PROSPEK PERGURUAN TINGGI DI PESANTREN (TANTANGAN DAN HARAPAN) KH. MA. SAHAL MAHFUDH

PROSPEK PERGURUAN TINGGI DI PESANTREN

(TANTANGAN DAN HARAPAN) *)

Oleh : KH. MA. SAHAL MAHFUDH

  1. PENDAHULUAN

Paling  tidak pada tahap 25 tahun yang akan datang, tahap dimana bangsa Indonesia memasuki era pembangunan jangka panjang ke II akan tiba suatu masa yang penuh tantangan, meskipun bersamaan dengan itu juga merupakan masa yang menjanjikan harapan-harapan yang belum dapat dipastikan akibat perkembangan-perkembangan segala aspek kehidupan yang saling mempengaruhi. Tantangan-tantangan itu antara lain masalah tenaga kerja, kemiskinan, dampak globalisasi ekonomi dan kultur, dampak kemajuan IPTEK, partisipasi pendidikan, perubahan etika sosial dan moral keagamaan dan masih menonjolnya dualisme antara sektor modern dan sektor tradisional, meskipun proses indutrialisasi sudah berjalan, dimana hal ini berakibat, bahwa kemakmuran di pedesaan mengalami pertumbuhan yang lamban dan tidak seimbang dengan tuntutan yang semakin meningkat.

                Berat dan ringannya suatu tantangan akan berimplikasi langsung terhadap kepastian dan tidaknya suatu harapan. Karena harapan-harapan yang dirumuskan tanpa memperhitungkan potensi dan tantangan akan bermuara, bahwa yang pasti adalah ketidak pastian. Sebaliknya, menganalisis simpul-simpul tantangan masa depan tanpa didukung oleh potensi dan optimistik atas harapan-harapan, hanya akan melemahkan etos kerja atau malahan menimbulkan keputus asaan dan sikap fatalistik atau paling tidak akan lebih melestarikan rutinitas-rutinitas yang kurang menguntungkan.

[button color=”” size=”” type=”square_outlined” target=”” link=””]Berat dan ringannya suatu tantangan akan berimplikasi langsung terhadap kepastian dan tidaknya suatu harapan. Karena harapan-harapan yang dirumuskan tanpa memperhitungkan potensi dan tantangan akan bermuara, bahwa yang pasti adalah ketidak pastian. Sebaliknya, menganalisis simpul-simpul tantangan masa depan tanpa didukung oleh potensi dan optimistik atas harapan-harapan, hanya akan melemahkan etos kerja atau malahan menimbulkan keputus asaan dan sikap fatalistik atau paling tidak akan lebih melestarikan rutinitas-rutinitas yang kurang menguntungkan.[/button]

                Menganalisis tantangan masa depan dalam konteks merencanakan harapan memang merupakan suatu keharusan dalam suatu bahasan tentang prospek sesuatu. Tetapi tidak berarti hanya dengan menganalisis tantangan tersebut prospek itu bisa diantisipasi secara jelas. Apalagi bila yang dibahas itu adalah prospek perguruan tinggi di lingkungan pesantren. Permasalahannya akan menjadi kompleks dan mempunyai implikasi yang sangat luas, mengingat bahwa perguruan tinggi merupakan institusi kependidikan yang tinggi yang selalu dipengaruhi dan mempengaruhi aspek-aspek sosial yang selalu dan terus menerus mengalami perubahan, baik perubahan yang direncanakan maupun perubahan alami sebagai dampak dari suatu kebijakan atau program yang direncanakan. Lebih dari itu, bila pembahasan dikhususkan pada keberadaan perguruan tinggi di pesantren permasalahannya akan menjadi rumit, mengingat pesanten itu sendiri juga merupakan institusi kepedidikan yang mempunyai prospek yang bisa berbeda sama sekali. Karena perbedaan visi dan posisi kedua institusi kependidikan sangat mempengaruhi pola, sistem dan pandangan hidup masing-masing yang pada gilirannya juga mengacu kepada prospeknya.

  1. PESANTREN DAN PERGURUAN TINGGI

Perbedaan watak antara perguruan tinggi dan  pesantren sebagai lembaga kependidikan perlu difahami secara lebih jauh untuk kemudian dijadikan bahan-bahan dasar dalam konsep keterpaduan antara unsur-unsur perbedaan itu. Ketepaduan itulah yang pada dasarnya akan menentukan prospektif keberadaan perguruan tinggi di pesantren. Karena bila tidak ada keterpaduan, maka pengaruh perguruan tinggi akan lebih mendominasi kehidupan pesantren yang mungkin akan berakibat terjadinya krisis identitas atau malahan hilangnya identitas pesantren.

Pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin, sebagai lembaga tarbiyah, sebagai lembaga sosial, sebagai gerakan kebudayaan dan bahkan sebagai kekuatan politik meskipun sampai sekarang masih disebut orang sebagai lembaga tradisional, mempunyai ciri-ciri dan watak yang berbeda dengan lembaga-lembaga lainnya, termsuk perguruan tinggi.

Landasan filosofis pesantren adalah teologi dan religiusitas yang berposisi substansial dan bersifat keseluruhan. Sedangkan perguruan tinggi cenderung pada pragmatisme dan alienasi keduniawiaan, sementara itu ia menempatkan teologi dan religiusitas pada posisi instrumental dan merupakan bagian saja. Bila perguruan tinggi aksentuasinya lebih pada pengajaran, maka pesantren aksentuasinya lebih pada pendidikan. Bila perguruan tinggi berorientasi langsung pada lapangan kerja sesuai pesanan industri atau paling tidak mengantisipasi keperluan industrialisme, dimana hal ini memang merupakan potensi dan kekuatan dari sudut kemudahan karier, tetapi sekaligus merupakan kelemahan dari sudut konsumtifisme mental, daya juang dan kreatifitas menciptakan lapangan kerja, maka sebaiknya pesantren tidak berorientasi langsung pada lapangan kerja. Hal ini memang merupakan kelemahan dipandang dari sudut bahwa ia tidak menjanjikan masa depan yang cerah, tetapi hal itu juga merupakan potensi dari sudut penumbuhan etos kerja, kemandirian dan penciptaan lapangan kerja.

Pesantren, disamping merupakan lembaga pendidikan dan keilmuan, ia sekaligus juga merupakan lembaga moral. Ilmu di pesantren mengacu pada pembentukan moral dan akhlaq karimah. Seluruh proses belajar para santri berpusat pada pengenalan, pengakuan, kesadaran dan keagungan Allah SWT dan akhlaq karimah; yang terkait secara dialektis, kohesif dan terus menerus dengan seluruh mekanisme belajar para santri. ini semua berbeda denga perguruan tinggi yang membatasi diri sebagai institusi keilmuan dan intelektual, dan tidak bertanggung jawab langsung dalam soal moral. Dosen tidak berkewajiban terhadap urusan akhlaq, kecuali sekedar sebagai komitmen pribadi atau etika sosial dalam arti umum. Mahasiswa hanya didorong secara terencana untuk menjadi orang pandai dan intelek. Atau malahan hanya menjadi orang hafal, karena kelulusan ujiannya banyak ditentukan oleh sejauh mana ia menghafal literatur, bahan kuliah dan referensi yang diwajibkan. Perguruan tinggi memberikan kebebasan atau demokrasi ilmiah untuk mengakui, menyadari dan menghayati atau tidak, terhadap keagungan Allah dan akhlaq karimah.

  • PROSPEK PERGURUAN TINGGI DI PESANTREN

Di Indonesia gerakan ilmiah Islam banyak dipengaruhi oleh politik halus koloni Belanda yang menyudutkan kaum Muslimin ke arah satu sudut pandang yang hanya menitik tekankan pada kehidupan ukhrowi. Akibatnya ialah bahwa dinamisasi keilmuan hanya berkisar pada ulumus Syari’ah dan tashawuf yang ditandai dengan munculnya karya-karya Ulama’ Indonesia dari yang paling kecil sampai yang berjilid-jilid. Sedang dari sisi lain mengalami kemandegan dengan alasan bahwa ilmu-ilmu itu semata-mata urusan duniawi. Mungkin dari sini mulai muncul dikotomi antara ulumuddin dan ulumuddunia, sampai-sampai antara madrasah dan sekolah, antara kitab dan buku pun harus dibedakan.

Tafaqquh fiddin difahami secara sempit dan terbatas pada apa yang dimaksud ulumuddin. Pemahaman ini secara eksklusif tidak pernah dikorelasikan dengan ADDIN itu sendiri secara utuh, meskipun secara terpisah pula Addin itu telah difahami sebagai ketentuan-ketentuan Ilahi yang mendorong siapapun yang berakal sehat ke arah sesuatu yang baik bagi mereka di dunia dan di akhirat.

Bila Addin difahami seperti diatas, maka berarti bahwa ulumuddin secara luas adalah ilmu-ilmu yang mempunyai kaitan langsung atau tidak langsung dengan wadla’ Ilahi yang mempunyai ciri tersebut baik yang menyangkut urusan duniawi maupun yang berhubungan dengan urusan ukhrowi. Kemudian bila wadla’ Ilahi itu mendorong bagi para pemikir ke arah pencapaian sesuatu yang baik di dunia atau di akhirat mereka, maka mengapa dalam kontek ilmu-ilmu yang berwatak duniawi lalu diisolasikan dari klsifikasi ulumuddin. Akibatnya dinamika ilmiah dalam Islam cenderung lemah atau  malah mandeg.

        Kemandegan dinamika ilmiah itu tampaknya mulai dicoba untuk digerakkan ketika di Indonesia muncul Perguruan Tinggi Agama Islam baik negeri mauppun swasta. Malah ketika awal-awal kemerdekaan pun sudah ada upaya menggerakkan kembali dengan menambah mata pelajaran umum di madrasah-madrasah meskipun masih dengan sikap dikotomis seperti diatas. Dari pihak Pemerintah menurunkan proyek MWB (Madrasah Wajib Belajar) dilengkapi dengan UGA (Ujian Guru Agama), kemudian ada penegerian madrasah dan terakhir ada SKB Tiga Menteri. Semua itu merupakan upaya penyambungan mata rantai dinamika keilmuan dalma Islam yang sekarang ini sudah saatnya untuk dievaluasi sejauh mana perkembangan dinamika keilmuan tersebut dapat memantapkan risalah Islamiah.

        Pengembangan dinamika tersebut merupakan jawaban atas tantangan-tantangan yang muncul akibat adanya arus globalisasi dalam berbagai aspek kehidupan. Pada gilirannya dikotomi ilmu dan sikap ambivalen dari sebagian umat Islam akan makin berkurang kalau tidak bisa hilang sama sekali. Dampak lebih jauh dari dinamika itu ialah integritas intelektual yang tentu saja menuntut sikap keterbukaan dari semua kaum intelektual dan Ulama’ yang difahami atas adanya kekurangan disatu pihak dan kelebihan dipihak lain.

Sikap keterbukaan ini menuntut keberanian Ulama’ maupun kaum intelektual Muslim untuk tidak hanya melakukan saling memberikan kritik  yang membangun, tetapi juga melakukan kritik diri. Karena kritik diri adalah bagian tak terpisahkan dari unsur-unsur dinamika ilmiah yang akan ditumbuh kembangkan. Dalam hal ini kajian ulumuddin baik yag menyangkut substansinya maupun epistemologinya tidak lepas dari kajian kritis tentang transformasi sosial yang selalu mempengaruhi suatu pengembangan dinamika ilmiah itu. Ini berarti bahwa pengembangan dinamika keilmuan dalam Islam mempunyai implikasi yang luas dengan setiap perubahan yang terjadi sehingga ilmu-ilmu itu tidak akan kehilangan relevansinya dan kontekstualisasinya dengan berbagai aspek kehidupan.

Proses pengembangan yang terjadi di Indonesia telah mempengaruhi perubahan diberbagai bidang kehidupan masyarakat, baik sosial, ekonomi, politik, budaya maupun nilai dan wawasan. Perubahan yang terjadi secara terakselerasi menuntut kelenturan berfikir, daya suai intelektual yang besar, keterbukaan dalam tata hidup yang manusiawi dan sikap kritis serta dinamis.

Perubahan mendasar yang terjadi adalah kecenderungan memisahkan atau mengasingkan aspek normatif akibat pola pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Alienasi antara keduanya itu tercermin pada gerakan dan kelembagaan keagamaan yang tidak menyatu dengan dan pada aktivitas kelembagaan ekonomi yang membentuk nilai dan norma ekonomis. Akibatnya gerakan ekonomi itu berhadapan dengan sistem nilai normatif yang berarti bahwa gerakan ekonomi itu berjalan bebas tanpa nilai dan menumbuhkan sikap kompetitif yang bila tidak dikendalikan oleh aspek normatif akan cenderung kearah individualisme, materialisme dan konsumerisme yang semua ini justru bertentangan dengan ajaran Islamdan Pancasila juga.

Dalam hal ini prospek perguruan tinggi di Pesantren dalam upaya mengembangkan dinamika keilmuan dalam Islam dituntut kemampuannya mengaktualisasikan dirinya di tengah-tengah masyarakat yang selalu menuntut kelumintuan inovasi disegala bidang. Ini bebrarti pula bahwa pengembangan dinamika keilmuan itu harus mampu menjadi sarana pemandu transformasi sosial dan sekaligus sebagai sarana kontekstualisasi ajaran Islam dalam tata kehidupan masyarakat. Dan ini berarti pula bahwa pengembangan dinamika keilmuan Islam tidak saja difahami dari sisi kognitif, akan tetapi juga dari sisi afektif dan psikomotoriknya. Karena pengembangan yang difahami hanya dari sisi kognitif saja akan cenderung menciptakan semacam Vanderplas-Vanderplas Muslim yang ahli dibidang keilmuan Islam tetapi sama sekali tidak meyakini kebenaran ajaran Islam apalagi mengamalkannya.

Pada sisi lain perguruan tinggi di pesantren dalam rangka lebih berperan mengembangkan ajaran dan pendidikan Islam serta da’wah Islamiyah dituntut mampu membentuk masyarakat Islam secara integralistik antara aspek nilai normatif dan aspek ekonomi serta aspek positif lainnya secara utuh. Ini berarti memerlukan kajian integral tentang konsep pengembangan ekonomi yang lebih merupakan proses materialisasi dari aspek normatif yang inmaterial. Karena sumber daya manusia, alam, ilmu pengetahuan dan teknologi – sebagai aset ekonomi yang sangat penting – di negara-negara ekonomi maju sering mengakibatkan krisis norma dan nilai. Kemiskinan nilai normatif mendorong masyarakat ekonomi maju berpandangan, bahwa alam dan manusia ini dipandang bukan sebagai sahabat yang setia, tetapi sebagai hamba dan kawulo yang harus ditaklukan dan mau diperlakukan sewenang-sewenang, tanpa harus ada pertimbangan moral dan etika religi.

Disinilah perguruan tinggi di pesantren dituntut kemampuannya merumuskan konsep pengembangan ajaran Islam sebagai tatanan sosial bukan hanya sebagai lembaga legalistik hitam-putih.

Dalam hal ini kemampuan antisipatif dan keterbukaan akan mempermudah pergururan tinggi itu menjalankan peranannya. Keterbukaan akan menumbuhkan sikap lentur dan akomodatif.

Dan adalah benar, bahwa perguruan tinggi di pesantren menentang eksistensinya sendiri bila di satu sisi menerima tugas sebagai pelopor perubahan sosial untuk menatap masa depan, sedangkan di lain sisi ia tertutup terhadap pembaharuan dan malah mencurigai masa depan. Dan adalah benar juga, bahwa perguruan tinggi di pesantren mengingkari misinya apabila ia menerima dan mengemban tugas mendidik generasi muda sebagai potensi penerus perjuangan Islam, dengan jalan memprogram mereka mencerna dan hanya mengawetkan nilai-nilai kehidupan yang sudah kehilangan relevansi aktualnya, sementara di luar lembaga itu terjadi berbagai perubahan yang sangat serius dan dahsyat dalam hampir semua bidang kehidupan.

Kemampuan perguruan tinggi di pesantren berperan seperti diatas berarti melestarikan sekaligus mengembangkan eksistensinya di tengah-tengah era globalilasi ini dan dengan demikian perguruan tinggi di pesantren tidak akan diposisikan pada ruang isolatif karena mampu menjadi bagian penting yang tak terpisahkan dari komunitas Nasional dan akhirnya terlepas dari posisi marginal.          [button color=”” size=”” type=”” target=”” link=””]Kemampuan perguruan tinggi di pesantren berperan seperti diatas berarti melestarikan sekaligus mengembangkan eksistensinya di tengah-tengah era globalilasi ini dan dengan demikian perguruan tinggi di pesantren tidak akan diposisikan pada ruang isolatif karena mampu menjadi bagian penting yang tak terpisahkan dari komunitas Nasional dan akhirnya terlepas dari posisi marginal.[/button]

  1. PENUTUP

                Perguruan tinggi di pesantren dalam prospeknya seperti di atas diharapkan lebih mengembangkan dinamika keilmuan dan kepekaan sosial para santri serta mengembangkan metodologi di pesantren yang sholih agar menjadi ashlah sehingga mereka mampu mengantisipasi dan menganalisis segala perubahan yang sedang dan akan terjadi. Pada gilirannya para santri akan menjadi manusia yang berkepribadian akrom dan sholeh dan secara fungsional mereka menjadi manusia yang qowiyun dan aminun; yang mempunyai quwwah dan potensi diri yang cukup tetapi sekaligus mempunyai amanah, dapat dipercaya, jujur dan melaksanakan amanat Allah maupun masyarakat. Atau, kalau mereka menjadi Ulama’ merekapun faqihun fi mashalihil khalqi sebagai salah satu identitas Ulama’ menurut imam Ghozali.

                Namun di samping itu, perguruan tinggi di pesantren harus mau dan mampu menyerap secara utuh ciri-ciri dan karakteristik pesantren seperti di atas, sehingga ia mampu memproduk sumberdaya manusia muslim yang mampu berintegrasi dengan segala aspek kehidupan yang mengglobal, tetapi mempunyai pertimbangan nilai idealistik trasendental dan lebih dari itu mereka menjadi manusia intelek yang berwatak kesantrian. Ini berarti, bahwa perguruan tinggi di pesantren dituntut mampu mengembangkan kependidikan Islam disamping keilmuan Islam seperti diatas.

                Pendidikan, bila difahami sebagai suatu tindakan sadar untuk membentuk watak dan tingkah laku sistematik, terencana dan terarah, maka pendidikan agama Islam harus merupakan proses interaksi dari pendidik, peserta didik dan lingkungan yang mengarah terbenuknya karakter Islami pada peserta didik, yang kemudian memotori sikap dan perilaku yang sarat dengan nilai-nilai Islami. Dengan kata lain, pendidikan Islam seharusnya bisa mengembangkan kualitas keberagamaan Islam, baik yang bersifat afektif, kognitif maupun psikomotorik. Pada gilirannya pendidikan Islam merupakan sarana pengembangan kepribadian muslim Indonesia yag sedang menghadapi berbagai bentuk transformasi, muslim yang berkepribadian Islam yang meletakkan keimanan dan ketaqwaan di atas segalanya dalam berbagai komunitas yang digumuli, muslim yang mampu hidup di tengah-tengah masyarakat industrial yang didominasi oleh kesadaran teknokratik yang tinggi yang memandang IPTEK sebagai juru selamat, namun ia masih meyakini adanya kekuatan transendental yang mengalahkan segala kekuatan yang lain.

Pada gilirannya pendidikan Islam merupakan sarana pengembangan kepribadian muslim Indonesia yag sedang menghadapi berbagai bentuk transformasi, muslim yang berkepribadian Islam yang meletakkan keimanan dan ketaqwaan di atas segalanya dalam berbagai komunitas yang digumuli, muslim yang mampu hidup di tengah-tengah masyarakat industrial yang didominasi oleh kesadaran teknokratik yang tinggi yang memandang IPTEK sebagai juru selamat, namun ia masih meyakini adanya kekuatan transendental yang mengalahkan segala kekuatan yang lain.

[button color=”” size=”” type=”” target=”” link=””]

Sumber: Kumpulan Makalah KH. MA. Sahal Mahfudh; Pesantren dan Pendidikan. Ditulis di Pati, 14 Januari 1993.

Disampaikan di STIT Pesantren Qomaruddin Gresik, 18 Januari 1993.

[/button]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *