TINJAUAN FIQIH TERHADAP BARANG TEMUAN

Kolom Santri203 Dilihat

Pendahuluan

            Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang tidak jarang menemukan barang yang tercecer atau terjatuh di tempat umum. Barang seperti ini, dalam istilah fiqh disebut sebagai Luqathah.

Definisi Luqathah

            Merujuk pada penjelasan Dr Mustafa Al-Khin dkk, secara estimologis, luqathah berarti barang yang ditemukan. Sementara dalam istilah syari’at, luqathah adalah harta atau ikhtisash yang muhtaram (sesuatu yang terjaga kehormatannya) yang ditemukan di tempat semestinya, dan pemiliknya tidak diketahui. Harta ini bisa berupa uang, barang berharga, atau benda lain yang memiliki nilai menurut syari’at. (dikutip dari NU online).

            Islam sebagai agama yang sempurna tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, tetapi juga hubungan antar sesama manusia, termasuk bagaimana memperlakukan barang temuan. Hal ini bertujuan untuk menjaga hak kepemilikan dan mencegah terjadinya kedzaliman.

Pembahasan

Ketentuan fiqih dalam mengelola barang temuan

            Dalam Islam, mengambil barang temuan memiliki lima hukum yang berbeda, tergantung pada kondisi barang dan orang yang menemukannya. Hukum-hukum ini meliputi wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram, masing-masing dengan ketentuan tersendiri. Berikut perinciannya:

Sunah, yaitu jika seseorang yakin bahwa dirinya amanah (dapat dipercaya) dan khawatir barang tersebut akan hilang jika dibiarkan. Ia disunnahkan untuk mengambilnya demi menjaganya.

Mubah, yaitu jika tidak ada kekhawatiran barang itu akan hilang. Mengambil atau membiarkannya sama-sama diperbolehkan.

Wajib, yaitu jika barang tersebut berisiko hilang dan tidak ada orang lain yang dapat dipercaya di tempat tersebut, maka wajib mengambilnya karena menjaganya adalah kewajiban.

Makruh, jika seseorang ragu akan kejujurannya di masa depan dan khawatir tergoda untuk menggunakannya secara tidak sah, maka mengambilnya hukumnya makruh.

Haram, jika seseorang tahu bahwa dirinya tidak amanah dan pasti akan menggunakannya untuk kepentingan pribadi tanpa niat mengembalikannya kepada pemiliknya. Haram baginya untuk mengambilnya. (Al-Khin, dkk, VII/101)

            Fiqh juga membedakan antara barang bernilai tinggi dan barang yang tidak seberapa nilainya. Jika barang tersebut tidak memiliki nilai yang berarti (seperti sehelai kertas atau benda rusak), maka tidak perlu diumumkan dan boleh langsung diambil oleh penemu. Dan kalaupun si penemu tidak mengambilnya, maka jika terjadi kerusakan pada barang tersebut, si penemu tidak memiliki tanggung jawab atas kerusakan itu. Hal ini terjadi karena kewajiban dhaman (tanggung jawab ganti rugi) hanya berlaku ketika seseorang telah menguasai barang tersebut atau menyebabkan kerusakannya.

Kesimpulan

            Islam mengajarkan barang temuan yang ditemukan oleh orang lain tidak langsung diambil begitu saja, tetapi ada proses sebelum barang itu bisa dimanfaatkan oleh sang penemu, adapun prosesnya yaitu mengumumkan selama satu tahun agar pemiliknya bisa mengambil kembali. Jika setelah satu tahun tidak ada yang mengambil, maka penemu boleh memanfaatkannya, tapi harus tetap siap untuk mengembalikannya jika sewaktu-waktu pemilik datang.

            Aturan ini bertujuan agar hak orang lain tetap terjaga dan tidak terjadi kedzaliman. Dalam kehidupan di era sekarang, prinsip ini masih sangat relevan, hingga bahkan bisa digabungkan dengan aturan negara, seperti melapor ke polisi atau pihak keamanan lainnya.

            Intinya, Islam mengajarkan kita agar lebih jujur, amanah, dan bertanggung jawab terhadap barang milik orang lain, termasuk saat menemukannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *