Keseimbangan Antara Fiqh dan Tasawuf

Kolom Yai506 Dilihat
  1. Pendahuluan

Semua kesatuan secara utuh tidak akan bisa berjalan tanpa adanya saling melengkapi satu sama lain. Contoh organ tubuh manusia dengan hati tanpa jantung tidak akan hidup atau manusia dengan jantung tanpa darah tidak akan hidup semuanya saing melengkapi dan tidak bisa berdiri sendiri. Tak hanya organ tubuh manusia, semua yang notabenenya adalah suatu kesatuan juga sama tidak bisa dilepaskan dan saling membutuhkan satu sama lain tanpa mengecualikan agama.

  1. Pembahasan

 Titik utama pembahasan kita pada kali ini adalah dua ilmu yang kerap kali dianggap berjalan sendiri dan tidak bisa bersatu yaitu fiqh dan tasawuf. Sebelum jauh membahas isi dari judul ini alangkah baiknya kita mengetahui dasar-dasar dari fiqh dan tasawuf terlebih dahulu. Secara etimologi fiqh berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqhan yang dalam terminologi arab mempunyai arti paham. Sedangkan fiqh menurut istilah adalah menggali hukum-hukum agama dari dalil-dalil yang terperinci.[1] Sedangkan tasawuf secara etimologi berasal dari kata tasawafa-yatasahwifu-tasawufan yang mempunyai arti berusaha untuk bersih . Perlu dicatat kata asal tasawuf (menurut ulama basrah) mengikuti wazan tafa’ala yang mempunyai faidah takalluf yaitu ada unsur usaha untuk mencapai sesuatu itu (dalam bahasa pesantren yaitu merdi-merdi).

Secara global fiqh mengatur hal-hal yang sifatnya dzahir yang berkaitan dengan peribadatan, sedangkan tasawuf mengatur hal-hal yang sifatnya batin yang berkaitan dengan tingkah laku hati. Fungsi fiqh adalah mengatur kehidupan seorang hamba untuk berada di jalan peribadatan yang benar, tidak terlepas mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Peribadatan seorang hamba bisa mencapai level sah (gugur tidak sah maka hamba itu belum divonis gugur dalam pembebanan suatu ibadat. Sedangkan tasawuf adalah sebagai pengatur ritme hati seorang hamba. Imam Ghazali membagi tasawuf menjadi tiga tingkatan yaitu takhalli, tahalli, dan tajalli. Takhalli: bagaimana seorang hamba mengurangi atau mengosongkan sifat-sifat tercela dan menghindarinya. Tahalli: bagaimana seorang hamba menghiasi dirinya dengan sifat-sifat yang terpuji seperti kasih sayang dan lain sebagainya. Tajalli: saat dimana seorang hamba merefleksikan setiap geraknya hanya kepada Allah.

Seperti yang sudah dipaparkan bahwasanya ketika suatu kesatuan (dalam hal ini agama) tidak terpenuhi dengan baik maka akan timbul kekurangan. Begitu juga dengan agama yang dalam hal ini antara fiqh dan tasawuf, keduanya mempunyai relasi yang sangat erat dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Seseorang yang berfiqh tanpa bertasawuf besar kemungkinan perilaku orang tersebut adalah perilaku tercela seperti sombong dsb walaupun peribadatannya sudah benar, jelas hal ini tidak dihendaki oleh agama. Adapun seseorang yang hanya bertasawuf tanpa beriqh maka hanya akan muncul sifat-sifat terpuji tanpa adanya peribadatan dengan benar hal ini juga tidak dihendaki agama. Maka dari itu keduanya harus berimbang selain berfiqh juga harus bertasawuf supaya selain ibadatnya benar juga hatinya benar dan baik, inilah yang dihendaki oleh agama yang tercermin dalam hadist jibril. Imam Malik berkata (qila Imam Syafi’i) barangsiapa yang bertasawuf tanpa berfiqh maka zindiq, dan siapa yang berfiqh tanpa bertasawuf maka dia fasiq, dan yang menggabungkan keduanya maka dia telah benar. Penulis sendiri mengibaratkan fiqh adalah pedal gas suatu kendaraan yang siap mengantar ke tujuan dan tasawuf adalah remnya, jika keduanya ada yang kurang maka akan berbahaya dan tidak sampai tujuan dengan selamat.

  1. Kesimpulan

Antara fiqh dan tasawuf keduanya tidak bisa dipisahkan, ketika seorang hamba memutuskan untuk berfiqh maka otomatis harus bertasawuf supaya keseimbangan beragama terjadi dan tujuan agama tergapai.

[1] Abdul Aziz bin Abdullah al-Rajihi, Syarah Umdah al-Fiqhi, tt.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *