Sebagai lembaga tafaqqul fiddîn, pesantren tersebar luas di Indonesia sejak munculnya yang hingga sekarang memang mempunyai daya tarik, baik dari sosok luarnya, kehidupan sehari-harinya, potensi dirinya, isi pendidikannya, maupun sistem dan metodenya. Semua menarik untuk dikaji. Tidak aneh bila belakangan ini banyak ilmuwan dari kalangan Islam, baik dari dalam maupun luar negeri, mengarahkan penelitiannya pada pesantren.
Tentu saja mereka menpunyai latar belakang dan tujuan yang berbeda-beda. Namun yang jelas mereka berkesimpulan, di pesantren terdapat sesuatu yang spesifik, tidak akan ditemukan di luar pesantren atau lembaga pendidikan lain. Di pesantren terdapat pula nilai-nilai di dalam kulitnya yang sangat menarik untuk dijadikan sebagai bahan kajian
bukan saja oleh kalangan pesantren sendiri, melainkan juga oleh lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta, bahkan di Jerman Barat tahun 1987 yang lalu.
Muncul juga berbagai skripsi, disertasi, dan tulisan tentang pesantren. Seminar, lokakarya, dan diskusi tentang kepesantrenan diadakan, bukan saja oleh kalangan pesantren sendiri, melainkan juga oleh lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta, bahkan di Jerman Barat tahun 1987 yang lalu.
Di antara sekian banyak hal yang menarik dari pesantren yang tidak terdapat di lembaga lain adalah mata pelajaran bakunya yang ditekstualkan pada kitab-kitab salaf (klasik), yang sekarang ini terintroduksi secara poluler dengan sebutan kitab kuning. Disebut kitab kuning karena memang kitab-kitab itu dicetak di atas kertas bewarna kuning, meskipun sudah banyak dicetak ulang pada kertas putih. Kuning memang suatu warna yang indah dan cerah serta tidak menyilaukan mata.
Disebut kitab kuning karena memang kitab-kitab itu dicetak di atas kertas bewarna kuning, meskipun sudah banyak dicetak ulang pada kertas putih. Kuning memang suatu warna yang indah dan cerah serta tidak menyilaukan mata.
Kitab kuning memang menarik, tentu saja bukan karena warnanya kuning, melainkan karena kitab itu mempunyai ciri-ciri melekat, yang untuk memahaminya memerlukan ketrampilan tertentu dan tidak cukup hanya dengan menguasai bahasa Arab saja. Sehingga banyak sekali orang pandai berbahasa Arab, namun masih kesulitan mengklarifikasikan isi dan kandungan kitab-kitab kuning secara persis. Sebaliknya tidak sedikit ulama yang menguasai kitab-kitab kuning tidak dapat berbahasa Arab.
Sehingga banyak sekali orang pandai berbahasa Arab, namun masih kesulitan mengklarifikasikan isi dan kandungan kitab-kitab kuning secara persis. Sebaliknya tidak sedikit ulama yang menguasai kitab-kitab kuning tidak dapat berbahasa Arab.
* * *
Kitab kuning di pesantren sebenarnya tidak hanya mencakup ilmu-ilmu tafsir, ‘ulûm at-tafsir, asbâb an-nuzûl, hadits, ulûm al-Hadits, asbab al-wurûd, fiqh, qawa’id al-fiqhiyalı, tauhid, tasawuf, nahwu, sharaf, dan balaghiah saja. Lebih dari itu meskipun hanya sebagai referensi kepustakaan pesantren – kitab kuning mencakup ilmu-ilmu mantiq, falak, fara’idh, hisab, adab al-bahtsi wa al-munâzlarah (metode diskusi), thibb, hayâh al-hayawân, târîkh, thabaqat (biodata) para ulama, bahkan sudah ada katalogisasi atau anotasinya, misalnya, kitab Kasyfu adz-Dzumun fi Asma’i Kutubi al-Funun.
Sistematika penyusunan kitab-kitab kuning pada umumnya sudah begitu maju dengan urutan kerangka yang lebih besar, kemudian berturut turut sub-sub kerangka itu dituturkan sampai pada yang paling kecil. Misalnya kitâbun, kemudian berturut-turut bâbun, fashlun, far’un, dan seterusnya. Sering juga dipakai kerangka muqqadimah dan khâtimah. Bahkan tidak sedikit yang pada awal pembahasannya diuraikan sepuluh mabâdi’ (mabadi’ ‘asyrah) yang perlu diketahui oleh setiap yang mempelajari suatu ilmu tertentu.
Ciri lain yang ada pada kitab kuning adalah tidak menggunakan tanda baca yang lazim. Tidak pakai titik, koma, tanda seru, tanda tanya, dan lain sebagainya. Subjek dan predikat sering dipisahkan dengan jumlah mu’taridhah yang cukup panjang dengan tanda-tanda tertentu. Ciri inilah yang sangat memerlukan kecermatan dan ketrampilan agar pembaca memahami makna dan kandungannya, bahkan dapat menginterpretasikan dan menganotasikannya secara luas.
Masih ada ciri lain khususnya yang terdapat pada kitab-kitab fiqh madzhab Syafi’i. Pada kitab-kitab ini selalu digunakan istilah (idiom) dan rumus-rumus tertentu. Misalnya, untuk menyatakan pendapat yang kuat dipakai kalimat al madzhab, al-ashah, ash-shahih, al-arjah, ar-rajil, dan seterusnya. Misalnya lagi, untuk mengatakan kesepakatan antar ulama beberapa madzhab digunakan ijmâ’an dan untuk menyatakan kesepakatan intern ulama satu madzhab digunakan kalimat ittifaqan. Padahal kedua kata tersebut mempunyai arti yang sama menurut bahasa.
* * *
Proses mengajarkan kitab kuning di pesantren melaui dua tahap. Tahap pertama dengan menggunakan metode utawi iki iku dengan rumus huruf mim dan kha, dan seterusnya, untuk menguraikan arti tiap kalimat dan huruf-huruf yang bermakna, sekaligus juga menguraikan kedudukan tarkib dari sudut kaidah nahwu dan sharafnya. Tahap berikutnya adalah penjelasan dan ulasan dari isi kandungannya secara tekstual-harfiah (letterlik) maupun sampai dengan pengertian-pengertian di baliknya (mafhûmât).
untuk mengetahui dan memahami kandungan dari sebuah ungkapan kitab kuning secara benar, sangat bergantung pada pemahaman atas makna masing-masing kalimat dan huruf-huruf bermakna, serta kedudukannya menurut kaidah nahwu sharaf, lengkap dengan konteks-konteksnya.
Tahap pertama yang tradisional itu, meskipun kelihatan agak rumit dan unik serta memakan waktu cukup panjang, namun sangat menguntungkan para santri dan mempermudah penangkapan kandungannya pada tahap berikutnya. Karena untuk mengetahui dan memahami kandungan dari sebuah ungkapan kitab kuning secara benar, sangat bergantung pada pemahaman atas makna masing-masing kalimat dan huruf-huruf bermakna, serta kedudukannya menurut kaidah nahwu sharaf, lengkap dengan konteks-konteksnya.
Sedangkan tahap kedua merupakan penjabaran tuntas secara analisis dari yang bersifat manthuqât sampai dengan mafhûmât. Bahkan sering juga pada kedua tahap itu, para kiai pembaca kitab kuning merespon dengan alasan-alasan yang memperkuat ungkapan itu sendiri, atau kadang-kadang menentang atau meluruskan yang dipandang tidak benar atau tidak tepat, sebagaimana lazimnya dilakukan oleh ahli-ahli syarh dan hâsyiah.
Proses tersebut praktis dan relatif lebih cepat bila, misalnya, dibandingkan dengan cara mengajarkan kitab kuning di Masjidil Haram Makah. Di sana, seorang Syaikh pertama-tama membaca seluruh lafal sampai batas tertentu, kemudian menguraikan arti masing-masing kalimat, baru kemudian menerangkan kedudukannya menurut kaidah nahwu-sharaf, seperti Imam al-Kafrawi menguraikan i’rab matan al-Ajurumiyah. Terakhir, baru menguraikan isi kandungannya panjang lebar.
Namun dengan cara pesantren, para santri dapat secara aplikatif lebih memahami kaidah nahwu-sharaf, dibandingkan dengan bila pengajaran kitab dilakukan dengan metode lepas, dengan penerjemahan langsung dan bebas. Lebih dari itu, para santri dapat menghayati dan menumbuhkan dzauq al-‘arabiyah, yang sangat mempengaruhi pemahaman atas nilai sastra yang dikandung Al-Qur’an.
Metode sorogan juga sering dilakukan di pesantren. Prosesnya sama dengan di atas. Bedanya, pada metode sorogan, si santri membaca kitab, sedangkan kiai mendengarkan dan memberikan petunjuk. Metode ini merupakan kategori kedua (bi al-qira’ah) dari pedoman meriwayatkan ilmu di dalam dunia pesantren (terutama bagi periwayatan hadits). Yang pertama adalah kiai (guru) yang membaca dan santri mendengarkan (bi as samâ). Dan yang ketiga kiai dan santri sama-sama tidak membaca, tapi si kiai memberikan ijazah pada si santri untuk mengajarkan suatu hadits atau kitab. Kategori ini biasanya hanya diberikan kepada santri-santri senior.
* * *
Ciri lain yang tidak terdapat di luar kitab kuning adalah para kiai mempunyai sambungan langsung dan berturut-turut dengan guru gurunya sampai dengan pengarang (mu’allif) kitab itu. Ini menjamin materi yang diajarkan dapat dipertanggungjawabkan sebagai sesuatu yang benar-benar didapat dari sumber-sumber terpercaya. Hal inilah yang dikenal di kalangan pesantren sebagai silsilah guru atau sanad.
Metode pengajaran kitab kuning seperti di atas menumbuhkan kepekaan dan kejelian yang melekat bagi santri dalam mengkaji kitab kuning dari sisi bacaannya secara harfiah. Sering terjadi di dalam forum munâzlarah atau bahtsul masail, begitu ada yang keliru pada waktu membacakan nash kitab kuning, meskipun hanya satu harakat saja, para peserta yang lain spontan protes dan kadang mengambil kesimpulan, si pembaca kitab itu ilmunya belum begitu dalam. Padahal pemahaman si pembaca atas kandungan ibarat yang dibaca itu belum tentu salah.
Kejelian dan kepekaan seperti di atas merupa kan fenomena dan kecenderungan santri, lebih mengutamakan kulit (tekstual) yang hanya terpaku pada bunyi nash kitab kuning. Ketika masalah-masalah harus dipecahkan dan dicari jawabnya, maka masalah itu ditarik ke atas untuk disesuaikan dengan nash tersebut. Ini membuat watak kitab kuning menjadi legalistik. Akibatnya, bila realitas masalah tidak mungkin ditarik ke atas lalu dipending (mauqûf).
Kitab kuning sebagai referensi ilmiah bagi pesantren seharusnya lebih merupakan garis mendatar yang memberikan konsep-konsep pendekatan terhadap masalah-masalah ritual maupun sosial. Dalam hal ini, peningkatan kajian kitab kuning sebagai sumber pendekatan masalah, dapat diupayakan dengan metode munâzharah yang tidak sekadar mencari jawab atas suatu masalah global, yang sering tidak dipertimbangkan implikasinya dengan aspek-aspek lain yang berkaitan, seperti yang sering terjadi pada bahtsul masail di beberapa pesantren.
Namun lebih dari itu, munâzharah tersebut dimodifikasi sedemikian rupa, agar dapat menyusun konsep-konsep aktual yang mampu menjadi rujukan yang memadai bagi permasalahan sosial yang berkembang, sehingga pada gilirannya akan terjadi perubahan wawasan dari yang bersifat tekstual menjadi kontekstual.
Peningkatan munâzharah seperti ini tentu saja harus melibatkan berbagai disiplin ilmu dan profesi, di samping para ahli kitab kuning. Ini tidak berarti mengubah atau menghilangkan metode tradisional di atas, akan tetapi coba mengurangi fenomena dan kecenderungan legalistik yang tumbuh akibat metode itu sendiri. Bila peningkatan dimaksud tidak diupayakan, dikhawatirkan kepercayaan masyarakat pada keluasan kitab kuning cenderung melemah. Perkembangan wawasan sosial dan kemajuan teknologi selalu menuntut konsepsi-konsepsi yang dapat menjadi alternatif pemecahan masalah, yang sedang dan akan dihadapi masyarakat maju atau masyarakat berkembang.
Kajian kitab kuning lalu tidak terbatas pada kalangan santri/pesantren, oleh, dan untuk kalangan mereka saja. Dengan kata lain, kitab kuning dalam kajiannya akan mampu berdialog dengan referensi-referensi ilmiah di luar pesantren. Pada gilirannya, pesantren di tengah-tengah masyarakat modern ini, tetap tegar dan menjadi kebutuhan.
Kajian kitab kuning tidak terbatas pada kalangan santri/pesantren, oleh, dan untuk kalangan mereka saja.
Dengan kata lain, kitab kuning dalam kajiannya akan mampu berdialog dengan referensi-referensi ilmiah di luar pesantren. Pada gilirannya, pesantren di tengah-tengah masyarakat modern ini, tetap tegar dan menjadi kebutuhan.
Sumber: KH. MA. SAHAL MAHFUDH, Nuansa Fiqh Sosial; Kitab Kuning di Pesantren
Disampaikan pada halaqah RMI,P3M, dan Pesantren Watucongol Muntilan di Muntilan 1989.
Pernah dimuat Warta NU edisi No. 11/ Tahun V/Januari 1989.