagi kehidupan masyarakatnya.[6]

H. Organisasi Ma’had Aly Maslakul Huda

Ma’had Aly Pesantren Maslakul Huda fi Ushul al-Fiqh diresmikan pada tahun 2016, maka dari itu adanya suatu organisasi yang mewadahi semua aspirasi dan kegiatan mahasantri sangat diperlukan. Sebagai sebuah bentuk proses pendidikan, kegiatan dan organisasi kemahasantrian menjadi bagian integral yang tidak terpisahkan dari keseluruhan proses pendidikan yang dijalankan dalam sebuah perguruan tinggi.

Himpunan Santri Ma’had Aly Pesantren Maslakul Huda (HIMAM) adalah organisasi santri yang mewadahi aktivitas santri di Ma’had Aly. Organisasi ini dibentuk bertujuan untuk wahana dalam mengelola keorganisasian serta belajar mengembangkan keilmuan dan kecakapan yang menjadi tujuan Ma’had Aly Pesantren Maslakul Huda. yakni sebagaimana yang terdapat dalam visi misi HIMAM.

Dalam mensukseskan programnya, HIMAM selain pengurus harian juga dibantu oleh beberapa departemen yang mengurusi program kerja secara spesifik. Adapun beberapa departemen tersebut adalah:

  1. Departemen Pendidikan

Departemen ini mempunyai tujuan untuk mensukseskan beberapa program yang mengarah pada pengembangan santri baik wacana maupun kajian yang bersifat intelektual.

2. Departemen Sumber Daya Manusia (SDM)

Departemen ini mempunyai tujuan untuk mensukseskan beberapa program yang mengarah pada pengembangan sumber daya manusia baik yang bersifat soft skill  maupun hard skill yang berhubungan dengan kecakapan keulamaan.

3. Departemen Jurnalistik dan Media

Departemen ini mempunyai tujuan untuk mensukseskan beberapa program yang mengarah pada beberapa hal yang bersifat informatif maupun ekspresi santri dalam hal konteks jurnalistik dan media.

4. Departemen Rumah Tangga

Departemen ini mempunyai tujuan untuk mensukseskan beberapa program yang mengarah pada pengelolaan sarana prasarana yang dibutuhkan oleh para santri, agar terwujud situasi pembelajaran yang kondusif.[7]

I. Islam Wasathiyah

Istilah wasath (akar kata wasathiyah) diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yakni sebagai “moderat”. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merumuskan  pengertian“moderat” pada dua bentuk yakni: (1) selalu menghindari perilaku atau ungkapan yang ekstrem; (2) kecenderungan yang mengarah pada dimensi atau jalan tengah, mau mempertimbangkan pandangan pihak lain.40 Dalam pengertian tersebut makna moderat diposisikan sebagai penyeimbang neraca dari sisi ekstrim dan liberal pada sisi yang lain. Dalam hal ini tidak ada yang berlebihan ,melalaikan, melampaui batas dan mengurangi. Dalam hal ini makna wasathiyah yaitu mengikuti sikap yang lebih utama, sikap pertengahan, lebih baik dan lebih sempurna.[8]

Dalam penjelasan wasathiyah diimplementasikan dalam bentuk praktik amaliah individu, sebagai muslim wasathiyah harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Mengambil jalan tengah (at-tawassuth), merupakan pemahaman dan pengamalan yang tidak berlebih-lebihan dalam beragama(ifrath) dan mengurangi ajaran agama (tafrith).
  2. At-tawazun (berkeseimbangan) yaitu pemahaman dan pengamalan agama secara seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi, tegas dalam menyatakan prinsip yang dapat membedakan antara inhiraf (penyimpangan) dan ikhtilaf (perbedaan);
  3. Lurus dan tegas (i’tidal), merupakan penempatan yang sesuai dengan tempatnya dan melakukan hak dan memenuhi kewajiban secara proporsional;
  4. Toleransi (tasamuh),merupakan sebuah toleransi terhadap persoalan yang masuk dalam wilayah perbedaan atau ikhtilaf, bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda. At-tasamuh di artikan juga sebagai sikap toleran terhadap suatu perbedaan, baik dalam masalah keagamaan, terutama dalam hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiyah serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.[9]

J. Peran Pengurus dalam Menanamkan Nilai Wasathiyah

Wasathiyah merupakan sikap netral yang tidak memihak sana dan tidak memihak sini, jadi dalam pengambilan keputusan pun dia harus mempertimbangkan peluang dan ancaman, agar tetap netral dalam pengambilan keputusan berarti memang harus berdasarkan data kepengurusan dan dalam lingkungan sosial juga harus memakai konsep wasathiyah.[10]memakai konsep nilai-nilai tersebut menjadikan suatu kepengurusan itu dalam menyelesaikan masalah jadi sama rata tidak memihak satu sama lain.[11] Jadi, nilai-nilai wasathiyah sangat penting bagi pengurus kalau saja tidak menanamkan nilai-nilai wasathiyah bagaimana memutuskan suatu masalah yang mana mestinya harus diselesaikan dengan keadilan. [12]

K. Kesimpulan

Pentingnya peran pengurus dalam menanamkan nilai-nilai wasathiyah yang mana memutuskan suatu perkara itu dilakukan secara netral dan harus sama rata, supaya ketika sebagai pengurus yang telah mengamalkan konsep wasathiyah yang mana nantinya dalam pengambilan suatu keputusan tersebut apakah nantinya akan berdampak bagi orang-orang yang diurus itu memberikan kemanfaatan bukan memberikan kemudharatan dikemudian hari, dalam lingkungan sehari-hari dengan adanya bersikap wasathiyah bisa merangkul semua tidak membeda-bedakan satu sama lain. Jadi ketika mengambil keputusan pun harus mempertimbangkannya dan juga harus dimusyawarahkan bersama.

 

[1] Dr. H. Abdul Qodir, “Sejarah Pendidikan Islam, “ (Bandung : Pustaka Setia, 2015) hal. 149

[2] Thohirin, “Psikologi Pembelajaran Pendidikan Islam Berbasis Integrase dan kompetensi,” (Jakarta : raja Grafindo Persada, 2014),hal. 11

[3] Imelda Wahyuni, Pendidikan Islam Masa Pra Islam Di Indonesia, Jurnal Al – Ta’dib, no. 2 (2013):4

[4] M. Zanuddin, Muhammad In’Am Esha “ Islam Moderat, Konsepsi, Interpretasi dan Aksi, “ (Malang : UIN maliki Press, 2016), hal. 60

[5] Mohammad Hasan “ ISLAM WASATIYAH DI KALANGAN ULAMA NU NUSANTARA (Studi Pemikiran KH. Hasyim Asy’Ari dan KH. Ahmad Dahlan dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam Di Indonesia) (Suarabaya : PASCA SARJANA UIN SUNAN AMPEL, 2018) hal. 15

[6] https://www.mahally.ac.id/

[7] https://www.mahally.ac.id/

[8] Agus Zaenul Fitri, Pendidikan Islam wasathiyah : Melawan Arus Pemikiran Tafrikhi di Nusantara, (jurnal kuriositas Edisi 7,vol.1, 2015), hal. 47

[9] Afrizal Nur dan Mukhlis Lubis, Konsep wasathiyah dalam Al-Quran, studi Komparatif antara Tafsir Al-Tahrir wa At-Tanwir dan Aisar  At-Tafasir, (jurnal An-Nur, vol. 4 No. 2,2015), hal 207.

[10] Wawancara dengan ima Nur diana, 26 februari 2023,20.00 wib. Asrama putri ma’had aly maslakul Huda putri

[11] Wawancara dengan farah rizqiyanah, 26 februari 2023,20.15 wib. Asrama putri ma’had aly maslakul Huda putri

[12] Wawancara dengan sofiyatun ni’mah, 26 februari 2023,19.45 wib. Asrama putri ma’had aly maslakul Huda putri

Husnu Amalia,

Santri Ma’had Aly Pesantren Maslakul Huda semester 4

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *