Vasektomi sebagai Syarat Bantuan Sosial (Bansos) dalam Perspektif Mubadalah

Kolom Santri924 Dilihat

Pendahuluan

 Akhir-akhir ini, publik sedang menyorot salah satu kontroversi yang disampaikan oleh  Dedi Mulyadi seorang Gubernur Jawa Barat, tentang rencana kebijakan vasektomi sebagai syarat menerima bantuan sosial (bansos) masyarakat. Rencana tersebut berdasarkan upaya untuk  menekan angka kelahiran pada kaum prasejahtera, sebab banyaknya orang tua yang belum siap atau bahkan tidak sadar atas tanggung jawab dalam keluarga. Hal tersebut tentu mengundang banyak perdebatan dari berbagai kalangan, sebab berpotensi mendiskriminasi dan melanggar hak asasi manusia; bahkan Majelis Ulama Indonesia dalam fatwanya mengharamkan vasektomi, kecuali dalam kondisi tertentu. Dalam hal ini, pendekatan mubadalah (kesalingan) diperlukan untuk terciptanya kebijakan yang adil dan bertanggung jawab.

Vasektomi dan Rencana Kebijakan Bansos

Vasektomi merupakan salah satu metode kontrasepsi yang bersifat permenan bagi laki-laki yang dengannya dilakukan operasi kecil pada kantong zakar dengan cara menutup saluran spermanya,[1] namun seiring dengan berkembangnya teknologi, vasektomi dapat dilakukan rekanalisasi (operasi mikroskop) dengan cara menyambung saluran spermatozoa (vas deveren) yang walaupun dengannya tidak menjamin 100% fungsi saluran sperma kembali normal.

 Di Indonesia vasektomi diperkenalkan sejak tahun 1970-an, namun sampai saat ini vasektomi masih tidak begitu populer. Data World Contraceptive Use menunjukkan prevalensi vasektomi di Indonesia tidak  melebihi 1% sejak tahun 1973 hingga 2018. Data terbaru dari Survei Kesehatan Indonesia 2023 juga menyatakan hanya 0,2% pasangan yang memilih vasektomi.[2] Rendahnya angka penggunaan vasektomi, disebabkan oleh beberapa faktor,  diantaranya minimnya sosialisasi yang diberikan oleh pihak medis sehingga stigma masyarakat terkait metode vasektomi masih sangat rendah atau bahkan kurang tepat; misalnya saja vasektomi dapat mempengaruhi  fungsi seksual bagi laki-laki. Selain itu, disebabkan juga oleh ketimpangan peran dalam keluarga terkait tanggung jawab kontrasepsi yang ditanggung oleh perempuan yang sudah membudaya.

 Rencana kebijakan yang dibuat oleh Gubernur Jawa Barat berupa vasektomi sebagai syarat penerimaan bansos muncul sebagai langkah pengendalian laju kelahiran pada keluarga prasejahtera yang sekaligus memastikan distribusi bansos berlangsung  lebih adil. Namun, rencana kebijakan tersebut jelas mengundang banyak pro kontra. Di satu pihak, kebijakan ini muncul karena kekhawatiran akan tingginya angka kelahiran pada keluarga prasejahtera. Pada pihak lain, kebijakan ini tentu menyangkut hak reproduksi pada setiap individunya.

Mubadalah dalam Menimbang Kebijakan Vasektomi

 Mubadalah merupakan salah satu metode yang berintegritasi secara langsung dengan isu-isu gender dan menjadi penyeimbang dari teori gender yang liberal; yang berarti berlebihan dalam menyikapi HAM, sehingga menimbulkan tuduhan-tuduhan negative dengan argument kesetaraan. Dan lebih dari pada itu, mubadalah hadir dengan menggagas fiqh corak baru yang ketersalingan, terutama berkaitan dengan isu-isu relasi gender.[3]

 Pada dasarnya, mubadalah memiliki prinsip yang terkandung pada nilai kesalingan, kesetaraan dan keadilan. Dalam konteks kasus ini, mubadalah berkaitan dengan relasi antara warga negara,  pemerintah dan kebijakan publik yang mengacu pada hubungan timbal balik antara kewajiban dan hak masing-masing pihak. Oleh karena itu, kebijakan yang direncanakan oleh Kang Dedi Mulyadi perlu dipertimbangkan melalui berbagai aspek agar nilai-nilai mubadalah dapat terwujud; seperti dari aspek syariat yang mayoritas ulama’ mengharamkannya; kecuali dalam keadaan tertentu dan memenuhi ketentuan-ketentuannya. Diantaranya, pertama vasektomi dilakukan untuk tujuan yang tidak menyalahi syariat. Kedua, vasektomi tidak menyebabkan kemandulan peramanen. Ketiga, adanya jaminan rekanalisasi yang dapat memulihkan fungsi reproduksi pulih seperti semula dari pihak medis. Keempat, tidak menimbulkan bahaya bagi pelakunya. Kelima, vasektomi tidak dimasukkan ke dalam program kontrasepsi mantap.[4] Hal ini berdasar pada hasil keputusan ijtima’ ulama komisi fatwa se-Indonesia IV Tahun 2012 yang merupakan pembaruan dari fatwa-fatwa vasektomi sebelumnya. Salah satu dasar penetapannya adalah kaidah  الحكم يدور مع علته وجودا وعدما  (penetapan hukum tergantung ada tidaknya illat”. Kaidah tersebut berfokus pada persyaratan ketiga, yang berarti berhasil-tidaknya rekanalisasi  menjadi ‘illat hukum diperbolehkan-tidaknya vasektomi; yang mana ‘illat hukum tersebut bukan sekedar dugaan saja, tetapi harus berdasarkan kepastian yang nyata.

 Dalam hal ini, Kiai Niam Pengasuh Pesantren An Nahdlah Depok yang sekaligus Ketua Bidang Fatwa MUI Pusat menegaskan kembali hasil keputusan fatwa tersebut “mengaitkan bantuan sosial dengan syarat vasektomi, padahal itu terlarang secara syar’i, maka kebijakan tersebut harus dikoreksi dan jika tetap dipaksakan, maka tidak boleh ditaati”[5]

 Selanjutnya, dari aspek gender yang dalam realitanya, selama ini tanggung jawab kontrasepsi seringnya dibebankan pada kaum perempuan, sehingga adanya metode vasektomi ini menjadi alternatif pembagian tanggung jawab yang adil bagi suami dan istri. Namun, aspek tersebut juga harus belandaskan pada  kesetaraan  dan kesukarelaan.

 Kemudian, aspek etis yang menyangkut pada pelanggaran hak individu atas otoritas tubuhnya, sebab hak reproduksi merupakan bagian dari hak dasar manusia yang seharusnya tidak diintervensi oleh negara. Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro menyatakan “vasektomi terhadap tubuh itu bagian dari hak asasi. Jadi, sebaiknya tidak mempertukarkannya dengan bantuan sosial atau hal-hal lain.”[6]

 Dari beberapa aspek diatas, bisa kita lihat rencana kebijakan yang menjadikan vasektomi sebagai syarat mendapatkan bansos sangat berpotensi merugikan salah satu pihak, maka seharusnya pemerintah perlu mengkaji secara mendalam, supaya kebijakan tersebut tidak berbanding terbalik dengan nilai-nilai mubadalah.

 Penutup

 Perspektif mubadalah dalam rencana kebijakan vasektomi sebagai syarat penerimaan bansos menekankan pentingnya membangun relasi antara warga negara, pemerintah dan kebijakan publik yang harus berlandaskan pada nilai kesalingan, kesetaraan dan keadilan bagi semua pihak. Dalam pelakasanaannya vasektomi harus didasarkan pada prinsip kesukarelaan, sehingga dengan begitu vasektomi dapat berkontribusi positif dalam program keluarga berencana. Namun, ketika vasektomi dijadikan syarat penerimaan bansos, nilai kesalingan itu hilang dan berubah menjadi bentuk ketimpangan kekuasaan. Oleh sebab itu, kebijakan yang adil seharusnya mencakup nilai-nilai mubadalah yang telah disebutkan sebelumnya, bukan hanya sekedar kepatuhan berdasar insentif sosial.

[1] Muhammad Hidayat,Analisis Terhadap Perubahan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Hukum Vasektomi Tubektomi”, 2011.  hlm.4

[2]https://www.bbc.com/indonesia/articles/c4ngek462glo diakses 11 Mei 25 pukul 18:30 wib.

[3] Agus Hermanto, Habib Ismail dan Iwanuddin,”Menjaga Nilai-Nilai Kesalingan dalam Menjalankan Hak dan Kewajiban Suami Istri Perspektif Fikih Mubadalah”, Jurnal Syari’ah dan Hukum, Vol.4, hlm. 47.

[4] https://fatwamui.com/storage/451/VASEKTOMI.pdf diakses pada 20 Mei 2025 pukul 08.53.

[5] https://mui.or.id/baca/berita/ketua-mui-prof-asrorun-niam-tegaskan-hukum-vasektomi-haram-kebijakan-tak-boleh-ditaati#:~:text=JAKARTA%20%2D%2D%20Ketua%20Bidang%20Fatwa,haram%20kecuali%20ada%20alasan%20syari. Di akses 15 Mei 2025 pukul 20.30 wib

[6] https://mubadalah.id/vasektomi-untuk-bansos-syariat-ham-gender-hingga-relasi-kuasa/ diakases 15 Mei 2025 pukul 10.16 wib.

Nur Izzah, Santri Aktif Semester 5.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *