Urgensi Partisipasi Pria dalam Program KB Prespektif Maqasid Syariah

Kolom Santri410 Dilihat

Keluarga berencana adalah usaha menolong individu atau pasangan antara lain untuk mencegah terjadinya kelahiran yang tidak dikehendaki atau sebaliknya bagi pasangan yang menginginkan anak, mengatur interval waktu kehamilan, mengontrol waktu kelahiran berhubungan dengan usia orang tua, menentukan jumlah anak dalam keluarga (Anggraini & Martini,2012 ).

Program Keluarga Berencana yang diatur dalam UU No. 10/1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera merupakan strategi pemerintah.  untuk mengelola dinamika kependudukan dan membangun keluarga yang berkualitas.

Sebagai instrumen kebijakan, KB membantu pemerintah menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan populasi dengan kapasitas sumber daya yang tersedia. Implementasi program ini didukung oleh berbagai pilihan metode kontrasepsi modern seperti pil pencegah kehamilan, pengaman, alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR/IUD), dan metode lainnya sebagai instrumen utama untuk merealisasikan target program.​​​​​​​​​​​​​​​​

Meskipun program KB telah memiliki landasan kebijakan yang komprehensif, dalam implementasinya masih terdapat tantangan signifikan terkait kesetaraan gender. Program KB seringkali mengarahkan fokus utamanya kepada perempuan, sehingga memunculkan presepsi  bahwa KB dianggap sebagai tanggung jawab utama kaum perempuan. Ketimpangan ini tercermin jelas dalam data statistik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2020 yang mencatat bahwa hanya 3,12 persen laki-laki Indonesia menggunakan kondom dan 0,5 persen yang melakukan vasektomi untuk program keluarga berencana (KB). Hal ini kontras dengan data Susenas yang menunjukkan bahwa pada tahun 2020 terdapat peningkatan jumlah pengguna KB pada perempuan sebesar 31,2 persen dari 49,25 juta perempuan menikah atau sekitar 15,37 juta perempuan.

Rendahnya partisipasi pria dalam program KB ini menunjukkan adanya kesenjangan yang perlu diatasi KB bagi pria merupakan topik yang masih relatif tabu di Indonesia, padahal KB untuk pria tidak hanya terbatas pada kondom dan vasektomi, secara medis sudah tersedia berbagai metode, baik melalui hormonal maupun nonhormonal. Kondisi ini menuntut adanya transformasi pendekatan program KB yang lebih inklusif dan berkeadilan gender.

#Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Pria

  1. Stigma sosial dan budaya patriarki

Sistem patriarki dalam keluarga menciptakan persepsi bahwa tugas alamiah perempuan meliputi perawatan anak, tanggung jawab pendidikan, dan keputusan terkait kontrasepsi. Masyarakat umum seringkali keliru membedakan antara konstruksi sosial dengan kodrat alamiah. Yang mana menekankan bahwa perempuan, karena mengalami kehamilan dan persalinan, menjadi pihak yang bertanggung jawab menggunakan kontrasepsi. yang diperkuat oleh ketersediaan alat kontrasepsi yang lebih banyak diperuntukkan bagi perempuan dibandingkan laki-laki. Di sisi lain, konstruksi maskulinitas tradisional menuntut pria untuk menunjukkan kejantanan melalui kemampuan reproduksi dan dominasi seksual. Stigma sosial yang melekat pada pria pengguna KB sangat kuat, seperti anggapan bahwa pria yang menggunakan alat kontrasepsi adalah pria yang “tidak perkasa” atau “dikuasai istri”. Bahkan dalam beberapa komunitas, keputusan pria untuk menggunakan KB dapat diinterpretasikan sebagai keraguan terhadap kesuburan atau kemampuan seksualnya.

  1. Kurang nya edukasi dan sosialisasi

Strategi komunikasi program KB selama ini sangat bias gender, dengan fokus utama pada perempuan melalui berbagai saluran seperti posyandu, arisan, pengajian ibu-ibu, dan organisasi perempuan. Pria jarang menjadi target langsung kampanye KB, sehingga pengetahuan mereka tentang metode kontrasepsi pria, efektivitas, efek samping, dan prosedur penggunaan sangat terbatas. Media massa dan materi edukasi KB juga cenderung menampilkan perempuan sebagai subjek utama, memperkuat persepsi bahwa KB adalah urusan perempuan. Dan kurangnya tokoh panutan atau role model pria yang secara terbuka mendukung program KB membuat pria kehilangan rujukan positif untuk mengubah persepsi mereka.

  1. Aspek psikologi dan kepercayaan personal

Ketakutan terhadap efek samping, terutama yang berkaitan dengan fungsi seksual dan maskulinitas, menjadi kekhawatiran utama pria. Mitos dan informasi yang salah tentang kontrasepsi pria, seperti anggapan bahwa vasektomi akan mengurangi gairah seks atau kondom akan mengurangi kenikmatan, masih beredar luas di masyarakat. Kurangnya komunikasi yang terbuka antara pasangan suami istri tentang perencanaan keluarga juga membuat pria tidak memahami pentingnya partisipasi mereka dalam program KB.

Akumulasi dari berbagai faktor ini menciptakan lingkaran setan yang menghambat peningkatan partisipasi pria dalam program KB dan memperpetuasi ketimpangan gender dalam tanggung jawab kesehatan reproduksi.

Kb pria dalam maqasid syariah

Islam menegaskan bahwa suami bertanggung jawab melindungi istri, termasuk dari bahaya medis. Sayangnya, masih banyak suami yang abai karena kurangnya pemahaman atau anggapan bahwa KB adalah urusan perempuan. Padahal, metode kontrasepsi pria sekarang justru lebih aman dalam beberapa kondisi dibandingkan resiko Kb pada perempuan yang lebih banyak dampak negatifnya. Dengan ber-KB, pria tidak hanya mencegah kehamilan berisiko, tetapi juga menjalankan perintah agama untuk menjaga nyawa istri.

perencanaan keluarga perlu mempertimbangkan keseimbangan antara aspek kuantitas dan kualitas keturunan, terutama dalam era modern saat ini, kompleksitas kehidupan yang meliputi tingginya biaya pendidikan, kebutuhan sandang pangan, serta tanggung jawab mempersiapkan masa depan anak baik secara duniawi maupun ukhrawi telah menjadikan pengasuhan anak sebagai tantangan yang semakin berat. Maka kondisi saat ini lebih menuntut fokus pada kualitas generasi untuk mengangkat harkat dan martabat setiap individu dalam keluarga, sehingga perencanaan keluarga yang didasarkan pada pertimbangan pendidikan, kesehatan, agama, dan ekonomi dengan prinsip menolak kesulitan hidup bagi seluruh anggota keluarga menjadi suatu keharusan, termasuk di dalamnya pengaturan kelahiran sebagai bagian integral dari upaya tersebut.

Dalam konteks ini, partisipasi aktif suami sebagai kepala keluarga menjadi sangat penting, mengingat perencanaan keluarga bukanlah tanggung jawab istri semata, melainkan keputusan bersama, dimana suami berperan tidak hanya sebagai pencari nafkah utama namun juga sebagai pengambil keputusan yang bijaksana dan supportif terhadap istri dalam menjalankan program keluarga berencana demi tercapainya tujuan keluarga yang berkualitas dan sejahtera.

Hal tersebut selaras dengan 5 prinsip maqasid syariah, yang menunjukkan bahwa KB bukan hanya urusan perempuan, tapi juga tanggung jawab pria.  Dengan berpartisipasi aktif, suami tidak hanya membantu istri secara fisik dan emosional, tetapi juga  menjalankan prinsip maqasid syariah, yakni dalam Hifdz nafs (menjaga jiwa), Hifdz al-Nasl (menjaga keturunan), Hifdz al-Mal (menjaga harta), Hifdz al-Din (menjaga agama), dan Hifdz al-Aql (menjaga akal).

Untuk itu, Sudah saatnya program KB di Indonesia  segera diubah dari yang hanya fokus pada perempuan menjadi program yang melibatkan pria secara setara. Selama ini perempuan dipaksa menanggung beban KB sendirian, padahal risiko dan dampak negatif dari penggunaan kontrasepsi pada perempuan jauh lebih tinggi dan berbahaya dibandingkan pada laki-laki. Hal ini bertentangan dengan prinsip bahwa perencanaan keluarga seharusnya menjadi kewajiban bersama antara suami dan istri. Ketimpangan ini menciptakan ketidakadilan dan menghambat pencapaian sasaran program KB.

Untuk mengubah keadaan ini, pemerintah harus serius membuat kebijakan yang mendorong pria ikut KB, menyediakan dana yang cukup, dan mengubah cara pandang masyarakat tentang peran pria dalam keluarga. Jika berhasil, program KB akan lebih adil bagi perempuan dan lebih efektif dalam mengatur jumlah penduduk. Program KB yang melibatkan pria bukan hanya soal berbagi tanggung jawab, tetapi juga membangun keluarga yang lebih baik dan mengatur pertumbuhan penduduk Indonesia dengan lebih optimal .

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *