Green Lifestyle dalam Perspektif Islam: Menjaga Lingkungan sebagai Realisasi Maqaṣid Syari’ah

Kolom Santri1025 Dilihat

Dewasa ini, isu terkait kerusakan lingkungan semakin kompleks dan mengkhawatirkan. Kerusakan tersebut secara umum disebabkan oleh dua faktor utama: pertama, akibat proses alamiah; dan kedua, akibat intervensi manusia, baik yang disadari maupun tidak. Namun, realitasnya menunjukkan bahwa manusia adalah penyebab dominan dalam kerusakan lingkungan. Fenomena seperti pemanasan global, pencemaran udara dan air, serta kerusakan ekosistem merupakan bukti nyata dari gaya hidup manusia modern yang mengabaikan keseimbangan dan daya dukung alam.

Sebagai respons atas fenomena ini, muncul gagasan green lifestyle atau gaya hidup ramah lingkungan. Yakni sebuah gaya hidup yang berfokus pada peningkatan kesadaran terhadap perlindungan lingkungan yang berkelanjutan, dengan cara mengurangi perilaku yang menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Praktiknya meiputi efisiensi energi dan air, penggunaan material rumah yang ramah lingkungan, pengelolaan limbah dengan cara daur ulang dan komposting, serta mengonsumsi makanan lokal dan organik. Meskipun tidak memberikan dampak yang instan, namun jika diterapkan secara kolektif dapat memberikan kontribusi signifikan dalam mengurangi kerusakan lingkungan.[1]

Menariknya, praktik dalam green lifestyle memiliki keterkaitan erat dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an dan Hadis. Prinsip-prinsip tersebut antara lain:

  1. Khalifah

Dalam QS. Al-Baqarah: 30 dinyatakan bahwa manusia adalah pemimpin di bumi, maka manusia bertanggung jawab untuk merawat dan melestarikan bumi.

  1. Tauhid

Menegaskan bahwa seluruh alam semesta adalah ciptaan Allah, sehingga menjaga lingkungan merupakan bentuk pengabdian kepada-Nya.

  1. Mizan

Dalam Surat Ar-Rahman: 7-9 menegaskan bahwa manusia diperintahkan harus menjaga keseimbangan dengan tidak melakukan kerusakan.

  1. Amanah

Bumi ini merupakan Amanah dari Allah kepada manusia yang wajib dijaga dan dimanfaatkan secara bertanggung jawab.

  1. Adl

Menuntut keadilan dalam penggunaan sumber daya alam, dengan menghormati hak semua makhluk hidup.

  1. Israf

Melarang pemborosan dan konsumsi berlebihan karena dapat menyebabkan kerusakan. Dalam QS. Al-A’raf: 31 disebutkan bahwa Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan

  1. Tasbih

Dalam QS. Al-Isra: 44 menyatakan bahwa seluruh alam memuji Allah sehingga merusaknya berarti makhluk-makhluk yang senantiasa memuji-Nya.

  1. Fasad

Dalam Surat Al-Baqarah 205 dan Surat Al-Qasas 77 menegaskan bahwa manusia dilarang melakukan kerusakan dan diharuskan memperbaiki kerusakan yang telah terjadi.

  1. Tazkiyah

Mendorong penyucian diri serta lingkungan dari kerusakan, termasuk polusi dan pencemaran.

  1. Haq al-intifa’

Hak untuk memanfaatkan alam mengandung tanggung jawab untuk tidak merusak dan tidak merugikan orang lain, termasuk generasi mendatang.[2]

Prinsip-prinsip tersebut memiliki kaitan erat dengan konsep maqaṣid syari’ah, yaitu tujuan dasar syariat Islam yang berorientasi pada perlindungan dan kemaslahatan manusia. Gaya hidup yang menjaga keberlanjutan lingkungan berkontribusi langsung terhadap penjagaan maqasid syariah, yaitu menjaga lima pokok kemaslahatan: agama (ḥifẓ al-din), jiwa (ḥifẓ al-nafs), akal (ḥifẓ al-‘aql), keturunan (ḥifẓ al-nasl), dan harta (ḥifẓ al-māl).

Menjaga agama berarti mentaati perintah Allah untuk tidak membuat kerusakan di bumi, Menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah karena alam adalah ciptaan Allah yang harus dijaga keberlangsungannya.

Menjaga jiwa berarti menghindari praktik-praktik yang merusak kesehatan dan keselamatan manusia, seperti pencemaran dan pengurasan sumber daya alam. Islam menempatkan nyawa manusia sebagai sesuatu yang suci, dan tindakan yang membahayakannya merupakan dosa besar.

Menjaga keturunan mendorong manusia berpikir jangka panjang terhadap generasi masa depan. Eksploitasi sumber daya alam tanpa kontrol sama saja dengan mewariskan kerusakan lingkungan.

Menjaga akal bermakna menggunakan nalar sehat untuk membedakan antara praktik konsumsi yang bermanfaat atau merusak. Perusakan lingkungan secara sadar menunjukkan pengabaian terhadap peran akal.

Adapun menjaga harta merujuk pada penggunaan sumber daya secara hemat dan tidak boros, seperti tercermin dalam larangan israf.

Yusuf al-Qarḍawi dalam karyanya Ri‘āyah al-Bī’ah fī Sharī‘ah al-Islām menegaskan bahwa pemeliharaan lingkungan merupakan bagian integral dari pelaksanaan syariat Islam. Kerusakan lingkungan akan mengganggu pelaksanaan maqaṣid syari’ah secara menyeluruh. Hal ini selaras dengan kaidah fiqh:

مَا لاَ يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

(Sesuatu yang membawa kepada kewajiban, maka sesuatu itu hukumnya wajib).[3]

Artinya, jika menjaga lingkungan merupakan sarana penting untuk mewujudkan maqaṣid syari’ah, maka menjaga lingkungan menjadi kewajiban yang tidak dapat ditawar. Tanpa lingkungan yang sehat, manusia akan kehilangan kemampuan untuk menjalankan ajaran agama secara utuh.

Sebagai penutup, green lifestyle bukan sekadar tren kehidupan, melainkan manifestasi nyata dari ajaran Islam yang komprehensif. Menjaga lingkungan dari kerusakan merupakan kewajiban syar‘i yang tidak dapat ditawar, karena keberlangsungan hidup yang sehat menjadi prasyarat bagi penerapan ajaran Islam secara utuh dan berkesinambungan. Dengan demikian, gaya hidup ramah lingkungan bukan hanya mencerminkan ketakwaan yang berorientasi pada kemaslahatan umat, melainkan juga merupakan bentuk nyata dari tanggung jawab manusia sebagai khalifah yang menerima amanah bumi. Hal ini sejajar dengan prinsip maqaṣid syari’ah dalam konteks keberlanjutan hidup dan pemeliharaan keseimbangan alam demi kesejahteraan generasi kini dan mendatang.

[1] Defitri, M. (2023, Maret 5). Mengenal konsep green living. Waste4Change. Diakses dari https://waste4change.com/blog/mengenal-konsep-green-living/

 

[2] Azzahra, S., & Masyithoh, S. (2024). Peran Muslim dalam pelestarian lingkungan: Ajaran dan praktik. Tullab: Jurnal Studi Keislaman, 6(1)

[3] Al-Qardhawi, Y. (2001). Ri’ayah al-bi’ah fiy syari’ah al-Islam (hal. 25). Kairo: Dar al-Syuruq

Dania Rofida, Santri Aktif Semester 5.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *