Dalam membangun keluarga yang selaras dengan tujuan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), kematangan fisik dan mental menjadi faktor utama. Meskipun Islam tidak secara khusus menentukan batas usia perkawinan, Islam memberikan tanda-tanda kedewasaan sebagai tolok ukur kesiapan menikah. Kedewasaan ini sangat penting, karena berbagai penelitian menunjukkan bahwa pernikahan di usia muda sering kali berujung pada tingginya angka perceraian serta menimbulkan risiko bagi perempuan dan anak-anak di masa depan. Kajian Kritis terhadap KHI (CLD) menilai bahwa KHI sebagai bagian dari hukum Islam perlu disesuaikan jika sudah tidak lagi mampu menjawab tantangan zaman. Salah satu perubahan yang diusulkan adalah penyesuaian usia perkawinan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor-faktor yang melatarbelakangi penetapan usia perkawinan dalam KHI dan CLD serta menilai relevansi keduanya dalam mencapai tujuan perkawinan, yaitu membangun keluarga yang harmonis, penuh kasih sayang, dan sejahtera.[1]
Batas usia pernikahan dalam hukum perkawinan Islam di Indonesia masih perlu dikaji ulang. Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) menetapkan usia minimal pernikahan, yaitu 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Sementara itu, UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa seseorang yang belum berusia 18 tahun masih dikategorikan sebagai anak. Perbedaan batasan usia dalam kedua aturan tersebut menunjukkan ketidakkonsistenan dalam penentuan usia pernikahan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis batas usia pernikahan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia serta meninjaunya dari perspektif sadd al-dzari’ah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI memiliki batas usia pernikahan yang sama, yaitu 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, sedangkan UU No. 35 Tahun 2014 menetapkan usia anak hingga 18 tahun; (2) Jika dilihat dari sudut pandang sadd al-dzari’ah, batas usia pernikahan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI masih lemah, sementara dalam UU No. 35 Tahun 2014 dianggap lebih kokoh.[2]
Ketentuan batas usia pernikahan menurut KHI seperti hal nya yang ada di dalam UU perkawinan pasal 7 ayat (1) yang berbunyi:[3]
“Perkawinan hanya di izinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak Perempuan sudah mencapai umur 16 tahun.”
Kemudian pada ayat berikutnya memperkuat syarat yang ada pada ayat sebelumnya. Pada pasal 15 ayat (2) KHI menyebutkan bahwa calon mempelai yang beklum berusia 21 tahun maka harus mendapat izin dari orang tua atau wali . Adapun pasal 15 ayat (2) KHI berbunyi:[4]
“Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagimana yang diatur dalam ppasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 1 tahun 1974.”
Tim CLD-KHI mengemukakan enam visi utama dalam hukum Islam yang diidealkan, yaitu pluralisme (ta’addudiyyah), kebangsaan (muwathanah), penghormatan terhadap hak asasi manusia (iqamat al-huquq al-insaniyyah), demokrasi (dimuqrathiyyah), kemaslahatan (mashlahat), dan kesetaraan gender (al-musawah al-jinsiyyah). Prinsip-prinsip dasar ini menjadi landasan yang membentuk seluruh ketentuan hukum Islam dalam perspektif CLD-KHI.[5] Batas usia perkawinan dalam KHI dapat ditinjau kembali dan disesuaikan karena hukum yang bersifat ijtihadiyyah selalu berkembang. Oleh sebab itu, CLD-KHI mengusulkan perubahan pada Pasal 15 KHI. Sekitar tahun 2004, aturan mengenai usia minimal perkawinan kembali diperdebatkan. Pada saat itu, CLD-KHI mengajukan revisi agar batas usia minimal perkawinan dinaikkan, dari 16 menjadi 19 tahun untuk perempuan, dan dari 19 menjadi 21 tahun untuk laki-laki.[6]
Usulan perubahan batas minimal usia perkawinan yang diajukan CLD-KHI sejalan dengan ketentuan dalam RUU Undang-Undang Perkawinan (RUU-UUP). Pada tahun 2010, Kompilasi Hukum Islam dengan sejumlah gagasan baru diajukan sebagai RUU Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama. Namun, hingga kini, revisi mengenai batas usia perkawinan tersebut belum juga disahkan. Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, batas usia minimal untuk menikah sudah diatur dengan jelas, yaitu 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Secara bahasa, menurut penyusun, Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan memiliki tujuan utama untuk menetapkan batas usia minimal seseorang boleh menikah. Sementara itu, ayat (2) mengantisipasi kemungkinan adanya pengecualian terhadap aturan ini. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa jika terjadi penyimpangan dari batas usia yang telah ditetapkan, kedua orang tua calon pengantin dapat mengajukan dispensasi kepada pengadilan atau pejabat berwenang lainnya.[7]
[1] RIYANTO, Batas minimal usia nikah (Studi komparatif antara inpres No.1 Tahun 1991 Tenntang kompilasi hukum islam (KHI) dan counter legal draft (CLD). ( Skrpsi 2010 ),
https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/3569
[2] Hilda Fentiningrum, Batasan usia pernikahan dalam perundang-undangan di Indonesia perspektif sadd Al- Dhari’ah
[3] Undang-Undang Republik Indonesia, Pasal 7, Nomor 1, Tahun 1974, Tentang perkawinan, Bab syarat-syarat perkawinan
[4] Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dkk, “Kompilasi hukum islam di Indonesia”, tahun 2018 (Selasa, 04 Februari, 00.18)
[5] Marzuki Wahid, “Fiqh Indonesia”, (Bandung: cetakan 1, April 2014), hlm. 213
[6] Lihat CLD KHI Paasal 7, No.16, Tahun 2019, Tentang perkawinan
[7] Khoirudin Nasution, “Hukum perdata (keluarga) islam Indonesia dan perbandingan hukum perkawinan di dunia muslim”: studi Sejarah, Metode pembaharuan dan materi, (Yogyakarta: Academia dan Tazzafa, 2009), hal 379